"Zahro," panggil Ruslan-paman Zahro. Dia baru saja pulang dari masjid.
Zahro yang baru turun dari mobil Nizam pun menoleh. "Mamang?" Dia mencium tangan adik almarhum ayahnya itu dengan penuh hormat.
"Dianterin siapa?" tanya Ruslan seraya menengok ke arah Nizam. "Nizam?" Dia menampakan senyuman lebar bersahabat kala mengenali siapa lelaki yang baru saja mengantarkan keponakan tersayangnya tersebut.
Zahro yang sudah tidak mempunyai orang tua pun dirawat dan dibesarkan oleh Ruslan dan Dewi-istrinya. Kebetulan mereka tidak mempunyai anak. Zahro mendapatkan curahan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya dari mereka. Gadis itu begitu disayangi.
Nizam yang ingin bergegas pergi pun terpaksa harus turun dari mobilnya untuk menyapa Ruslan. Usai berbasa basi, Nizam hendak bertolak, tetapi ditahan Ruslan. Dia ingin menjamu Nizam dan mengobrol sebentar, rindu katanya. Nizam yang menjaga sopan santun pun tak kuasa menolak permintaan Ruslan untuk mampir sejenak.
Ruslan mempersilakan Nizam duduk kala sudah memasuki rumah. Dia memanggil Dewi untuk membuatkan mereka kopi. Sudah lama Ruslan tidak bertemu dan ngopi bersama dengan Nizam. Ruslan ingin membicarakan sesuatu. Dia ingin mempertanyakan perihal lamaran Nizam untuk Zahro pada 3 tahun yang lalu.
"Lagi sibuk apa sekarang, Zam?" Ruslan membuka percakapan.
"Biasa, Mang. Ngurusin besi tua." Nizam menampakan keramahan.
"Mamang dengar, usahamu berjalan lancar dan sudah memiliki cabang di Karawang. Bener?"
"Alhamdulillah, iya, Mang."
"Wah, hebat kamu, Zam. Bisa merintis perusahaan sendiri dan bisa berjaya dalam waktu beberapa tahun doang." Ruslan merasa kagum terhadap Nizam. Pemuda cerdas dan mandiri, sangat cocok untuk Zahro. Dia yakin Zahro akan bahagia bila menikah dengan Nizam. Selain keduanya saling mencintai, secara finansial Nizam sangat mampu untuk memastikan kesejahteraan keponakannya tersebut.
Nizam terkekeh. "Bukan saya yang hebat, Mang. Tapi kerja sama tim. Perusahaan saya nggak akan seperti sekarang kalau nggak mempunyai tim yang solid."
"Kamu terlalu merendah." Mulut Ruslan tersimpul. "Oh iya, kapan kamu akan meresmikan khitbahmu untuk Zahro? Kalau kata orang sunda, dulu itu kamu cuma neundeun carita, belum resmi melamar."
Nizam sudah menduga pasti akan ada pembahasan ini, maka dari itu dia enggan mampir. "Em itu, saya …." Nizam gugup, apalagi saat melihat wajah Ruslan yang tampak antusias menunggu jawabannya, seketika membuat kadar kecemasan Nizam bertambah. Dia merasa segan kepada Ruslan. Nizam tidak enak hati untuk mengatakan kalau dia sudah membatalkan pinangannya untuk Zahro.
"Mang, jangan terburu-buru. Azam masih melakukan persiapan." Zahro baru saja keluar dari kamar, menyela. Dia belum memberitahu keluarganya pasal pembatalan pinangan Nizam. Zahro ingin menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Dia ingin saat menyampaikannya nanti, tidak menimbulkan masalah baru dan hubungan keluarganya dengan keluarga Nizam tetap harmonis terjaga.
"Persiapan apa lagi?" Ruslan berpaling kepada Zahro. "Kalian sudah sama-sama dewasa. Nizam sudah mapan dan pendidikanmu, 3 tahun lagi selesai. Nunggu apa lagi?"
"Mang, Azam dan Zahro sudah berkomitmen." Zahro duduk di sofa yang sama dengan Ruslan.
"Zahro, pernikahan adalah sebaik-baiknya komitmen yang diridai Allah. Penikahan juga perbuatan yang baik dan pastinya memiliki nilai pahala, sebab pernikahan merupakan ibadah. Nggak baik mengulur waktu untuk berbuat kebaikan."
"Mang, pernikahan juga ibadah seumur hidup. Kami harus benar-benar mempersiapkan semuanya sebaik mungkin sebelum melakukannya."
"Kalau kalian mempersiapkan terus, kapan nikahnya? Gimana kalau Allah keburu mencabut nyawa kalian sebelum kalian bisa menikah?"
"Mamang sayang. Meninggal disaat kita sedang mempersiapkan ibadah itu, Insyaallah husnul khatimah." Zahro tersenyum santun.
