"Cemburu itu Api.
Dan Cinta adalah Kertas.
Maka, ketidakpercayaan adalah tangan yang telah menghanguskannya."
Nadhira bersandar pada punggung kursi di ruang tunggu.
Sudah hampir petang dan gadis itu masih setia menunggui Nirwan yang tengah berada di ruang introgasi.
"Sudah mau maghrib, Ra."
Rianti bersuara setelah berjam-jam lelap dalam kesunyian. Dari awal sampai di kantor polisi, sedikitpun Nadhira tidak bersuara.
Rianti cukup tahu diri untuk tidak membahas apapun yang justru akan menambah kekalutan sang putri.
"Bunda pulang dulu aja. Dhira masih mau di sini. Nungguin Ayah."
Bibirnya memang tersungging, namun sorot matanya tak bisa dusta, bahwa di sana ada luka yang ia simpan sendiri di hati.
"Kalau begitu, Bunda di sini aja. Nemenin kamu."
Gadis itu menggeleng, tidak setuju.
"Bunda harus pulang. Mandi, Istirahat, terus siapin makanan buat kita. Pulang dari sini Ayah pasti laper dan langsung pengin makan."
Harapan bahwa ayahnya akan segera bebas ternyata masih begitu besar di mata Nadhira. Pada akhirnya Rianti hanya tersenyum, dan setuju dengan usul Nadhira. Meskipun ia tahu, kecil kemungkinan suaminya bisa dengan mudah lepas dari jerat kasus ini. Terlalu banyak pihak yang menginginkan Nirwan di penjara.
"Baiklah, Bunda pulang. Kamu jangan lupa sholat ya, Sayang."
"Iya, Bunda. Nanti Dhira sholat di mushola sini."
***
Gadis dengan balutan gamis cokelat muda itu tengah melipat mukena, hendak mengembalikannya ke rak di sudut ruang dan bersiap untuk kembali ke ruang tunggu, ketika ekor matanya menangkap sosok yang begitu familiar di depannya.
Mushola di kantor polisi itu hanya berukuran 9x9 meter, tidak ada sekat di antara shaf pria dan wanita, membuat Nadhira dengan tanpa sengaja menangkap sosok pria yang tengah menengadah melantunkan do'a-do'a.
Nadhira mengurungkan niat awalnya. Gadis itu kini melipat kaki dan duduk bersandar pada dinding dekat pintu keluar. Menunggu pria itu menyelesaikan urusannya dengan Tuhan.
Lima menit berlalu, pria dengan gaya kasual itu akhirnya beranjak dari duduknya.
"Kamu sedang apa di sini?"
Tidak sabaran, Nadhira langsung mencecar Aryan yang bahkan baru berbalik badan.
"Aku sedang ada urusan."
"Katakan."
Aryan mengembuskan napas gusar. Dari nada bicaranya, Nadhira sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk diajak diskusi.
*
"Apa ini?"
Nadhira meremas sobekan kertas yang memang sudah lecek sejak Aryan memberikannya beberapa menit lalu.
Tidak buru-buru menjawab, Aryan lebih dulu membasahi kerongkongannya dengan air mineral.
Mereka kini sedang berada di kantin, Aryan yang membawa Nadhira ke sana. Mencari tempat terbaik untuk berbincang, sekaligus membeli seteguk air untuk menenangkan sang lawan bicara.
"Seperti yang kamu lihat. Itu semacam surat ancaman. Aku mendapatkannya selang sehari setelah kematian Pak Tjandra. Sudah beberapa hari terakhir aku mencari tahu tulisan tangan siapa itu."
Nadhira tidak yakin.
"Ini bukan ancaman, tapi lebih mirip peringatan. Kamu sudah tahu siapa orang yang menulis surat ini?"
Pria dengan kaos hitam berlengan pendek di hadapannya mengangguk.
"Pak Surya. Pengacara pribadi Almarhum Pak Tjandra. Menurut asisten Paka Tjandra di kantor, Pak Surya sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja bersama Pak Tjandra."
