webnovel

A Hello With No Goodbye

Ini bukan tentang Andri. Atau Emi. Ini tentang seseorang yang jauh lebih penting dari pada mereka berdua. Yang sudah mengubah hidupku dan cara pandangku tentang sebuah hubungan. Dan ketika Rio mempertanyakan tentang komitmen itu, aku tahu aku harus menjawab apa. Well Rio, membuat komitmen enggak semudah loe menyeduh kopi di pagi hari. Yang kalau loe rasa kurang manis, loe tinggal tambah gula sedikit. Berkomitmen berarti loe harus terima sepahit apa pun rasa yang akan loe cicipi. Bahkan setelah loe merasakan manisnya. Dan yang perlu loe tahu, gue salah satu orang yang membenci rasa pahit.

syahharbanu · 都市
レビュー数が足りません
21 Chs

Chaos

Aku membasuh tanganku di wastafel sambil menatap wajahku yang gak berhenti tersenyum di depan cermin besar. Kenekatanku mencium pipi Rio benar-benar membuat jantunhku gak berhenti-berhentinya bergemuruh. Ku keringkan tanganku dan kutangkupkan di wajahku. Rasa hangat menjalari tanganku. Make upku memang sudah luntur. Tapi pipiku tetap merah. Ku hembuskan nafas dengan keras. Sebelum kemudian memoles wajahku yang kucal dengan make up seadanya. Bersamaan dengan itu, Nadin masuk ke kamar mandi dengan senyum-senyum nakal menghampiriku. Dia berdiri di sampingku dan menyenggol bahuku.

"Cie." Ledeknya. Membuat senyumku semakin melebar.

"Apa sih Nad." Elakku sambil trtap memoleskan bedak ke wajahku menutupi rasa gugupku.

"Aku seneng deh bisa liat mas Rio happy lagi. Dia keliatan banget perubahannya sejak ada mbk."aku menghentikan aktivitasku dan menatap Nadin.

"Iya. Mas Rio yang dulu tuh workholic parah. Pulang kantor pasti di atas jam 10 malam. Boro-boro bisa diajakin jalan kayak gini. Ketemu makan malam aja jaraaang banget." Diam-diam aku merasa senang mendengar penjelasan Nadin. Secara gak langsung Nadin mengatakan kalau Rio happy sama aku.

"Aku sama Ridho tu sebenarnya gak enak mau ngelangkahin mas Rio. Tapi ibu sama bapak bilang kalau kami gak boleh menunda niat baik. Nanti juga pada waktunya Rio akan ketemu sama jodohnya. Eh beneran."

Aku tertegun. Seketika bunga-bunga yang mengelilingi tubuhku berguguran dan jantungku berhenti berdetak.

"Tunggu. Maksud kamu?" Aku meminta Nadin mengulangi pernyataannya barusan. Dia kelihatan kebingungan dengan reaksiku yang tiba-ti a berubah.

"Kenapa...?" Tanya Nadin

"Gak." Aku memotong kalimatnya segera karena masih ternhiang dengan pernyataan sebelumnya. "Bisa kamu ulang pernyataan kamu yang terakhir?" Tukasku. Dengan ragu, mesli tak tahu dimana letak kesalahannya, Nadin mengulanginya dengan patuh.

"ibu sama bapak bilang kalau kami gak boleh menunda niat baik. Nanti juga pada waktunya Rio akan ketemu sama jodohnya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, aku bergegas keluar dari kamar mandi dengan langkah lebar dan nafas memburu. Meninggalkan Nadin yang teriak-teriak memanggil namaku. Dikepalaku terus menerus berputar berbagai pertanyaan. 'Jadi selama ini Rio bohongin aku?' 'Maksud dia apa?' 'Mau manfaatin aku?' 'Dia anggap aku apa?' 'Mainan? Terus selama ini dia seneng gitu bisa mempermainkan aku? Apa semala ini dia menertawakan kebodohan aku?' Sial. Air mata aku tiba-tiba jatuh begitu saja. Aku fikir belakangan ini aku senang bisa mengenal Rio lebih dekat. Aku senang bisa kenal sama keluarganya. Dengan orang tuanya. Dengan adik-adiknya. Tapi nyatanya, Rio gak kalah brengsek sama Andri.

Ku rebut tas tanganku begitu saja ketika berada di meja tempat kami makan.

"Lho Le. Kenapa?" Rio dan Ridho sontak berdiri ketika melihat kehadiranku yang kacau dan tiba-tiba.

"Gue mau pulang."

Sseketika Rio menangkap tanganku sebelum aku sempat kemana-mana.

"Iya tapi loe kenapa? Ada masalah? Hem? Ibu? Ibu kenapa? Atau Emi?" Repetan pertanyaan Rio belum sempat kujawab, saat itu Nadin baru berhasil mengejarku.

"Mbak loe kenapa? Gue ada salah ngomong? Gue minta maaf." Melihat kedatangan Nadin, aku ssegera memeluk tubuhnya yang jengkung dan air mataku tumpah tanpa bisa ku tahan. Aku pikir aku mencintai Rio. Aku pikir aku punya harapan dengan semua perlakuan manis Rio padaku.

Aku melepaskan pelukan Nadin yang bahkan belum sempat membalas pelukanku. Diam-diam kuhapus air mataku sebelum menatap Nadin.

"Thanks. Loe gak salah kok." Setelah mengucapkan itu aku segera beranjak meninggalkan mereka semua dengan perasaan bergemuruh. Mengabaikan Rio yang mengejar langkahku.

