Pada sore hari sehabis berlatih di clubnya, Haru menyempatkan diri untuk menemui Daiki yang sedang berlatih memanah. Entah apa yang membuatnya terbiasa untuk berlatih di saat anggota club yang lain sudah pulang, dan apapun alasannya, menemuinya sehabis berlatih juga sudah menjadi rutinitasnya.
Berbeda dari hari-hari sebelum ia dapat berbicara dengan Daiki, kali ini ia tak perlu lagi mengamatinya dari kejauhan. Tidak ada lagi Haru si penguntit. Sekarang, kedekatan mereka tak lagi membuatnya ragu untuk selalu menyapanya saat bertemu. Dari sisi manapun. Jarak tak lagi menjadi patokan, dan berada di sampingnya tidak lagi menjadi sebuah keraguan.
"Yo, Takayashi!" Sapa Haru, lalu duduk kemudian menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu yang tampak mengkilap.
Daiki tak menghiraukan sapaannya seolah tak mendengar apa-apa. Ia tetap fokus pada apa yang dikerjakannya, sampai menoleh ke arahnya pun tidak.
Sementara itu, Haru terus saja memandangi seseorang yang mengabaikannya hingga tak bisa memalingkan pandangannya. Ia melihat seseorang yang begitu menawan berdiri tepat di hadapannya seolah sedang menggoda dirinya.
Daiki, dengan sikap tegapnya yang menawan, berpose untuk membidik sasarannya. Ia sedikit memicingkan mata agar arah dari anak panah di jarinya tak meleset saat dibidik, lalu tangan kanannya pun mulai bersiap untuk melepas anak panah dengan perlahan, dan—yap tepat sasaran.
Haru sampai terkagum-kagum dibuatnya. saat seperti inilah yang ingin ia saksikan selama ini. Saat dimana Daiki berpose dengan busur di tangannya.
Haru begitu mengagumi pose menawan itu. Lebih menawan dari yang ada di pikirannya. Dengan keringat di wajahnya yang perlahan mengalir di pelipisnya, membuat pesonanya lebih menawan lagi; tampak seksi dengan baju yang agak basah. Haru seakan dihipnotis oleh apa yang diamatinya.
"Oi! Haruhiko!" Kata Daiki dengan telapak tangan yang telah menyambar kepalanya.
"Aw! Apa yang kau lakukan, idiot?!" Haru tersadar, tetapi juga kesal sebab pukulan itu tidak main-main.
"Jauhkan pikiran mesummu itu disini..." Kata Daiki sambil membereskan peralatannya.
"Ayo pulang" Lanjutnya sambil melangkah keluar ruangan, disusul oleh Haru yang masih pada perasaan kesal tanpa dipedulikan oleh Daiki.
Di perjalanan, hanya ada keheningan; hanya suara bising kendaraan dari kejahuan yang turut meramaikan suasana di antara mereka berdua.
Semenjak kedekatan mereka berlangsung, keheningan ini bukanlah hal yang tidak biasa; tidak membuat Haru merasa aneh, tapi dengan ia mengatakan bahwa hal itu yang membuatnya mempunyai perasaan terhadap Daiki, itulah yang seharusnya aneh.
Daiki merupakan seorang yang tidak banyak bicara, misterius, dingin, dan semua hal itu membuatnya jatuh terlalu dalam pada cinta yang seharusnya dilarang. Tentu ia menyadarinya, tetapi sekali lagi, perasaan tetaplah perasaan. Siapapun ia, bagaimanapun ia, cinta itu membutakan siapa saja yang mengalaminya, bahkan lebih buta dari orang buta.
"Takayashi..." Panggil Haru memelankan suaranya.
Daiki menghentikan langkahnya, kemudian berbalik kearah dimana ia berdiri dengan mata yang dingin terus saja menatapnya. Ia tak perlus menanyakan apa yang hendak ia tanyakan sebab kedua matanya sudah mengatakannya, "ada apa?".
