Saat ini jam menunjukan pukul 11 siang. Nizam dan Zahro berada di sebuah kafe menikmati jus. Mereka duduk berhadapan ditengahi meja persegi kecil.
"Ada apa?" tanya Nizam sopan.
"Nggak ada apa-apa. Aku cuma kangen sama kamu." Zahro bertopang dagu seraya menamandangi Nizam sambil tersenyum.
Nizam menggelengkan kepala dengan mulut melengkung kaku. "Zahro."
"Azaaam, diamlah. Aku cuma kangen dan pengin ketemu kamu, apa itu salah?"
"Semalam kita sudah ketemu, apa itu nggak cukup?"
Zahro tersenyum simpul lalu menyandar ke kursi. "Nggak." Dia menggeleng.
Nizam bersandar seraya tak melepaskan tatapannya dari sosok gadis cantik di hadapan.
"Kenapa lihatin aku kaya gitu? Aku cantik banget, ya?" Zahro mengedutkan kedua alisnya.
Nizam terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. "Zahro."
"Azam." Zahro tersenyum manis.
Keduanya pun seketika tertawa renyah.
Zahro menghentikan gelaknya lalu mendehem. "Azam, aku mau nanya."
"Nanya apa?"
"Kenapa?"
"Hmmm?" Nizam tampak bingung.
"Kenapa kamu membatalkan khitbahmu untukku?"
Nizam terpaku sejenak lalu wajahnya berubah biasa lagi. "Saya memiliki alasan."
"Apa alasannya, Azam?"
"Privasi, saya nggak bisa ngasih tahu kamu."
Zahro mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau ngasih tahu aku sekarang." Dia merapatkan bibirnya sebelum kembali berbicara, "Jadi, kamu berutang satu penjelasan padaku, Azam."
Zahro adalah seorang gadis muslimah yang pemberani dan kritis. Dia tidak mudah dibodohi dan dia tidak akan diam saja sebelum mendapatkan jawabannya. Zahro bukan tipe perempuan yang mudah menyerah. Dia gadis yang berprinsip dan tidak pernah main-main dengan perasaannya. Zahro mencintai Nizam dan dia membutuhkan penjelasan pria itu.
Nizam terdiam. Dia tidak mungkin memberitahu Zahro tentang penyakitnya ini. Nizam malu. Penyakitnya ini merupakan aib yang tak seharusnya diumbar. "Gimana kehidupanmu di Jakarta? Apa menyenangkan?" Nizam mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah, lumayan menyenangkan," jawab Zahro seraya menyeringai miring. Dia agak kurang senang karena Nizam mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah."
"Emm, sebelum aku pulang kemarin, aku sempat bertemu dengan Mas Kaif." Zahro mengambil gelas jusnya lalu menyeruput sedikit. "Dia menitip salam untukmu."
Deg. Kaif adalah nama pria yang dulu ingin mempersunting Zahro, tetapi batal sebab sesuatu hal. Nizam tidak pernah tahu apa alasan Zahro dan Kaif memutuskan untuk menghentikan rencana mereka. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana kabarnya?" Hati Nizam agak resah. Dia cemburu.
"Alhamdulillah, baik. Dia terlihat sangat bahagia bersama istrinya." Zahro tersenyum simpul.
"Istri?"
"Hmm hmm, Mas Kaif sudah menikah dengan Leilah-gadis keturunan Mesir."
"Oh." Nizam mengangguk paham. Entah kenapa hatinya terasa lega. Dia kira Zahro telah menjalin kembali komunikasi dengan Kaif, sebab alasan tertentu. Tapi sepertinya, itu hanyalah pertemuan biasa.
"Aku salut sama Mas Kaif. Dia dengan jantan mengatakan kalau dia mencintai wanita lain dan mau menikahiku hanya karena dia nggak ingin mengecewakan ibunya," jelas Zahro. "Jujur, aku juga dulu nggak mempunyai rasa apa pun sama dia. Aku mau menikah dengannya, sebab nggak mau mengecewakan Mang Ruslan. Makanya pas dia membatalkan pinangan, hatiku biasa saja. Nggak ada sedikitpun rasa sakit atau kecewa." Dia terus menampakan senyuman ramahnya. Namun, tiba-tiba saja bibir Zahro menampakan senyuman kecut. "Berbeda saat kamu yang membatalkannya."
Seketika air muka Nizam berubah murung. "Maaf." Kepalanya agak tertunduk.
Zahro mengerutkan kening. "Untuk?"
"Untuk semalam."
Zahro membenarkan duduknya lebih tegak. "Untuk pergi tanpa pamit atau untuk pembatalan khitbahmu?" Serius.
"Untuk semuanya. Saya benar-benar merasa bersalah."
