webnovel

Ruang Sendiri

Sejak bertemu dengan gadis bermata teduh sepuluh tahun yang lalu, tidak ada tempat ternyaman untuk berbagi cerita kecuali padanya.

Hanya pada Nadhira, Leia yang sebelumnya cenderung lebih suka menyimpan dan memendam seluruh emosinya sendiri, berubah menjadi gadis ekspersif yang seolah hanya jika bersama Nadhira lah ia bisa menjadi dirinya sendiri dan mampu meluapkan segala emosi.

Seperti sekarang ini, di saat hati dan pikirannya sedang dalam kekalutan yang rumit, tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang ingin dia tuju kecuali gadis sang pemilik mata teduh.

Sayangnya, keadaan sedang tidak berpihak. Waktu sedang tidak bersahabat padanya.

Di saat sepenuh hatinya dipenuhi amarah, kekecewaan, ketidak mengertian dan ingin segera meluapkan, seorang yang selalu menjadi penampung atas segala emosinya ternyata tengah dirundung duka.

Nadhira merengek. Sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan, demi menahan dua pria kekar berseragam cokelat agar tidak membawa sang ayah.

"Tolong, Pak. Jangan bawa ayah saya. Saya yakin ayah saya nggak bersalah. Ini cuma salah paham."

Nirwan hanya diam, pasrah dengan segala tindakan dan proses hukum yang akan berjalan nantinya.

Begitu pula dengan Rianti yang hanya bisa menangis dalam diam. Adegan semacam ini, beberapa kali memang sempat ia bicarakan bersama Nirwan. Hanya saja, dirinya tak menyangka bahwa penangkapan Nirwan terjadi secepat ini.

"Sayang, sudah, Sayang. Biarin ayah pergi."

Rianti menahan Nadhira agar melepas pegangannya.

"Enggak, Bunda! Bunda ini kenapa, sih? Bunda nggak percaya sama Ayah? Bunda percaya kalo Ayah yang membunuh Om Tjandra? Iya!"

Amarah Nadhira sampai pada puncaknya. Belum pernah ia berbicara kasar apalagi membentak Rianti.

Kemudian, buru-buru ia beristighfar begitu menyadari kesalahannya.

Nadhira mengusap wajah, gusar. Menyesal atas apa yang barusaja ia lakukan. Rianti segera merangsek medekat, membawa sang putri dalam dekapan.

Begitulah seorang ibu mengerti, bahwa seberapa banyak pun usia mereka bertumbuh, seorang anak tetaplah menjadi anak yang perlu dipahami. Seorang anak yang bisa saja melakukan kesalahan. Dan sudah menjadi tugas orangtua, untuk meluruskan kembali kesalahan yang telah anak-anak ambil.

Sedikitpun Rianti tak menyimpan amarah pada Nadhira. Mengerti betul bahwa situasi ini begitu sulit dipahami.

"Bunda..."

Rianti mendongak. Di susul juga dengan Nadhira yang menatap ke arah suara.

Duka ternyata mampu merusak fokus penglihatan, mereka bahkan tidak menyadari bahwa sedari tadi ada sepasang mata lain yang turut menangisi orang yang sama.

"Lei? Sejak kapan kamu di sini, Nak?"

Rianti berkata lembut.

Sayangnya uluran tangan Rianti yang hendak membawanya turut dalam pelukan, ditangkis cepat oleh Leia.

"Dhira tadi ngomong apa, Bunda?"

Percayalah, Leia mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.

Jelas, telinganya menangkap dengan pasti apa yang baru saja ia dengar. Tapi lihat, otaknya dengan sembrono meminta untuk kembali mendengar kalimat yang begitu menyakiti hatinya.

Nadhira menggeleng.

Dari tatapan Leia, sudah pasti gadis itu salah paham dengan situasi ini.

"Enggak, Lei. Kamu jangan percaya. Kamu tahu Ayah, kan? Ayah nggak mungkin ngelakuin apa yang mereka tuduhkan."

Percuma. Mau seberapa panjang Nadhra menjelaskan, otak Leia sudah macet tak bisa berpikir apa-apa lagi.

Tatapan kini mengarah pada Rianti. Menuntut penjelasan.

Wanita itu tahu, dalam kondisi seperti ini bukan sebuah penjelasan yang ia butuhkan. Apapun alasan yang ia lontarkan, tidak akan pernah bisa menyentuh akal sehatnya.

Pada akhirnya, Rianti hanya diam dan mendekat. Memberikan pelukan hangat untuk menenangkan.

Tidak ada sepatah katapun yang diucapkan. Hanya belaian lembut di puncak kepala. Membiarkan Leia mengurai segala pertanyaan di otaknya melalui air mata.

"Suatu saat kamu akan mengerti, Sayang."

***

"Om tahu Aryan sekarang adalah suami sah kamu, Lei. Tapi tolong, buka matamu."

Gadis itu mendongak, tidak mengerti dengan ucapan pria paruh baya di hadapannya.

"Maksud Om apa, ya?"

"Om sadar, selama ini satu kalipun kamu belum pernah dekat dengan lelaki lain selain papa kamu, Om, dan Benji. Tidak ada satu lelakipun yang kamu biarkan mendekat. Kamu masih terlalu naif untuk mengerti sifat lelaki di luar sana. Termasuk Aryan."

Setelah lima belas menit sejak awal memasuki ruangan itu Leia berusaha untuk bersikap sopan, kali ini gadis itu menatap tajam. Jelas sekali ia tidak nyaman dengan apa yang baru saja di katakan Hans.

