webnovel

Aku Ingin Tidur Denganmu

[On Going] Wajib mem-follow sebelum membaca, dan jangan lupa tinggalkan review. Warning 18+ ! Terdapat unsur kekerasan, kata-kata kasar dan intimidatif, atau adegan dewasa lainnya. "Zahro, saya bukanlah muslim yang sempurna. Saya hanya berusaha taat padaNya. Entah ini pertanda apa? Tapi saya yakin ada tujuan Allah dalam setiap mimpi dan pertemuan kita. Jika saya berjodoh denganmu, Insyaallah saya akan ikhlas dan bahagia. Tapi, ini tidak semudah itu. Keadaan saya saat ini sangat buruk. Kamu mungkin tidak akan sanggup menerimanya." Nizam Airlangga. "Jangan berasumsi sebelum bertanya pada sumbernya. Saya bukanlah wanita yang tangguh seperti Sayyidah Aisyah, tapi saya juga tidak lemah. Bagaimana kamu tahu saya sanggup atau tidak, padahal kamu belum bertanya? Jangan remehkan saya, Azam." Zahrotussita Aamira. Azam dan Zahro, teman sepermainan semasa kecil. Sepuluh tahun kemudian mereka kembali dipertemukan dalam sebuah jamuan perjodohan. Namun, keadaan Azam yang tengah sulit, membuat pria itu langsung menolak perjodohan tersebut. Pria itu meragu, dia takut takkan mampu membahagiakan Zahro dalam keadaan terburuknya kini. Namun, keraguan Azam pun lambat laun sirna, seiring datangnya rangkaian mimpi di setiap tidur malamnya. Azam merasa kalau semua ini mungkin niat baik Allah untuknya. Dia pun memantapkan hati untuk mengajukan pinangan lalu menikahi Zahro. Mampukah Zahro membantu Azam melewati kesulitan hidup? Mampukah Azam dan Zahro mengarungi biduk rumah tangga yang penuh dengan halang rintang yang tidak biasa? Cinta itu mudah, yang rumit itu lika likunya. Blurb : Sabtu, 6 November 2021

Mrsunbelievable_ · 都市
レビュー数が足りません
11 Chs

9. Cemburu

"Zamzam, gimana keadaan anak itu?" tanya Yulia saat Nizam mendudukkan diri di kursi makan.

"Alhamdulillah sudah membaik, Bu. Tapi tangannya yang keseleo masih dibalut."

Ahmad menganggukan kepala. "Kamu harus pastikan anak itu sembuh seperti sebelumnya, Zamzam. Jangan sampai ada kecacatan. Kasihan, apalagi kata Zahro, anak itu perempuan."

Sudah 2 hari Nizam menginap di rumah kedua orang tuanya. Yulia dan Ahmad kekeh menyuruhnya menetap untuk sementara waktu, sebab mengkhawatirkan keadaan Nizam.

Kini Nizam tengah di perjalanan menuju Cempaka untuk bertemu dengan Rusli. Dia ingin menuntaskan pembayaran yang sudah tertunda beberapa hari. Kemudian tengah hari nanti Nizam akan melakukan cek up ke rumah sakit Bakti Husada. Kebetulan hari ini jadwal dia memeriksakan diri.

Nizam merupakan pengidap HIV stadium 1. Kecelakaan 3 tahun yang lalu membawa kabar buruk sekaligus keberuntungan. Kabar buruknya, Nizam syok karena terdeteksi positif virus HIV, sedangkan keberuntungannya, virus itu telah terlacak sebelum sistem imunnya benar-benar semakin melemah dan Nizam amat bersyukur untuk itu.

Dokter Christian mengatakan kalau tahap 1 dinamakan dengan periode Asimtomatis*. Pada tahap ini tiada gejala berarti, tetapi Nizam mendapati benjolan di bagian leher yang sudah muncul selama 3 hari ini. Dia ingin tahu apakah itu termasuk Limfadenopati Generalisata* yang waktu itu diwanti-wanti oleh dokter yang menanganinya atau bukan.

Meskipun mengidap penyakit berbahaya, Nizam amat berterima kasih kepada Allah, karena sudah diberitahu dari sejak awal. Sehingga dengan begitu, dia jadi memiliki kesempatan melakukan penanganan medis yang tepat untuk menghambat pertumbuhan virus mengerikan di tubuhnya tersebut.