***

Sudah 10 menit aku berdiri di depan pintu rumah Emi, tapi tak ada niatan untuk mengetuknya sama sekali. Ya, aku nggak pulang. Aku ke rumah Emi. Tempat yang menurutku aman. Kalau aku pulang dan ibu lihat aku dalam kondisi seperti ini, sudah dipastikan dia akan panik setengah mati. Jadi, ku rasa Emi adalah solusi terakhir. Ku hapus air mataku untuk kesekian kali dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Kucari nomor Emi dan mencoba menghubunginya. Dalam drring ke 2, Emi menjaeab panggilannya.

"Halo Le." Sapanya. Tapi sialnya suaraku nggak mau keluar. Ku tutup mulutku agar suara isaknya nggak terdengar. Tapi sepertinya nggak berhasil.

"Le, loe kenapa? Kok kayak orang nangis?" Semakin keluarlah isakkanku dan semakin paniklah Emi.

"Le loe dimana? Gue ketempat loe ya. Gue kesana sekarang loe jangan kemana-mana. Loe dimana aekarang?" Seru emi terdengar sedikit frustasi. Dan tepat pada saat itu, pintu rumah Emi terbuka. Memunculkan Emi dari dalamnya dengan tergesa-gesa. Namun seketika langkahnya terhenti ketika melihatku berdiri di depan rumahnya.

"Le." Hanya satu sylabel itu yang berhasil diucapkannya.

"Mi," aku menarik nafas sebelum melanjutkan. "Mi, gue sayang sama Rio." Ucapku pada akhirnya diiringi air mata yang semakin tumpah. Aku bisa tahu Emi terlihat bingung dengan pernyataanku. Tapi tetap saja dia menghampiriku dan memeluk tubuhku.

***

Emi menggiringku masuk ke rumahnya. Mendudukkanku di sofa dan nembuatkanku secangkir coklat hangat. Kuseruput coklat itu dan seketika tubuhku merasa nyaman.

"Oke sekarang, loe jelasin ke gue ada apa? Kenapa loe tiba-tiba dateng kesini malam-malam sambil nangis terus bikin pengakuan kalau loe sayang sama Rio? Maksud gue, ya loe kan pacarnya. Kalau loe gak sayang ngapain loe pacaran? Oh atau...

"Mi." Aku memotong kalimat Emi yang terlalu panjang hingga membuatku semakin pusing. Seketika dia terdiam dan menatapku minta ampun.

"Gue mau bikin pengakuan lain sama loe. Tapi please... loe jangan marah kalau gue ceritain ini." Aku memohon. Karena sejujurnya aku memang takut Emi akan marah kalau aku cerita masalah yang sebenarnya.

"Ya tergantung. Kalau loe buat yang aneh-aneh ya gue marah lah." Aku menggigit bibirku semakin takut setelah mendengar pernyataan Emi. Lalu kemudian, Emi memukul pahaku. Membuyarkan semua lamunanku.

"Cerita." Tuntutnya.

"Emm.. gue sama Rio.. sebenarnya.. gak beneran pacaran." Aku memejamkan mata setelah pengakuan paling memalukan itu terlontar dari mulutku.

"Hah? Maksudnya gak beneran pacaran?"

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras.

"Jadi sebenarnya.."

Seluruh cerita mengalir begitu saja dari mulutku. Semuanya. Kaki ini nggak ada lagi yang ku sembunyikan. Termasuk perasaanku yang mulai-mulai tumbuh terhadap Rio.

"Leaaah." Emi memnggumamkan namaku dengan kesal. Sementara aku hanya bisa menunduk sambil merrmas kedua tanganku.

"Kenapa loe gak bilang dari awal sih? Loe pikir gue mau kerja di sana kalau ternyata harus mengorbankan loe sahabat gue?" Aku tahu ini akan terjadi. Emi akan merasa bersalah atas apa yang terjadi.

"Terus sekarang gimana?"tanya Emi. Aku menghempaskan tubuhku sandaran sofa.

"Gue gak tahu Mi. Gue kejebak sama permainan sendiri. Gue bingung. Tolol banget gak sih gue bisa sampai jatuh cinta sama Rio. Sementara dia cuma anggap ini semua tu permainan dia aja. Aaah Mi gue malu banget bayangin si Rio ngetawain gue di belakang." Ku jatuhkan tubuhku di atas sofa dan menutupi wajahku dengan bantal. Emi menarik tanganku memaksaku untuk duduk kembali.

"Hei.. hei.. loe kenapa jadi su'udzon sama Rio?" Tanya Emi.

"Gimana gue gak su'udzon? Dia bohongin gue Mi. Sekali bohong tetap bohong."

"Loe sudah dengar alasan Rio."

"Sekali bohong tetap bohong. Apa pun alasannya." Putusku. Emi menghembuskan nafas lelah. Tepat pada saat itu, hand phone ku yang ku letakkan di atas meja bergetar. Aku dan Emi meliriknya, menampilkan nama Rio Wicaksono di layarnya.

"Tuh." Sindir Emi. "Angkat dulu. Biarin dia jelasin ke loe." Saran Emi. Ku lirik Emi dengan kesal, kemudian kuraih ponselku dengan enggan dan menekan tombol reject pada layarnya. Seketika Emi mengerang.

"Leeaah ngeselin banget sih loe. Loe harus dengerin Rio dulu dong."

Kembali ku tarik bantal dan kujatuhkan tubuhlu di atas sofa.

"Gue malu Emiii." Tukasku dengan suara tertahan.

Malam itu, Rio mencoba menghubungiku berkali-kali. Tapi saat ini aku benar-benar enggan bicara dengan Rio. Aku malu atas perasaan yang pernah tumbuh untuk Rio. Rasa-rasanya aku ingin tenggelam saja saat ini. Nggak mau ada besok supaya gak ketemu Rio.

***