"Maksud Om begini. Sebagai seseorang yang paling dekat denganmu saat ini, Om sangat peduli padamu, Lei. Apalagi setelah kepergian papa kamu. Om merasa bertanggung jawab penuh atas kebahagiaanmu. Itulah kenapa Om Hans mewanti-wanti kamu agar tidak terlalu dekat sama Aryan. Kita belum mengenal dia cukup lama."

Hans berhenti untuk membenahi posisi kacamatanya.

"Jujur saja, Om belum bisa seratus persen mempercayai Aryan."

"Terima kasih untuk kepedulian Om Hans pada Leia. Tapi, Leia sudah besar. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk hidup Leia. Om Hans tidak perlu kuatir begitu. Leia bisa jaga diri Leia sendiri."

Gadis itu tersenyum, lalu berdiri ingin segera pergi.

"Permisi, Om."

Baru saja berbalik badan, langkah Leia tertahan oleh suara Hans.

"Kamu bicara begitu karena kamu belum tahu apa-apa, Lei. Tapi kamu tenang saja, mau bagaimanapun kamu membenci dan tidak mempercayai Om saat ini, jika kamu sudah tahu kebenarannya, Om dan Benji akan selalu ada untukmu, Lei. Dari dulu, sekarang, dan selamanya.

Leia mengerang gusar. Mengingat kembali percakapannya dengan Hans beberapa hari lalu.

Beribu pertanyaan kini menjejali otak. Membuat dadanya terasa sesak.

Entah sudah berapa lama ia mengurung diri di kamar. Ia bahkan tidak ingat apakah hari ini perutnya sudah terisi makanan atau belum.

Gadis itu melirik jam di atas meja. Sudah pukul 6. Aryan bahkan belum pulang.

Seharusnya saat dirinya pulang tadi, Aryan mengejar. Meminjamkan bahu untuknya bersandar. Bukannya tidak pulang dan membuatnya semakin merasa sendiri.

Perasaannya semakin tak karuan. Kacau sekacau penampilannya yang berantakan dengan mata sembab. Dari miliaran manusia di Bumi, mengapa tidak ada satu orangpun yang bisa ia percayai?

Dari jutaan tempat di dunia, kenapa sepi selalu saja singgah di hatinya?

Rintihannya terjeda saat terdengar derap langkah, barharap Aryan datang dan membawanya dalam pelukan.

Mata lentiknya lekat memandangi pintu, bersiap siap menghambur saat pintu itu terbuka.

"Lei."

Leia terkesiap. Senyum yang sempat mengembang, layu seketika.

"Papa bilang kamu sedang kalut dan butuh teman. Aku siap mendengarkanmu."

Benji mendekat, duduk di tepi ranjang berhadapan dengan Leia yang meletakkan kepalanya di atas meja.

Leia membalikkan wajah. Malas bertatapan dengannya. Seharusnya yang berada di sini bersamanya bukan Ben, tapi Aryan. Suaminya.

"Ada apa, Lei?" Ceritalah. Aku siap mendengarkan."

Leia acuh.

Moodnya sudah terlalu buruk untuk menanggapi ucapan Ben.

"Aku tahu, Lei. Setelah kepergian Om Tjandra, tidak ada yang mudah dalam hidupmu. Itulah kenapa aku ingin selalu ada untukmu. Menjadi pelindungmu."

Benji tetap berbicara meski sang lawan bahkan kekeuh enggan menatapnya.

"Seharusnya kamu sadar, Lei. Bukan Aryan atau Nadhira. Tapi aku, Leia. Aku. Benji. Dari dulu hanya aku yang bisa mengerti kamu. Hanya aku satu satunya tempat yang bisa kamu percaya."

Leia berbalik. Bukan untuk mengamini perkataan Benji, tapi untuk mengiriminya tatapan penuh kebencian.

Sebagaimanapun Leia marah dan kecewa pada Aryan dan Nadhira, mereka masih menduduki ruang penting di hatinya.

Geram terus diabaikan, Benji beranjak.

Membawa Leia dalam dekapan.

Gadis itu berontak. Tapi tetap saja, dari dulu kekuatannya tidak akan pernah bisa sebanding dengan kebencian dan dendam yang tersimpan di hati Benji.

"Lepas, Kak Ben!"

Gadis itu meronta. Memukul dada, berusaha menendang nendang kakinya.

"Tidak, Lei. Tidak akan! Kamu aman bersamaku. Memang sudah seharusnya seperti ini. Kamu bersamaku, bukan dengan Aryan!"

Dalam dekapan yang kian erat, juga Leia yang tak berhenti meronta, sepasang mata menatap mereka nanar.

Seperti sebuah dejavu.

Bayangan itu kembali terlintas. Terasa nyata namun kini jauh lebih menyakitan.

"Mas."

Pria itu telah kehilangan kosa kata dalam memori otaknya sejak saat ia melihat istri yang dicintai berada salam dekapan pria lain.

Untuk kedua kalinya, pria itu pergi tanpa satu pun kata.

Kesetiaannya telah dihianati. Tak ada gunanya lagi ia berbica menuntut penjelasan.

Semuanya sudah jelas. Sangat jelas untuk kedua matanya yang telah dua kali melihat adegan menyakitkan itu.

"Mas Aryan!"

Aryan pergi.

Tak peduli dengan teriakan yang menahannya, tak peduli dengan tangis Leia yang pecah.

Aryan pergi.

Dengan segenap luka yang menganga.

__________________________