"Pak Surya?"
"Ya. Aku pertama mengenalnya setelah dua bulan bekerja. Tapi hanya sekadar kenal begitu saja. Kami tidak pernah terlibat dalam satu obrolan yang serius."
Aryan berhenti, terlihat berpikir.
"Ah, ya. Kami pernah berbincang cukup lama beberapa saat setelah Pak Tjandra meninggal. Mengenai wasiat untuk menjaga harta berharga Almarhum. Yaitu Leia dan Len's Publisher. "
Nadhira meraih sisa air dalam botol miliknya, lalu menenggaknya hingga tandas. Mengingat wasiat yang mengharuskan Aryan untuk menjaga Leia memang tidak pernah mudah baginya.
Sekeras apapun usahanya untuk ikhlas dan menerima. Tetap saja, hatinya tidak bisa terlepas dari rasa sakit.
"Kamu sendiri, sudah lama mengenal keluarga Leia. Seharusnya kamu kenal dengan Pak Surya ini, kan?"
Gadis itu mengangguk lemah.
"Pak Surya beberapa kali membantu keluargaku atas perintah Pak Tjandra. Beliau orang yang sangat baik dan santun. Sama seperti papanya Leia. Mereka menghargai kami sekeluarga dengan selayaknya, meskipun kasta kami jelas jauh di bawah mereka."
"Aku beberapa kali melihat Pak Surya dan David berbincang. Apa kamu tahu tentang hubungan mereka?"
"Aku tidak tahu pasti. Tapi mereka memang dekat," jawab Nadhira tidak yakin.
Aryan melirik jam yang melingkar di pergelangan. Sudah hampir jam delapan malam. Itu artinya sudah hampir dua jam mereka membahas tentang surat itu sebagai satu-satunya bukti dan setidaknya mereka mendapat satu clue penting. David.
Meskipun sedari tadi lebih banyak menunduk, tapi Nadhira bisa melihat gerak gerik Aryan melalui ekor matanya. Terlihat sekali sang lawan bicara tidak nyaman.
Kemudian kewarasannya mengingatkan. Jelas saja Aryan tidak nyaman, sedari tadi mereka hanya duduk berdua.
"Seharusnya kamu tidak di sini. Leia sedang sangat membutuhkanmu dalam kondisinya yang tengah kalut."
"Leia sudah bersama dengan orang yang tepat."
Aryan tersenyum separo. Mengingat kembali bagaimana Leia terlihat begitu nyaman berada dalam dekapan mantan kekasihnya.
"Orang yang tepat?"
Nadhira berpikir keras. Sependek pengetahuannya, Leia tidak memiliki kedekatan yang spesial dengan orang lain selain dirinya dan keluarga. Satu-satunya orang baru yang dekat dengan Leia hanya Aryan. Lalu siapa lagi?
"Benji. Tentu saja lelaki itu yang Leia cari. Dia menikah denganku bukan atas dasar cinta. Tapi terpaksa. Jelas saja saat dia terluka begini, yang dia cari adalah kekasihnya."
"Leia bukan gadis semacam itu, Yan!"
Nadhira geram. Entah mengapa amarahnya tiba-tiba memuncak mengetahui pemikiran dangkal Aryan mengenai istrinya sendiri.
"Memang seperti itu kenyataannya. Dia lebih nyaman dalam dekapan Benji daripada menunggu dan bersandar pada bahuku." Aryan mengatakan itu dengan ekspresi datar. Kentara sekali kekecewaannya yang mendalam pada Leia.
"Kalau kamu menganggap Leia istri, seharusnya kamu mempercayainya sepenuh hati. Asal kamu tahu, Leia bukan gadis yang seperti kamu tuduhkan. Dia bukan tipe orang yang mudah mengabaikan komitmen. Dan lagi, Benji bukan pilihan untuk Leia. Dari dulu, Benji lah yang mengejar dan mengemis-ngemis cinta dari Leia. Bukan sebaliknya. Seharusnya kamu malu pada dirimu sendiri, karena saat istrimu sedang terluka, kamu tidak ada untuknya."
