Beberapa kali memimpikan hal yang sama, Nizam pun memutuskan untuk salat Istikharah. Dia ingin meminta petunjuk-Nya untuk segala kebimbangan dan kebingungan hati. "Ya Allah, ada apa ini? Kenapa Kau berikan aku mimpi seperti itu? Kenapa Kau buat aku bimbang dengan keputusanku ini? Aku mohon berilah petunjuk-Mu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Nizam menengadahkan kedua tangannya, berpasrah memohon kepada Sang Illahi. Dia merasa kalau keputusannya membatalkan khitbah adalah benar, tetapi yang benar di matanya, belum tentu sama di mata Tuhan. Nizam pun bersimpuh meminta keteguhan hati. "Ya Allah, aku nggak mau sampai menjangkiti Zahro. Aku nggak mau menyusahkan dia. Benarkah keputusan yang kubuat ini ya Allah? Berikan aku ketetapan hati, aku mohon."
Selesai salat, Nizam pun merebahkan tubuhnya di atas sajadah sambil menunggu waktu subuh tiba.
"Azam." Zahro menggapai tangan Nizam.
Nizam pun menoleh ke sisi. Dia tak mengetahui kedatangan Zahro, sebab terlalu fokus memandangi danau luas nan indah di hadapan. "Zahro?"
"Genggam tanganku, Azam. Jangan pernah lepaskan." Zahro mengeratkan pegangan pada telapak tangan Nizam.
Nizam menunduk melihat tangan mereka yang bertautan. "Zahro, apa maksudnya ini?" tanyanya bingung.
"Aku mencintaimu, Azam. Nggak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku." Zahro bersandar mesra pada tubuh Nizam. "Aku tahu, kalau kamu juga masih mencintaiku, Azam. Jangan bohongi hatimu."
Nizam menatap wajah Zahro yang bersandar di bahunya. Tampak gadis itu tersenyum kepadanya.
"Azam." Perlahan Zahro mendekatkan wajahnya ke muka Nizam.
Nizam terpaku, sebab pesona Zahro yang menawan. Gadis cantik nun saleha yang selama ini menempati tahta keagungan di relung hati Nizam. Zahro memeluknya erat hingga saat ….
Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Nizam kembali dibangunkan oleh seruan azan. Gegas dia duduk. Nizam mengusap wajahnya. "Ya Allah, apa itu adalah jawaban untuk doa-doaku?" Dia pun tercenung. Nizam sedikit gelisah karena mimpi barusan. Dia sungguh tidak mengerti. Nizam tidak mungkin menikahi Zahro. Dia gadis yang sehat dan saleha. Zahro tak pantas menikah dengannya yang penyakitan.
Nizam agak frustasi dengan mimpi-mimpinya, dia pun memutuskan untuk melaksanakan salat Subuh lalu membaca Al-Quran supaya membuat dirinya lebih tenang lagi. Tiba kala dia membaca ayat ke tiga. Pikirannya seketika jernih. Dia berhenti sejenak, berpikir dalam. Nizam termenung. "Mungkinkah Zahro jodohku?" gumamnya. Nizam masih mencoba memperbaiki pola pikirnya. Dia tidak mau gegabah. Setelah pikirannya terbuka, Nizam pun beristighfar berulang-ulang. Dia amat menyesali perbuatan cerobohnya. Nizam kadung berprasangka akan takdir Allah untuknya. "Astagfirullahaladzim. Maafkan aku ya Allah. Aku nggak ada niat untuk menolak takdirmu."
"Baiklah, aku akan menemui Zahro malam ini." Nizam memantapkan hatinya. "Ya Allah, jika dia benar jodohku, mudahkanlah aku menjelaskan kondisiku kepadanya nanti." Dia berdoa.
Keesokan harinya, Nizam pun kembali beraktifitas seperti biasa. Dia pergi ke pabrik di daerah Cempaka untuk menemui Rusli. Nizam ingin membahas pembayaran besi yang dia taksir kemarin.
Namun, seketika saja Nizam tersentak kaget kala tiba-tiba saja ada anak kecil berlari ke depan kendaraannya. Segera dia mengerem laju roda empatnya dengan kuat. Sial, dia terlambat dan anak perempuan itu tetap tertabrak. Brugh!
"Asfa!!" jerit Fatimah saat melihat anaknya tersungkur ke aspal. Gegas dia meraup sang anak yang meringis kesakitan ke pangkuan. "Ya Allah, Asfa!!"
Cepat warga sekitar mengerumuni roda empat Nizam. Nizam amat syok, dia melengung beberapa saat hingga saat beberapa warga mengetuk kaca mobilnya kencang, menyuruhnya turun.