Zahro seketika terkekeh. "Memang sudah sifatmu kan, Azam? Dari sejak dulu kamu suka mempermainkan hati perempuan. Playboy." Dia tersenyum sinis. Ada rasa menyengat yang begitu menyakitkan di dada Zahro. Dia tak kuasa menahannya. Sehingga segeralah air menyembul menggenangi telaga mata. Dia berusaha menahan air yang memenuhi pelupuk supaya tidak jatuh.
Nizam menatap pilu Zahro yang berkaca-kaca. "Zahro."
"Nggak perlu minta maaf, Azam. Aku yang bodoh karena sudah mempercayaimu." Seketika sebuah bulir besar pun luruh menuruni pipi Zahro.
Nizam bergegas merogoh saku untuk mengambil sapu tangan, tetapi Zahro sudah lebih dulu menghapusnya dengan ujung hijab.
Zahro menatap sendu tangan Nizam yang menyodorkan kain cita. "Berhentilah membuatku gede rasa, Azam." Dia menggelengkan kepalanya dengan air mata yang seketika mengalir dengan tak tahu malu. "Aku bukan mainanmu. Aku nggak membutuhkan perhatian palsumu. Sudah cukup kamu memenjara hati ini di dalam harapan palsu."
"Zahro, saya nggak ada maksud untuk menyakitimu. Ini semua di luar kuasa saya. Saya hanya nggak mau menyusahkanmu."
"Bagaimana aku akan mengerti jika kamu nggak mau menjelaskannya, Azam? Berilah aku penjelasan." Zahro berwalang hati, karena harapan yang selama ini dia tautkan kepada Nizam dipatahkan begitu saja. Sulit baginya menerima keputusan Nizam tanpa adanya alasan pasti. Zahro sudah terlanjur menata hatinya hanya untuk lelaki itu.
Nizam menunduk murung di kursi kemudinya. Baru kali ini dia melihat gadis setegar dan seceria Zahro menangis. Sepertinya gadis itu amat terluka oleh sikap Nizam. Pria itu amat menyesalkan perbuatannya. "Ya Allah, jika aku sudah melukai hatinya. Aku mohon, sembuhkan lukanya," batinnya.
Nizam pun melajukan kendaraannya kembali menuju kantor. Namun, sesampainya di kantor, Nizam malah tidak bisa mengerjakan apa-apa, sebab selalu terbayang-bayang wajah sedih Zahro.
Jika saja perasaan memiliki warna, mungkin Zahro akan paham bagaimana perasaan Nizam. Gadis itu akan tahu apa yang tengah dirasakan pemuda yang dicintainya. "Aku memang bodoh," keluh Nizam seraya memijat pangkal hidung.
Tiba-tiba saja ponsel Nizam berdering, lalu segera diangkat. "Assalamualaikum. Pak Tatang, ada apa? Apa sudah selesai?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Belum, Pak. Saya dan anak-anak baru menimbang separuh barang saja. Tapi, sepertinya kami nggak bisa mengangkut hari ini, Pak. Anak-anak sudah kelelahan."
"Baik, Pak. Nggak apa-apa, kalian selesaikan dulu penimbangan dan angkut saat nanti sudah selesai. Jadi, berapa berat yang sudah dihitung hari ini?"
"Total 70 ton, Pak. Itu termasuk besi beton, plat, dan pipa."
"Oke. Selesai nanti, segera kirimkan data-datanya ke saya."
"Siap, Pak."
Jam sudah menunjukan pukul 5 sore kala Nizam melihat penghitung waktu di dinding. "Sudah saatnya aku pulang."
Sesampainya di rumah, Nizam pun merebahkan tubuh penatnya. Dia ingin beristirahat sebentar. Namun, Nizam malah ketiduran. 30 puluh menit kemudian, dia kembali terbangun. "Ya Allah, mimpi itu lagi."
Nizam memimpikan akad nikahnya bersama Zahro. Hatinya kian bimbang saat ini. Kenapa Nizam terus memimpikan pernikahan mereka? Apa karena dia amat mengharapkan bisa berjodoh dengan Zahro? Apa mungkin itu pengaruh dari alam bawah sadarnya? Atau Allah mencoba memberikan petunjuk jodoh untuknya? Mungkinkah wanita itu adalah Zahro? Benak Nizam dipenuhi tanda tanya.
Nizam memang ingin menikah, tetapi tidak dengan Zahro. Dia ingin menikahi wanita yang bernasib sama sepertinya. Sama-sama mengidap virus yang sama. Akan zalim kalau dia yang memiliki penyakit menular dan berbahaya kalau sampai menikahi wanita yang sehat. Nizam tidak mau menjangkiti siapapun, mengorbankan hidup siapapun demi kepentingannya.
Jika tidak ada wanita seperti yang diinginkannya, biarlah dia menyendiri sampai mati. Toh, umurnya mungkin tidak akan lama lagi. Mimik wajah Nizam berubah sendu.