webnovel

A Hello With No Goodbye

Ini bukan tentang Andri. Atau Emi. Ini tentang seseorang yang jauh lebih penting dari pada mereka berdua. Yang sudah mengubah hidupku dan cara pandangku tentang sebuah hubungan. Dan ketika Rio mempertanyakan tentang komitmen itu, aku tahu aku harus menjawab apa. Well Rio, membuat komitmen enggak semudah loe menyeduh kopi di pagi hari. Yang kalau loe rasa kurang manis, loe tinggal tambah gula sedikit. Berkomitmen berarti loe harus terima sepahit apa pun rasa yang akan loe cicipi. Bahkan setelah loe merasakan manisnya. Dan yang perlu loe tahu, gue salah satu orang yang membenci rasa pahit.

syahharbanu · Urban
Not enough ratings
21 Chs

Wedding Dress

Nggak sulit menjadi bagian dari hidup Rio. Aku suka menyebutnya seperti itu. Aku hanya tinggal ikut makan malam setiap minggu, menemani Rio kalau ada acara keluarga dan kadang kalau sedang suntuk dengan rutinitas kami, Rio mengajakku keluar untuk sekadar makan atau nonton. Tapi menghabiskan waktu dengan Rio benar-benar menyenangkan. Seperti malam ini. Pagi tadi Rio memintaku untuk tidak membawa kendaraan. Dia menjemputku. Menurunkanku tepat di depan kantor. Katanya dia nggak peduli kalau ada yang nanya. Dan alhasil malam ini, pulang kerja Rio juga menjempuku. Dia memintaku untuk tidak membawa kendaraan, dia nggak peduli kalau ada yang nanya. Gitu katanya. Alhasil hari ini aku di jemput dia dan pulang bersama dia.

"Tahu nggak kenapa gue minta loe gak bawa kendaraan?" Tanya saat kami baru saja masuk ke dalam mobil.

"Kenapa?" Tanyaku acuh sambil sibuk memasang seat belt.

"Karena hari ini kita akan double date."

"What?" Aku tersentak. "Yo loe becanda kan?" Tanyaku untuk memastikan. Tapi sayangnya Rio menggeleng mantap. Tubuhku melesak kebelakang.

"Yo please deh. Gue sudah kucel banget ini. Bisa kali kita pulang dulu." Protesku. Ku arahkan spion di atas kepala Rio untuk merapikan wajahku.  Kuikat tinggi-tinggi rambutku dan mengeluarkan bedak dari dalam tasku. Kupoles tipis-tipis di wajahku.

"Nah tuh, cakep langsung." Komentar Rio. Ku tatap dia dengan tatapan menyerah. Sementara dia hanya tersenyum.

"Oke baiklah." Kuputar kembali spion di depan Rio kembali ketempat semula.

"BTW kita double date sama siapa sih?" Aku baru ingat kalau sejak tadi, Rio belum menceritakan rencana kencan ini.

"Emm.." Rio bergumam. "Sama calon adik ipar loe." Tutupnya.

"Hah? Gue gak punya adik ipar." Jawabku.

"Iya mangkanya calon." Jawab Rio balik. Aku gak menolak. Karenaa, entah lah, aku suka Rio menyebutnya sepeti itu. Aku mengalihkan tatapanku ke jendela untuk menyembunyikan senyumku dari Rio.

"Loe tahu kita mau kemana?" Tanya Rio tiba-tiba. Aku segera menormalkan garis-garia bibirku kemudian menatap Rio.

"Kemana?" Tanyaku.

"Fitting baju pengantin."

"Hah? Serius loe?" Tanyaku excited. Entah kenapa aku suka menemani orang fitting baju pengantin. Aku suka melihat patung-patung berdiri anggun dengan gaun pengantin. Aku suka ketika melihat orang menggunakan gaun pengantin.

"Serius. Excited banget loe. Kayak loe yang mau merrid aja."

"Gak, gue suka aja gitu liat gaun-gaun pengantin." Jawabku apa adanya. Samar aku melihat Rio tersenyum.

"Eh Yo." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tanpa sadar aku menyentuh lengan Rio yang seketika ditatap Rio. Secelatnya aku melepaskan genggamanku dan pura-pura tak ada apa-apa. Sial.

"Kenapa?" Tanya Rio dengan rahang mengeras. Aku gak tahu kenapa raut wajah Rio berubah secepat ini.

"Ridho mau fitting baju pengantin, berarti..." aku menggantung kalimatku, ketika Rio mengangguk membenarkan isi kepalaku. Spontan kututup mulutku yang menganga sementara Rio tersenyum menatapku sekilas.

"Kok loe gak bilang?" Protesku.