Haru menundukkan kepalanya. Ia menggigit bibirnya dan kedua tangannya dikepal sebegitu eratnya. Ia begitu gugup untuk membalas tatapan dari seorang yang terus saja menatapnya.
Ia begitu ingin menyampaikan perasaannya selama ini. Waktu yang tepat? Mungkin. Masih ada keraguan di hatinya. Setidaknya Daiki mengetahuinya. pikirnya sambil mengangkat kepalanya untuk melihat wajah dari seorang yang masih belum memalingkan pandangannya.
Ia bisa merasakan debaran kuat di dadanya; menatapnya semakin membuatnya merasa gugup dengan jemarinya yang semakin dingin pada ujungnya. Ia berusaha mempertahankan matanya agar tetap tertuju pada Daiki yang terdiam di hadapannya; menunggunya untuk mengatakan sesuatu.
"Takayashi, seharusnya kau jangan terlalu memaksakan diri saat berlatih" Bukan kalimat ini yang hendak ia ungkap, melainkan perasaan yang hampir tiga tahun mengendap di hatinya.
"Ibumu pasti akan kesusahan jika kamu sakit..." Sepertinya, bibirnya enggan untuk mengungkap perasaannya.
"Tch!" Daiki kembali melanjutkan langkahnya.
Ia mungkin berpikir bahwa waktunya terbuang hanya untuk mendengar nasehat anehnya, atau bodoh mungkin tanggapannya. Tampak jelas. Haru bisa melihat dari raut wajah kecut yang ia tunjukkan.
Haru mengikutinya dari belakang; memandanginya dengan penuh kekecewaan terhadap dirinya sendiri. Ia begitu ingin mengungkap perasaannya, tetapi bibirnya tidak menghendaki dengan mengucapkan hal bodoh seperti itu.
Mereka kembali pada keheningan seperti sebelumnya. Berjalan seperti biasa. Tak ada yang saling berbicara. Masing-masing dari mereka memikirkan suatu hal yang membuat mereka bungkam. Haru yang masih frustasi dengan ucapannya, sedang Daiki dengan...dengan pemikirannya sendiri.
Tiba-tiba Daiki menghentikan langkahnya. Akan tetapi, Haru tak menyadarinya hingga membuatnya menabrak Daiki dari belakang, dan hampir saja membuatnya tersungkur. Untungnya, tangan Haru cukup sigap untuk segera menahan tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Haru sambil memegang pundak Daiki untuk meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja.
Daiki memalingkan wajah ke arahnya. Dari raut wajahnya, ia tampak terkejut. Entah karena hampir tersungkur atau karena ia dengan posisi memeluk tubuhnya. Haru tak tahu pasti; yang ia tahu hanyalah mata yang selalu menatapnya dengan dingin, tampak begitu indah. Itulah yang ia pikirkan saat ini. Namun, selain dari keindahannya, ada hal lain yang terlihat ketika mata meraka saling beradu, yaitu Daiki merupakan seorang yang kesepian. Terbersit di pikirannya.
Ini merupakan kali pertama ia menatap wajah orang yang ia cintai begitu dekat. Kulitnya begitu bersih, bibirnya yang tampak segar, seakan ia ingin merasakannya; menikmati--ah!ia berusaha agar pemikiran ini tidak menjerumuskannya pada hal-hal yang lebih tabu lagi.
Di tengah keasyikannya menatap wajah di hadapannya, tiba-tiba saja telapak tangan mendarat tepat di wajahnya hingga membuat wajahnya memerah. Ia sedikit menjerit. Daiki menampar wajahnya dengan sunguh-sungguh. Hantaman yang cocok untuk menyadarkannya dari pemikiran cabulnya.
"Kau terlalu dekat! Bodoh!" Kata Daiki yang begitu kesal.
Ia mendorong Haru untuk menjauh. Tidak begitu keras. Haru juga dapat memahami tindakannya hingga ia menjaga jarak darinya.
