webnovel

Aku dan Suamiku

Warning! Mature content! "Seperti Sha, sahabatku yang menikah sangat muda, aku pun sama. Menikah di usia 16 tahun. Bahkan aku telah menikah dua tahun lebih dulu darinya. Bedanya kalau sahabatku itu suaminya selalu standby 24 jam di sampingnya, aku tidak. Bahkan saat ini aku tak tahu dimana suamiku itu berada. Dia meninggalkanku seminggu setelah menikahiku. Hanya dua kali aku melihat wajahnya. Tapi, bukan itu masalahnya. Kalian harus tahu apa yang dilakukannya padaku setelah dia kembali. So guys, read my story with my husband, if you really want to know!

Sinnadwi · 都市
レビュー数が足りません
53 Chs

Part 13.1 Dia dan Permintaannya

"Ada apa lagi Hannah?! Ada apa?!" Bunda dan Mbak Mirna terlihat panik. Mereka bahkan ikut berlari meninggalkan dapur dan menghampiriku.

 

"Ada apa?" tanya Bunda lagi.

 

Sedang aku masih mengatur napasku. "Itu... Itu..."

 

"Itu apa? Kamu kenapa? Bicara yang jelas, Hannah."

 

"Itu… Hahhh... Hhh..."

 

"Mbak, ambilkan minum."

 

"Baik Nyonya."

 

"Ada apa? Kamu lihat apa? Elang ada? Mana dia?"

 

Aku masih memegangi dadaku saat Bunda memberikan pernyataan beruntunnya. Jantungku masih berdetak cepat dan napasku belum teratur.

 

"Ini, Nyonya." Mbak Mirna datang dan memberikan segelas air ke Bunda.

 

"Duduk dulu sini." Bunda menuntunku duduk di kursi terdekat, lalu memberikanku minum. "Minum." Aku menurut dan meminumnya hingga tandas. Berlarian mem-buatku lelah dan kehausan.

 

"Sekarang, jelaskan! Ada apa?"

 

Aku menarik napasku dalam-dalam, "Ee... M-mas Elang." mulai mencoba menjelaskan dengan gugup.

 

"Kenapa Elang?" potong Bunda sebelum aku me-nye-lesaikan ceritaku.

 

"Dia... Dia di kamar mandi."

 

"Kenapa? Dia jatuh? Dia terpeleset?"

 

Aku menggeleng cepat menjawab interogasi dari Bunda. "Lalu?" tanya Binda lagi. "Dia kenapa?"

 

"Dia... Mandi." jawabku lemah.

 

"Apa? Mandi?"

 

Aku mengangguk.

 

"Lalu?"

 

"Hannah membuka pintunya."

 

"Lalu?"

 

"Dia telanjang." jawabku menunduk.

 

Hening beberapa saat, sampai aku mendengar suara tawa tertahan daei Mbak Mirna, lalu di susul tawa memba-hana dari Bunda.

 

"Bwahahhahaha." Aku hanya melongo melihat tawa mereka berdua. Apanya yang lucu. Aku sedang syok dan mereka menertawakanku? "Kamu lucu sekali sih, Sayang. Hahahha."

 

"Apanya yang lucu sih, Bun?" sungutku pada Bunda yang belum bisa berhenti tertawa.

 

"Ya kamu! Namanya orang mandi, ya pasti telanjang. Lagi pula, dia kan suamimu sendiri. Kalian kan sudah biasa melihat satu sama lain. Lalu, dimana masalahnya?"

 

Kurasakan pipiku memanas mendengar penjelasan Bunda. Masalahnya, kami tidak sedekat itu, Buun! Teriakku dalam hati. Dan ini pertama kalinya aku melihat tubuh seorang pria naked. Secara langsung.

Ah, bagaimana aku akan menghadapinya.

 

"Sudah baikan?" tanya Bunda, dengan malas aku mengangguk. "Kembali ke kamar, sana! Mumpung ada Elang. Kemarin, kamu cari-cari. Sekarang, giliran ada orangnya, kamu tinggal-tinggal." Pasti Bunda sedang menggodaku sekarang.

 

Lagi, aku mengangguk dan berdiri. "Ingat sarapan, Sayang. Ajak suamimu. Jangan lupa cuci muka dan gosok gigi dulu."

 

"Bunda ih!"

 

"Eh, bau tau! Kamu belum cuci muka kan?"

 

"Bundaaa..."

 

"Pakai pakaian yang sopan juga kalau sarapan. Jangan pakai lingerie, nanti suamimu tidak fokus."

 

"Bundaaaa." aku langsung menyilangkan tanganku ke dada, dan segera berlari menuju kamarku. Kepanikan membuatku lupa dengan apa yang aku pakai. Untung saja tidak ada Ayah. Bisa digoda habis-habisan aku.