Napas Nadhira pendek-pendek. Tidak habis pikir, Aryan yang sempat ia puja ternyata bisa berpikir sepicik itu pada istrinya sendiri.
"Sebaiknya kamu pulang. Aku yakin, yang Leia butuhkan keberadaannya sekarang itu kamu. Bukan benji atau orang lain."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Nadhira lantas berdiri meninggalkan Aryan yang masih terdiam.
Diam bukan berarti tidak mendengarkan. Diamnya Aryan karena otaknya terus saja meneriaki kebodohannya yang tidak memercayai Leia sepenuhnya sebagai istri.
Ia bahkan tidak lebih baik dari seorang penjahat. Munafik.
Dia menghakimi dan memandang buruk Leia hanya karena matanya menyaksikan secara langsung sang istri berpelukan dengan lelaki lain. Sedangkan hatinya? Sampai detik ini pun ia belum sepenuhnya yakin bahwa cintanya hanya untuk Leia.
***
Gadis itu berjalan sendirian di tengah malam dengan sekantong besar belanjaan. Larut dalam ketidakmengertian membuat Leia lupa bahwa sudah seharian penuh mengabaikan perutnya yang kosong.
Semenjak Aryan pergi petang tadi, Leia buru buru mengusir Benji dan segera mengunci diri di kamar.
Entah berapa lama Leia mengasingkan diri dari dunia luar. Yang ia tahu, gadis itu bangun dalam keadaan perut perih dengan mata sembab dan penampilan tidak keruan.
Melirik jam di atas nakas, sudah pukul sebelas malam. Dengan langkah gontai, menahan kantuk sekaligus perih Leia menuruni tangga menuju dapur.
Sayangnya, tidak ada satu makanan pun yang tersisa di lemari penyimpanan.
Gadis itu lupa, bahwa sejak kematian sang ayah dia tak pernah mengurusi pekerjaan rumah apapun. Sudah tidak ada lagi bibi yang bisa disuruh- suruh membeli ini itu. Tidak ada lagi yang bisa di andalkan selain Aryan.
Aryan?
Pria itu bahkan belum kembali ke rumah.
Tidak ada yang bisa dia lakukan sendirian tengah malam di rumah sebesar itu kecuali tidur. Beberapa kali Leia berusaha menahan perih dengan memejamkan mata.
Sayangnya, rasa lapar yang teramat tidak bisa dikompromi, seolah cacing dalam perutnya mengancam akan menggerogoti seluruh organ dalam tubuh jika rasa laparnya tidak terpenuhi.
Dan akhirnya, di sinilah Leia sekarang.
Berjalan sendirian di tengah malam dengan langkah terseok membawa sekantong besar belanjaan.
Tubuh mungil itu menjunjung barang bawaan yang cukup berat bagi dirinya yang tengah dilanda kantuk dan lapar.
Beberapa kali ia menghentak-hentakkan tangan, berharap dapat meringankan rasa pegal yang bertumpu pada pergelangan.
Sayangnya, bukan pegal yang hilang. Melainkan kantung yang jebol dan menghamburkan seluruh isinya.
Leia mendengus sebal.
Belum usai ternyata kemalangan yang menimpa dirinya.
Dengan kesal, dipungutnya satu persatu belanjaan yang berserakan di atas aspal. Tepat pada waktu yang bersamaan, sebuah sedan hitam melaju dengan kencang dari arah berlawanan.
Semua terjadi begitu cepat.
Bahkan sebelum Leia menyadari cahaya apa yang menyilaukan matanya.
Hingga seseorang menarik tangan Leia tepat saat mobil itu hampir mengenai tubuhnya.
Gadis itu berguling guling di atas trotoar dan berhenti saat tubuhnya menabrak pohon dengan posisi dirinya yang berada di atas seseorang yang menariknya tadi.
Lupakan barang belanjaan.
Yang Leia pikirkan hanyalah siapa malaikat yang kini berada di hadapannya?
"Apakah aku sedang berada di surga?"