Mereka berdua hanya bisa terdiam dengan langkah yang tidak mereka lanjutkan. Niat hati ingin menolongnya, tapi malah membuatnya kesal. Namun, ia selalu menyalahkan dirinya sebab Daiki tidak tahu apa-apa mengenai perasaannya.
"Oi Haruhiko…" Panggil Daiki.
Haru segera mengangkat kepalanya. Walau masih dalam keadaan kikuk, ia berusaha untuk menatap wajahnya.
"Kenapa kau tidak memanggilku Daiki?" Lanjutnya.
"Hah?!" Pertanyaan itu membuatnya begitu terkejut.
"Bukannya kau yang melarangku?! Kau ini bodoh juga ternyata, ya?" Lanjutnya.
Senyum tipis terukir di wajah Daiki setelah ia mengatakan hal itu. Namun, Daiki tidak menghiraukan apa yang dikatakannya sama sekali. Ia tetap melanjutkan langkahnya.
Tampak begitu aneh bagi Haru. Ia merasa telah dipermainkan olehnya. Senyuman itu bermakna olokan baginya, dan benar-benar menyebalkan.
"Ternyata, kau cukup menggemaskan juga saat marah..." Kata Daiki dengan menghentikan langkahnya.
"Hah?!" Perkataan darinya membuatnya benar-benar yakin bahwa saat ini Daiki sedang mempermainkannya.
Wajahnya memerah setelah mendengar perkataan itu. Ia merasa telah dipermalukan oleh Daiki. Hal ini benar-benar di luar dugaannya bahwa Daiki dapat mempermainkan seseorang juga; mengatakan hal memalukan itu tanpa mengetahui perasaan Haru sebenarnya. Benar-benar tidak tahu diri.
"O ya...aku belum ingin pulang. orang tuaku pasti tidak di rumah saat ini..." Kata Daiki.
"Kau duluan saja... aku mau ke--" Belum saja Daiki menyelesaikan perkataannya, Haru sudah memotong kalimatnya.
"Kalau begitu, akan kutunjukan sesuatu padamu!" Kata Haru dengan begitu bersemangat.
Ia menggenggam tangan Daiki, dan membawanya untuk ikut bersamanya ke suatu tempat.
Tubuhnya bergerak sendiri. Begitu ia memikirkannya, seketika tubuhnya bergerak untuk membawa Daiki kesana. Begitu menakjubkan jika ia bisa menghabiskan beberapa jam di tempat itu bersamanya. Pikirnya.
"Haru...kita mau kemana?" Tanya Daiki yang berusaha melepaskan tangannya.
Haru tidak menanggapinya. Ia terus saja berjalan menaiki tiap anak tangga dengan memegang pergelangan tangan Daiki begitu kuat hingga membuatnya merasa sedikit kesakitan. Ia terus menariknya agar Daiki mengikutinya tanpa melonggarkan pegangannya sama sekali.
Tak perlu waktu lama untuk sampai ke tempat yang mereka tuju. Hanya memerluka waktu beberapa saat saja. Sekitar 10 atau 15 menit saja.
Tempat ini merupakan sebuah perbukitan yang ditumbuhi rumput segar. Lokasinya dekat dari kota, tetapi tak banyak yang mengetahuinya. Terbukti dengan jarangnya seseorang yang datang ke tempat ini atau memang tak ada sama sekali.
Haru memandang Daiki yang terus mengamati bukit itu. Ia tampak tersenyum, dan ekpresi itu membuat Haru ikut tersenyum melihatnya.
Haru melepas seragam sekolahnya, lalu memasukkannya ke dalam tas, dan mulai menanjaki bukit itu. Ia mengulurkan tangannya; meminta Daiki untuk ikut bersamanya, dan dengan senang hati ia meraihnya.