 

Saat aku sampai kamar, mataku disuguhi pemandangan suamiku yang sedang duduk bersandar di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia masih menggunakan bathrobe panjang, dan rambutnya masih basah.

 

Dia benar-benar mengabaikanku. Melirikku sebentar, lalu kembali menekuri layar laptopnya.

Ah, bekerja lagi? Padahal ini hari Minggu dan dia sedang berada di rumah. Apa kekayaannya masih kurang? Atau itu hanya alasan agar dia tidak berhubungan dengan-ku? Apa dia benar-benar membenciku?

 

Sifatnya benar-benar membingungkan untukku. Dia jahat, dingin dan kasar sebelum pergi. Lalu pulang tetap kasar dan dingin. Sesaat kemudian berubah sedikit lembut dan mesum. Besoknya masih mesum dan terlihat ceria. Bahkan, dia terus menggodaku. Aku pergi, dia kembali dingin dan jahat. Dan tadi malam, dia terlihat tidak marah padaku. Seolah tidak terjadi apapun. Sekarang dia kembali dingin dan Mengabaikanku?

 

Aduh, aku pusing!

 

Kesal, kuabaikan dia. Aku mau mandi. Ya Tuhan! Gara -gara dia, aku sampai bangun kesiangan dan lupa dengan ibadah pagiku. Mana sudah jam enam lagi. Hish! Ampuni hamba, Ya Allah!

Secepat mungkin aku membersihkan diriku. Mendi-nginkan kepalaku yang rasanya hampir mendidih. Penat sekali kepalaku.

 

Aku baru menyadari, aku meninggalkan pakaianku di luar. Aku masuk ke kamar mandi tanpa membawa apa pun. Seperti kebiasaanku sebelumnya. Dan sialnya, hanya ada handuk kecil di kamar mandi. Ah. Kenapa aku sial terus?

 

Pelan, kubuka pintu kamar mandi. Dia masih di sana. Masih fokus dengan laptopnya. Aduh, bagaimana ini? Mau minta tolong, tapi aku takut. Ambil baju sendiri, terdengar lebih konyol. Aku tidak mungkin menyuguhkan tubuh telanjangku di hadapannya kan?

 

Menebalkan muka, aku memutuskan untuk meminta tolong padanya. "Mas?" lirihku.

 

Dia tidak menoleh sama sekali. Mungkin tidak mendengarku. "Maas!!" panggilku lebih keras.

 

"Hmm?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

 

"Emm... Tolong ambilkan handuk panjang atau baju ganti."

 

"Apa?" tanyanya, sekarang dia sudah menoleh ke arahku.

 

"Tolong ambilkan saya handuk besar, sekalian baju ganti kalau boleh." jawabku takut takut.

 

"Apa kau sedang berusaha menggodaku?" tanyanya tiba tiba. Laptop di pangkuannya kini sudah diletakkan di nakas sampingnya. Matanya tetap tajam menatapku. Mem-buatku sedikit takut.

 

"Tidak." jawabku cepat.

 

"Apa imbalannya jika aku menolongmu?"

 

"Emm... Tidak ada. Tidak bisakah Mas menolong saya tanpa pamrih?" aku tidak menyangka jika reaksinya seperti itu. Aku ingin ini semua segera berakhir.

 

"Mas?" kuyakin wajahku telah memerah saat ini. Ah, aku malu. "Hmm... Aku suka panggilanmu." lanjutnya lagi.

 

"Jadi, bisa tolong saya?" tanyaku lagi. Aku sudah kedinginan.

 

"Kalau itu, maaf Honey. Kau harus memberiku imbalan. Aku bukan orang yang baik hati." jawabnya dengan seri-ngaiannya yang baru pertama aku lihat. Wajahnya terlihat licik kali ini. "Dan juga, kau harus dihukum karena meng-ganggu tidurku semalaman."

 

"Please, hanya mengambil handuk saja. Aku sudah kedinginan." mohonku padanya.

 

"Dua hukuman karena kau tidak sopan."

 

Aku menghela napas, "Ayolah! Mas, tolong ambilkan saya handuk." rayuku berusaha sesopan mungkin dan mengeluarkan wajah termelasku.

 

"Beri aku hadiah, atau ambil sendiri handukmu."

 

"Fine! Aku akan memasakkan makan malam untukmu."

 

"Tiga hukuman untukmu. Dan aku tidak menerima sogokanmu. Aku bisa makan malam dimanapun. Dan aku tidak yakin bagaimana kualitas masakanmu." jawabnya penuh seringai. Kepalaku kembali memanas berkat kela-kuannya.

 

"Jadi, Mas mau apa?"

 

"Hmm... Menginap di hotel malam ini denganku!"

 

Dan selanjutnya, aku hanya bisa meneguk ludahku sendiri. Menginap di hotel? Bersamanya? Otakku seketika memikirkan hal yang tidak-tidak.

 

----------

-tbc