"Surprise." Jawab Rio seolah benar-benar tengah memberiku kejutan.

"Kapan? Udah ditentuin tanggalnya?"

"Udah dong. 21 juni. Bulan depan." Sekali lagi aku tersentak kaget.

"Ya ampuuun seneng banget gue dengarnya." Tukasku lebih ke diri sendiri. "Akhirnya brehasil dong ya rencana loe."

Rio menarik nafas dalam dan menghembuskannya keras. Dia tak menanggami pernyataanku, hanya seulas senyum yang disunggungkannya. Setelah itu, gak ada percakapan lagi di antara kami. Rio terlihat sibuk dan serius dengan jalan di depannya. Membuatku sedikit enggan mengajaknya bicara lagi.

***

Mobil Rio berhenti di depan sebuah toko yang penuh dengan gaun pengantin. Beberapa boneka dengan gaun pengantin berjajar di balik etalase. Aku menatap mereka satu persatu dengan kagum. Dulu, aku pernah bermimpi suatu saat akan menggunakan pakaian itu. Tapi setelah ketakutanku menjalin hubungan muncul, aku gak pernah lagi menghayalkan memakai pakaian-pakaian itu.

"Yuk." Rio di sampingku sudah membuka seat beltnya dan turun dari mobil. Segera kuenyahkan pikiranku dan segera turun dari mobil.

"Ridho udah di dalam katanya, Le." Ujar Rio sambil menatap layar ponselnya sambil berjalan menghampiriku. Aku hanya mengangguk saat kemudian Rio memasukkan ponselnya ke saku celananya dan menggenggam tanganku. Mendadak jantungku berdegup kencang. Ku tatap tanganku yang berada di dalam genggaman Rio, sementara Rio berjalan dengan santai memimpin langkahku. Seolah-olah apa yang dilakukannya saat ini normal. Seolah-olah apa yang dilakukannya sekarang memang seharusnya. Dan bodohnya aku, akhir-akhir ini setiap kali Rio menggenggam tanganku, aku selalu merasa bahwa itu memang benar. Dan seharusnya memang seperti itu. Kugenggam tangan Rio kembali tanpa ambil pusing dan berusaha menjajari langkahnya.

Ini kali pertama aku bertemu calon Ridho. Cantik banget. Kakinya tinggi, rambutnya panjang dan dia tipe-tipe perempuan ayu yang sederhana. Menjaga tatakrama dan sopan santunnya. Aku tahu kenapa Ridho tergila-gila padanya bahkan rela kawin lari. Gimana gak? Cantik gini orangnya.

"Le."

Aku merasakan kehadiran Rio secara tiba-tiba di belakangku. Aku memutar tubuhku segera dan benar saja Rio audah berdiri di sana.

"Udah jam 9. Loe gak lapar? Kita makan ya?"

"Oh loe sudah laper? Ya udah. Tapi kita selesaiin ini dulu ya." Ucapku ketika sedang membantu desainernya menusuk-nusukkan baju pengantin yang dipilih calon istri Ridho untuk mengecilkan ukurannya. Ohiya, perkenalkan, calon istri Ridho namanya Nadin. Aku memasangkan jarum di bagian bahunya untuk yang terakhir dan selesai.

"Gimana?" Tanyaku meminta pendapat Nadin. "Nyaman gak?"

Nadin memutar-mutar tubuhnya di cermin.

"Nyaman mbk. Kayaknya segini memang pas deh." Komentarnya. Aku puas karena bantuanku berbuah hasil juga.

"Ya udah mbk, saya mau yang ini, tapi ukurannya dibuat kayak gini ya." Pinta Nadin pada sang desainer.

"Oke mbk." Jawab sang desainer.

"Ya udah, kamu ganti gih, ada yang sudah kelaperan banget kayaknya." Ujarku menyindir Rio sambil meliriknya. Nadin memutar tubuhnya menghadap Rio dan tersenyum.

"Oke-oke." Jawabnya kemudian melenggang ke ruang ganti. Lalu saat itu kembali kuputar tubuhku menghadap Rio.

"Yuk." Ajak laki-laki itu sambil mengulurkan tangan.

"Tunggu mereka kali Yo." Rio mendongakkan kepalanya ke atas. Kemudian dia meraih tanganku begitu saja dan menariknya.

"Biarin mereka berdua kenapa sih." Ujar Rio sambil menyeretku keluar dari tempat itu.

Rupa Rio dan Ridho memang sudah janjian akan ngafe di suatu tempat. Hingga Rio bisa driving dengan beti santainya tanpa perlu sibuk dengan ponsel untuk bertanya-tanya dimana posisi Ridho.