"Turun woi!!"
"Turun!!"
"Turun-turun!!"
Nizam langsung turun dari mobilnya.
"Yang bener dong kalo bawa mobil!! Lihat, tuh anak orang ketabrak!!" bentak salah seorang warga.
Nizam merapatkan kedua tangannya dengan kikuk. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja." Kemudian buru-buru dia menghampiri ibu dan anak yang terduduk di depan moncong kendaraannya. "Ya Allah!! Astagfirullahaladzim!!" Dia meremas kepalanya panik.
"Tanggung jawab woi!!"
"Iya, Pak. Saya akan bertanggung jawab," jelas Nizam dengan ngeri. Dia kuatir warga akan kehilangan kendali lalu menghakiminya.
Nizam yang berjongkok pun berkata, "Mbak, mari ikut saya. Saya akan membawa anaknya ke rumah sakit."
Fatimah yang tersedu sedan pun hanya bisa menurut. "Iya, Mas. Tolong anak saya."
"Baik, Mbak." Nizam pun membopong Asfa lekas membawanya masuk ke dalam mobil dengan diikuti Fatimah. Kemudian, gegas dia duduk di kursi kemudi dan melajukan kendaraan setelah memastikan Fatimah juga naik.
"Bu, sakit, Bu. Kepala Asfa puyeng," keluh Asfa di pelukan Fatimah.
"Iya, Nak. Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit." Fatimah tak dapat mengontrol luruhan air matanya.
Nizam memacu mobilnya dengan perasaan campur aduk. "Bodoh banget, Azam! Kamu mikirin apa, sih, sampai nggak sadar ada anak kecil lari ke depan mobil?! Sialan!" batinnya kesal pada dirinya sendiri yang merasa kurang pusat dalam berkendara.
Sesampainya di rumah sakit, Asfa langsung mendapatkan pertolongan medis. Anak kecil itu terus merintih kesakitan. Selesai mendapatkan perawatan, Asfa pun bisa lebih tenang.
Nizam menghampiri Fatimah saat selesai melakukan administrasi. "Maafkan saya, Mbak. Saya benar-benar nggak sengaja."
"Iya, Mas, saya tahu. Ini salah saya juga yang kurang erat memegangi tangannya tadi." Fatimah mengelus kepala anaknya. Tampak Asfa mendapatkan balutan luka di siku tangan dan kening. "Masih sakit, Nak?" tanya Fatimah pada sang anak.
"Perih, Bu." Asfa.
"Sabar, Sayang. Nanti juga …."
"Mbak Fatimah! Asfa!" Seorang perempuan berseragam dokter menghampiri mereka dengan terpogoh-pogoh.
"Dokter Nisa?" Fatimah.
"Ya Allah, Asfa." Dokter Nisa merasa prihatin melihat keadaan anak kecil di pembaringan itu. "Kan, udah, Bu Dokter bilangin supaya Asfa hati-hati. Jangan sering terluka, Nak."
"Maafin Asfa, Bu Dokter." Asfa menyesal.
Dokter Nisa hanya membalas kata maaf Asfa dengan senyuman miris. "Iya, Sayang, nggak apa-apa."
"Dokter Nisa tahu dari mana kami di sini?" tanya Fatimah.
"Tadi asisten saya yang kasih tahu," jawab Dokter Nisa.
Fatimah mengangguk paham.
Dokter Nisa pun mengalihkan pandangannya kepada sosok pria yang sedari tadi berdiri di dekat Fatimah. "Mas ini, siapa yah?"
Nizam tersenyum canggung. "Saya, Nizam. Saya yang tadi nggak sengaja nabrak adik kecil ini."
Dokter Nisa mengerti.
Fatimah dan Asfa adalah ibu dan anak pengidap Aids. 5 tahun yang lalu Fatimah menikahi seorang pria penderita HIV. Perempuan dewasa itu tidak mengetahui pasal penyakit almarhum suaminya tersebut dan sang suami pun enggan memberitahukan penyakitnya itu. Fatimah baru mengetahui suaminya merupakan pesakit Aids setelah 6 bulan pernikahan mereka, saat dirinya positif hamil.
Fatimah amat terpukul. Dia sangat stress dan hampir depresi. Namun, perlahan Fatimah belajar menerima keadaannya. Hingga saat anaknya berusia 2 tahun, suaminya pun meninggal dunia. Fatimah dinyatakan positif Aids begitu pula dengan sang buah hati, tetapi keduanya rutin menjalani pengobatan hingga mereka bisa bertahan sampai saat ini.