Setibanya di atas, mereka dipukau oleh pemandangan yang cukup indah. Di atas sini, mereka bisa melihat kota Tokyo dengan begitu megahnya, menikmati kilauan lampu-lampu dari tengah kota. Walau saat ini hari mulai gelap, tidak mengurangi keindahan di depan mata mereka berdua.
Mereka membicarakan banyak hal di atas sana. Sesekali mereka terlihat terbahak, hingga hampir sejam, mereka masih belum beranjak dari bukit itu.
"Daiki?" Panggil Haru menyela pembicaraan.
Daiki menoleh ke arahnya sambil tersenyum; mengangkat kedua keningnya menandakan ia begitu tertarik untuk pembicaraan berikutnya.
Haru menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha membulatkan tekadnya agar ia bisa mengungkap isi hatinya kali ini, dan tampaknya tingkahnya membuat Daiki menjadi kebingungan.
Ia sudah memikirkannya sejak tadi walau ia membicarakan hal lain. Ia siap menerima keadaan yang akan terjadi setelah ia mengungkap perasaannya.
Hal terpenting yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana agar ia bisa mengungkap perasaannya sebab perasaan ini sudah terlalu lama menyiksa dirinya.
Sementara itu, Daiki juga menatapnya; menunggu apa yang hendak dikatakan olehnya. Di suasana ini, Haru tahu bahwa saat ini Daiki berusaha untuk tetap tenang sebab sikapnya yang aneh ini.
"Daiki...maaf karena memanggil dengan nama itu…" Ujar Haru.
"Tapi, asal kau tau, aku hanya senang memanggilmu Daiki..." Lanjutnya dengan mata yang terus menatapnya.
Ya. Hal yang ia inginkan adalah lebih akrab dengannya, dan dengan memanggilnya dengan nama tersebut, Daiki, ia merasa demikian.
"Hmm…kau masih memikirkannya? Sudahlah...tak—" Lagi-lagi Haru memotong perkataannya.
"Tolong!" Tegas Haru.
"Aku belum menyelesaikan perkataanku. Jadi, tolong jangan menyela" Lanjutnya.
Daiki pun terdiam. Ia terlihat begitu gugup walau ia berusaha menutupinya. Wajar. Haru juga akan seperti itu jika berada di posisinya. Ia memang aneh hari ini. Ia telah menyadari sejak tadi.
"A-aku…aku…aku me-nyuka-i-mu" Kata Haru yang terbata-bata dengan suara ditahan, lalu menundukkan kepalanya.
"Ap—" sekali lagi Haru memotong perkataannya, seolah ia tahu apa yang akan disampaikan olehnya.
"Sudah lama!...aku me-nyukaimu" Kata Haru dengan kembali menatapnya.
"A-aku…aku begitu senang bisa menghabiskan waktu bersamamu" Jelasnya.
Ia akhirnya mengungkap perasaannya. Hal yang terus saja mengganggu pikirannya; tak mengenakkan hatinya. Ia juga tahu bahwa Daiki tidak akan menerima perasaannya dan ia sudah siap menerima tanggapannya.
"Mungkin...l-lebih...baik jika kau tau..." Lanjutnya.
Ada hal yang lebih ia khawatirkan saat ini; hal yang membuatnya begitu ketakutan. Bagaimana jika pertemanan mereka berakhir? Bagaimana jika mereka tak lagi saling menyapa? Bagaimana jika Daiki membencinya? Ia tak ingin semua itu terjadi di kemudian hari.
Wajah Daiki yang mulanya pucat menjadi merah padam. Kesal? Gelisah? Marah? Haru tidak dapat memastikan, tetapi ia yakin perasaan Daiki begitu buruk setelah mendengar ungkapan perasaannya walau ia tetap berusaha untuk tenang.
"A-apa maksudmu?" Tanya Daiki dengan suaranya yang sedikit bergetar.
"Aku mencintaimu! Benar-benar mencintaimu!" Tegas Haru.