Mobil kami berhenti disebuah cafe di dekat persimpangan jalan. Dan gak lama setelah itu di susul Ridho dan Nadnin dengan motor mereka.

Cafe sedang gak terlalu ramai. Mungkin karena di luar sedang gerimis. Kami jadi leluasa memilih meja di lantai 2 di dekat jendela. Pemandangan malam kota jakarta bisa terlihat dari sini. Indahnya.

"Pesen apa Le?" Tanya Rio yang sudah duduk di sebelahku sambil melihat-lihat daftar menu.

"Yo aku gak makan deh. Aku pesan minum aja." Sejujurnya aku masih belum lapar karena biasanya jam makan malamku selalu malam.

"Lah kenapa?"

"Belum laper."

Rio kemudian melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya sebelum kembali menatapku.

"Jam 9 Le. Kamu kebiasaan deh makan tengah malam, gak baik." Protes Rio sambil menahan kesabaran.

"Tapi aku beneran gak laper. Kan sayang nanti kalau gak abis." Elakku.

"Ya udah kalau giti kita makan berdua."

"Hah?" Sontak aku terkejut dan diam-diam melirik dua orang di depan kami yang tentu saja sedang menahan senyum. Kusenggol kaki Rio di bawah sana untuk memberinya kode.

"Kenapa?" Dan sialnya dia gak peka.

"Duuh kalian so sweet banget sih." Komentar Nadin sambil menopangkan dagunya pada kedua tangannya. Bukannya risih di goda begitu, si Rio malah cengengesan.

"Tahu nih. Siapa yang mau nikah siapa yang romantis coba." Kali ini Ridho ikut berkomentar.

"Emang cuma yang mau nikah aja yang bisa romantis." Jawab Rio membuatku semakin bersemu. Pasti mukaku sudah sangat merah saat ini. Akhirnya aku pasrah pada keputusan Rio untuk memesankan makanan. Dan kami benar-benar makan sepiring berdua. Benar-benar aku gak punya muka rasanya gara-gara ulah Rio.

"Eh Le, tangan kamu bersih kan?" Aku seketika menatap kedua tanganku yang memang sesang bersih karena aku makan menggunakan pisau dan garpu. Sementara Rio hanya menggunakan sendok, jadi tangannya agak kotor karena menyentuh beberapa makanan.

"He'em." Jawabku seraya mengangguk.

"Tolong ambilin tas di bawah aku dong." Pinta Rio. Seketika aku mencari tas yang dimaksud Rio. Sejak kapan dia membawa tas ini? Kenapa aku gak lihat? Jadi tas yang dimaksud Rio adalah sebuah kantung hitam berbentuk persegi yang di depannya terdapat tulisan Amanda Boutique. Kuletakan kantung itu di pangkuan Rio.

"Monta tolong bukain Le." Pintanya sekali lagi. Aku kembali meraih tas itu dan meletakkannya di pangkuanku. Ku keluarkan isi di dalamnya. Sebuah kotak berbentuk persegi berwarna pink muda dengan tiga buah garis di bagian pinggirnya dan sebuah pita yang membelitnya. Cantik sekali.

"Buka ya Le." Perintah Rio. Tanpa ragu aku membuka penutup kotak itu dan seketika sebuah gaun berwarna senada dengan kotak membuat mataku berbinar.

"Buat kamu." Ujar Rio. Membuatku seketika mengalihkan pandanganku menatapnya.

"B..buat aku?" Tanyaku tak percaya. Tapi Rio mengangguk dengan tenang disertai senyuman.

"Maaf belum bisa beliin gaun pengantin. Baru bisa kasih gaun pesta." Ujar Rio seketika membuat dadaku ingin meledak. Ini kali pertama aku mendapatkan gaun pesta setelah gaun ulang tahunku yang diberikan ayah beberapa tahun silam. Hal ini membuat dadaku terasa penuh dan air mata menggenangi pelupuk mataku. Aku masih menatap Rio yang juga masih menatapku. Lalu kemudian, aku sudah mengambil keputusan. Aku mencondongkan tubuhku dan mencium pipi Rio. Seketika semua orang mematung. Termasuk Rio yang perlahan senyumnya mulai samar.  Ridho bahkan jadi tersedak sama makanannya sampai terbatuk-batuk. Tapi Rio, dia menatapku tak percaya ketika kutarik tubuhku dari wajahnya. Aku tersenyun, meyakinkannya bahwa yang tadi sungguhan. Entah setan apa yang merasukiku hingga berani melakukan hal gila yang membuat jantungku nyaris meledak.

"Thank you." Gumamku. Rio mengangguk gugup. Kemudian diusapnya wajahku dengan tangan kirinya sambil lalu sebelum kembali melanjutkan makannya.

***