Ruslan menghela napas dalam. Sangat sulit berdebat dengan keponakannya ini. Zahro bukan hanya cerdas, tetapi kini dia sudah menjadi wanita dewasa dan bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Ada rasa gemas karena dikalahkan Zahro dalam perdebatan ini. Namun, Ruslan juga merasa bangga. Zahro merupakan gadis yang berpendirian teguh dan pemberani, sangat mirip dengan mendiang kakaknya. Seketika Ruslan merasa terharu. "Mamang bangga padamu." Dia memeluk Zahro yang duduk di sampingnya, penuh sayang.
Zahro menepuk punggung pamannya lembut. "Udah, Mang. Jangan lebay. Malu dilihatin Azam."
Ruslan pun memburai pelukannya lalu menghapus bulir air yang menyembul di sudut mata. "Nggak romantis," keluhnya seraya mengerutkan wajah, cemberut.
Zahro tertawa lalu merangkul pamannya tersebut. "Bercanda, Mang. Gitu aja baper."
Sementara Nizam terpaku di tempat duduknya. Dia semakin takjub kepada Zahro, sebab Ruslan yang terkenal akan keras kepalanya itu, takluk saat berdebat dengan gadis itu. Sepertinya, Ruslan teramat sangat menyayangi Zahro. Seketika Nizam merasa malu. Zahro yang selalu dijaga dengan baik oleh keluarganya, justru malah Nizam buat dia menangis kemarin. Nizam menyesal.
"Baiklah, terserah kalian. Mamang nggak akan lagi ikut campur hubungan kalian. Tapi Mamang harap, kalian jangan menunda terlalu lama, nggak baik."
"Siap, Bos." Zahro menghormat seperti petugas upacara sembari tersenyum lebar.
Setelah menandaskan kopinya, Nizam pun pamit pulang kepada Ruslan dan Dewi. Zahro mengantarkannya ke depan pintu gerbang.
"Kenapa kamu belum memberitahu keluargaku tentang pembatalan khitbahku?"
Zahro tersenyum tipis lalu menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Zahro, saya merasa …."
"Nggak usah terlalu dipikirkan, Azam. Keluargaku, biar jadi urusanku. Kamu nggak perlu khawatir, aku akan segera memberitahukan semuanya kepada mereka."
"Zahro, sekali lagi saya minta maaf."
Zahro menghela napas, agak jengah. "Azam, jangan terlalu sering meminta maaf. Itu nggak baik. Mengucapkan maaf juga ada batasnya. Jangan terus-terusan mengucapkan itu dengan mudah, sebab nanti kata maaf nggak akan ada artinya lagi dan kamu nggak akan dihargai."
Nizam menundukan kepalanya malu, lalu tersenyum kaku kepada Zahro. "Terima kasih sudah mengingatkan saya."
"Sama-sama."
Nizam mengendalikan laju kendaraannya sambil termenung. Kini hatinya kian bimbang. Terlalu sering bertemu dengan Zahro, membuat pendiriannya agak goyah. "Ya Allah." Dia mendesah kecewa. "Apa sebenarnya rencanaMu? Kenapa Kau buat aku plin plan begini?" Nizam mengusap wajahnya lelah.
Tiba-tiba saja ponsel Nizam berdering. Gegas dia mengangkatnya. "Assalamualaikum, Yah."
[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh] Suara Ahmad di sambungan telepon.
"Ada apa, Yah?"
[Kata Zahro, kamu nggak sengaja nabrak anak kecil. Apa itu benar?] Ahmad mengkhawatirkan Nizam.
"Iya, Yah. Aku nggak sengaja, meleng tadi. Tapi alhamdulillah lukanya nggak terlalu parah." Nizam menghela napas pelan.
[Innalillah. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan?]
"Nggak, Yah. Saya baik-baik saja."
[Alhamdulillah] Kemudian terdengar suara ibunya berbicara sesuatu kepada Ahmad. [Zam Zam, pulanglah malam ini, ibumu mencemaskanmu] Ayahnya memberi titah.
"Baik, Yah." Nizam pun menurut. Dia langsung menghentikan mobilnya lalu berputar balik.
Hari ini merupakan hari yang berat bagi Nizam, karena kecerobohannya, dia tak sengaja melukai orang lain. Peruntungannya begitu buruk. Seakan meratapi penyakit pun tak cukup puas untuk membuatnya terpuruk. Belum lagi perasaan Nizam terhadap Zahro yang masih terus berkembang. Meski hati bunga telah dipatahkan, Nizam masih tetap tidak bisa melupakannya. Alhasil dia pun hanya bisa mengharapkan keajaiban. Apakah keajaiban itu ada? Seandainya Tuhan mau mengabulkan satu keinginan yang paling diharapkan, Nizam ingin virus mematikan itu lenyap dari tubuhnya. Seandainya begitu cara takdir bekerja. Nizam agak putus asa.