Ia Tahu bahwa Daiki telah mengetahui maksud dari rasa suka yang ia katakan, hingga ia memberikan jawaban untuk membenarkan jika apa yang ia pikirkan merupakan suatu kebenaran.
Dari raut wajahnya, Daiki tampak begitu terkejut setelah mendengar pernyataan tegas dari Haru. Ia menatap Haru yang saat itu juga sedang menatapnya. Tak berlangsung lama hingga ia kembali memalingkan wajahnya tanpa mengatakan sepatah kata.
Haru terus saja menatapnya. Ia tak menunggu apa-apa darinya, selain berharap ia tidak akan membencinya ataupun sampai menjauhinya; berharap pertemanan mereka tidak berakhir malam ini.
Haru perlahan melangkah mendekatinya, dan memandangi wajah yang enggan mengarah padanya. Ia tahu bahwa mengatakan perasaannya merupakan suatu kesalahan, tetapi ia di hadapkan pada dua hal yang begitu sulit. Mengatakannya atau tidak, sama-sama menyiksa batinnya.
"Daiki..." Ia menyebut namanya dengan lembut.
Daiki sama sekali tidak menanggapinya. Bahkan, ia mulai bergeser dari tempat ia berdiri, lalu meraih tasnya hendak pergi meninggalkan Haru. Namun, Haru segera menarik lengannya hingga ia pada dekapannya.
"Lepaskan!" Daiki mendorong Haru, tetapi segera ia mencengkram lengannya kembali.
Haru meraih wajahnya dan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nantinya, ia malah mencium bibirnya. Entah ia sudah kehilangan akal sehatnya ataukah tak mampu menahan dirinya, atau kedua hal itu berpadu.
Ia menghisap bibirnya. Namun, perlakuan itu membuat Daiki begitu terkejut hingga Ia memukul wajahnya, dan mengakibatkan Haru tersungkur jatuh ke tanah. Ia mengusap bibirnya, lalu pergi meninggal Haru begitu saja.
"Maafkan aku..." Kata Haru dengan tangan yang menyentuh pipinya yang serasa begitu nyeri.
Untuk kedua kalinya ia melakukan kesalahan besar di hidupnya, hanya dalam satu waktu. Ini sudah berakhir. Pikirnya. Waktu tidak akan pernah berbalik arah. Waktu tidak akan pernah memperbaiki masalahnya.
Haru tak sanggup menahan air matanya, dan merebahkan tubuhnya di atas rerumputan itu. Ia tak ingin menyesali apa yang telah ia lakukan karena hal itu merupakan pilihannya. Akan tetapi, walau seberapa keras ia berusaha agar tidak menyesalinya, hati adalah sesuatu yang jujur dalam diri seseorang. Ia menyesal. Namun, kesalahan telah terjadi, dan tidak ada yang bisa ia harapkan dari waktu.
Air matanya masih saja terus mengalir dengan derasnya. Ia seakan menyakiti diri sendiri saat merenungkan apa yang telah terjadi. Memang hal itu terjadi sebab kenaifannya sendiri. Sesekali ia menyebut nama Daiki di tengah tangisnya dengan kepalanya memikirkan hal menyenangkan yang tidak akan kembali seperti sebelumnya.
Ia berharap bahwa hari ini tidak pernah ada; tidak ada namanya hari esok, dan hari-hari sebelumnya. Mengapa mencintai seseorang itu begitu menyakitkan? Mengapa harus Daiki? Mengapa harus dirinya? Mengapa aku terlahir seperti ini? Mengapa aku harus bertemu dengannya? Mengapa? Hari ini tidak akan pernah ada jika semua hal itu tidak pernah terjadi.
Ia benci kegelapan ini. Ia benci malam tanpa bintang; tanpa bulan membuatnya begitu suram. Ia benci keheningan yang semakin membuatnya menyalahkan diri sendiri. Malam yang suram untuk orang menyedihkan seperti dirinya.
*****