"Sudah lunas ya, Pak. Makasih sudah menjual besi tuanya kepada kami." Nizam menyalami Rusli.

Selesai menemui Rusli, Nizam kembali ke tempatnya bekerja. Saat waktu istirahat kantor, Nizam meminta izin keluar selama 2 jam, sebab hari ini pukul setengah 2 siang merupakan jadwalnya menemui dokter.

"Sudah berapa lama bengkaknya, Pak?" tanya Dokter Christian.

"Baru 3 hari, Dok."

"Silakan berbaring." Dokter Christian memeriksa benjolan tersebut. Dia meraba, mengamati tekstur lalu mengukur besarnya. Selesai melakukan pemeriksaan fisik, Dokter Christian menyuruh Nizam untuk melakukan tes darah, pemindaian, dan Biopsi* untuk memastikan diagnosanya.

Selesai melakukan pemeriksaan, Nizam pun diperbolehkan pulang dan untuk hasil tesnya, dokter menyuruh Nizam untuk mengambilnya besok.

Nizam bertolak ke kantor. Sepulang dari bekerja, pukul 5 sore, Nizam menyempatkan waktu untuk mengunjungi Asfa. Dia menanyakan perkembangan anak mungil itu kepada dokter yang menangani. Syukurlah, kondisi Asfa semakin hari, kian membaik. Nizam pun tak lupa menanyakan kapan Asfa akan diperbolehkan pulang.

"Azam," panggil Zahro. Gadis yang memakai jas dokter itu berlari kecil menghampiri Nizam.

Nizam tersenyum tipis untuk kesopanan.

"Kamu pasti habis jenguk Asfa, ya?"

"Iya."

Zahro tersenyum ramah. "Gimana keadaanmu?"

"Alhamdulillah, baik."

Ragu, Zahro berpikir sejenak untuk mengatakan maksud kedatangannya menghampiri. "Emm, gini Azam, aku mau nanya."

"Nanya apa?"

"Malam minggu nanti kamu mau nggak …."

"Zahro." Panggilan dari seseorang menyela.

Zahro dan Nizam segera menoleh ke sumber suara. Seorang pria yang mengenakan jas yang sama dengan Zahro tampak menuju ke arah mereka.

"Ada apa, Dok?" tanya Zahro.

"Sudah saya bilang, panggil saja Habib kalau lagi nggak ada anak-anak." Habib, 35 tahun. Dia merupakan dokter IGD yang selalu berusaha mendekati Zahro. Diam-diam Habib menaruh hati pada gadis itu. Semenjak Zahro magang di sana, Habib selalu berusaha untuk mendekatinya. Namun, gadis berhijab tersebut begitu tidak peka. Seperti hari ini, Zahro mendapatkan dua tiket menonton bioskop dari temannya, tetapi dia begitu tidak paham dengan kode-kode yang diberikan Habib. Pria dewasa itu ingin Zahro mengajaknya untuk menemani menonton malam minggu nanti. Namun, Zahro yang cuek amat tak acuh dengan isyarat Habib. Wajar saja karena Zahro merupakan tipe wanita yang to the point, dia takkan paham dengan kode-kodean.

Zahro mendehem. "Ya, Mas Habib, ada apa?"

Habib tersenyum gembira. "Aku dengar kamu dapet 2 tiket dari …." Senyum cerianya seketika lenyap. "Anda siapa, yah?" Dia melihat Nizam bingung. Lelaki yang tidak Habib kenal itu terus berdiri diantaranya dan Zahro, hal itu membuat Habib merasa kurang nyaman.

"Oh, ini Azam, Mas, temanku," sahut Zahro. "Azam, kenalin, ini Mas Habib."

Nizam dan Habib pun berjabat tangan saling memperkenalkan diri.

"Zahro, malam minggu ini aku nggak ada rencana apa-apa. Gimana kalau aku nemein kamu nonton?" tutur Habib.

"Oh itu." Zahro melirik Nizam merasa canggung. Namun, segera dia sadar kalau dirinya bukan siapa-siapa untuk Nizam. "Ya udah, Mas. Aku nonton sama Mas Habib aja." Zahro tersenyum bersahabat.

Habib menyeringai senang. "Kalau gitu, nanti malam minggu aku jemput ke rumahmu, ya?"

"Oh nggak perlu, Mas. Kita ketemuan di bioskop aja. Gimana?"

"Oke. CGV Sadang, kan?"

"Iya."

Nizam langsung merasa cemburu, tetapi dia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Sebisa mungkin dia menutupi panas hatinya. Nizam sadar kalau Zahro bukan siapa-siapa untuknya. Dia merutuki dirinya, sebab dengan lancang berani mencemburui Zahro. Nizam lah yang menyakiti perasaan Zahro. Jadi dia tidak pantas merasakan ini.

Di dalam mobil, Nizam membuka gawainya untuk melihat tanggal dan hari. Malam minggu masih 3 hari lagi. Entah kenapa dia merasa resah kala tahu kalau Zahro akan berkencan dengan lelaki lain di malam tersebut. Namun, Nizam menepiskan kembali kegalauan di hatinya. Sekali lagi dia menegaskan kalau dia tidak berhak mencemburui Zahro.

3 hari kemudian, Nizam tengah dalam perjalanan menuju CGV. Dia tidak berniat untuk membuntuti Zahro, Nizam hanya ingin jalan-jalan, sebab bosan. Begitu dia menyugesti dirinya. Nizam begitu penasaran dengan kegiatan yang akan dilakukan Zahro dan Habib. Namun, dia menolak mengakui kalau dia berniat menguntit mereka. Nizam hanya merasa bimbang dengan hatinya. Dia hanya ingin memastikan sesuatu. Mungkin saja Habib memiliki niat lain, seperti ingin mendekati Zahro. Bagaimana kalau pria itu menyukai Zahro lalu melamarnya? Nizam kian ditikam gelisah.

Setibanya di Sadang Terminal Square, gegas dia memarkirkan roda empatnya lalu segera menuju bioskop. Sesampainya di sana, Nizam malah bingung mau membeli tiket menonton film apa. Lebih tepatnya, dia tak tahu film apa yang akan ditonton Zahro dan Habib. Sial!

Nizam meremas kepalanya frustrasi. Namun, seketika dia menyembunyikan diri di balik tiang beton bioskop tersebut, karena melihat kedatangan Zahro dan Habib.

"Kenapa kamu ingin menonton Diamanti?" tanya Habib.

"Aku suka novelnya, Mas. Jadi aku penasaran filmnya akan seperti apa."

"Ceritanya tentang apa, sih? Aku penasaran, kok kamu suka banget."

"Tentang cewek tangguh, Mas," jawab Zahro. "Meskipun musibah dan cobaan datang bertubi-tubi, tapi si mc-nya selalu mempunyai alasan untuk bangkit dan menjadi sosok wanita yang lebih kuat dan lebih tangguh lagi. Keren pokoknya."

Habib mengangguk paham.

Nizam yang dapat mendengar obrolan Zahro dan Habib yang berjalan melaluinya pun seketika tercerahkan. Dia bergegas ke bagian pembelian tiket untuk membeli tiket nonton film Diamanti. Namun, sayang tiketnya sudah terjual habis. Seketika Nizam menjadi gusar. Sial baginya. Nizam hanya bisa mengawasi Zahro dan Habib dari sana. Padahal dia ingin tahu bagaimana mereka di dalam sana nanti. 

Nizam begitu tak rela saat membayangkan Habib menghapus air mata Zahro saat gadis itu bersedih, karena adegan yang menyayat hati. Dia juga tidak ikhlas apa bila Zahro yang ketiduran akan bersandar di bahu Habib. "Ya Allah." Sorot matanya sendu.

"Ika, aku udah terlanjur beli 2 tiket. Kamu udah janji kalau malam ini bakalan nemenin aku nonton Diamanti. Kamu gimana, sih?" Seorang gadis, murung. Dia tampak kesal dengan wanita di sambungan teleponnya yang tidak bisa menepati janji.

"Mbak, boleh nggak tiket satunya lagi untuk saya. Saya beli." Nizam menghampiri gadis berhijab yang tengah gusar itu.

----------------------------------

*Asimtomatik adalah suatu kondisi penyakit yang sudah positif diderita, tetapi tidak memberikan gejala klinis apapun terhadap orang tersebut.

*Limfadenopati umum persisten ( PGL ) adalah pembesaran kelenjar getah bening tidak nyeri, tidak nyeri tekan yang terjadi di beberapa area yang berbeda selama lebih dari tiga hingga enam bulan tanpa alasan lain yang dapat ditemukan. Kondisi ini sering terjadi pada orang dalam masa laten HIV/AIDS.