Satu persatu kandidat dipanggil oleh Vabica. Ain-lah yang terakhir dipanggil olehnya.
"Ain X Revolt," ujar Vabica dengan cukup lantang memanggil Ain, meminta pemuda itu untuk masuk ke dalam ruangan kelas.
Ain mengikuti Vabica ke dalam kelas. Vabica duduk di kursi depan, lalu mempersilahkan Ain untuk duduk di kursi yang telah disediakan di hadapannya.
"Ain, kau akan bersama Master Heim untuk menuju ke Centra Head," ujar Vabica sembari menyodorkan gelang berwarna hitam metalik.
"Gelang itu berfungsi sebagai pelacak. Jadi di mana pun kau berada, kami bisa melacakmu. Lalu, tekan tombol kecil yang ada di gelang tersebut 3 kali untuk memberi sinyal darurat kalau terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan. Kami akan datang membantu, tapi kau akan dinyatakan gugur dalam ujian. Paham?" tanya Vabica memastikan.
Ain hanya mengangguk sembari memasang gelang pemberian Vabica, lalu berdiri untuk bersiap pergi.
"Uh.. Ain.. Ah, maksudku.. Kak Ain…"
Ain menghentikan langkahnya mendengar Vabica memanggilnya. Ain menoleh ke belakang dengan perasaan heran. Ia merasa tidak asing dengan suara Vabica yang memanggilnya seperti itu. Sayangnya, Ain sama sekali tidak bisa mengingat apapun.
"Ah, tidak. Lupakan. Aku ingin kakak fokus dalam ujian kali ini. Setelah kakak menjadi pasukan Cerberus, aku ingin mengatakan sesuatu," Vabica membuang mukanya, menyembunyikan wajah berserinya.
Ain semakin heran melihat tingkah Vabica. Namun hal itu tidak ingin ia pikirkan dulu untuk saat ini. Ada hal yang lebih penting yang harus ia perhatikan.
Ain menemui Heim di basement bangunan Left Head.
"Kau siap Ain?" tanya Heim, menyambut Ain.
Ain menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Sebelum itu..." Heim menghampiri Ain. Ia menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Lalu Heim menyuruh Ain untuk menggenggam erat kotak tersebut.
Piiip Piiip. Bunyi kecil terdengar setelah agak lama Ain menggenggam kotak tersebut. "Kotak itu menyimpan data DNA-mu. Setelah tiba di Centra Head, para kandidat akan diberi sebuah senjata yang paling cocok dengan gaya bertarung masing-masing. Jangan sampai hilang," jelas Heim sambil membuka pintu Trava, sebuah pesawat Anti-Gravitasi yang didesain hanya untuk ditumpangi oleh maksimal 6 orang. 2 kursi di kokpit, 4 kursi di belakang.
[•X-Code•]
Butuh waktu hanya beberapa jam saja untuk mencapai Centra Head dengan menggunakan Trava yang mampu melesat dengan kecepatan suara. Namun Heim tidak langsung membawa Ain ke Centra Head. Heim mengendalikan Trava menuju sebuah tempat di atas gunung tinggi yang terletak di arah barat daya Logard, Gunung Khyterra.
Setelah tiba di sana, Heim mengajak Ain untuk menuju ke sebuah rumah kecil sederhana dengan atap jerami dan dinding kayu, dekat dengan puncak gunung. Rumah yang sangat langka untuk sebuah tempat berteknologi canggih seperti daratan Logard.
Heim mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang gadis kecil berambut biru muda membuka pintu.
"Paman Heim!!" pekik gadis itu yang lalu memeluk Heim dengan erat.
"Hey Luna, ibumu ada?"
Gadis kecil yang dipanggil Luna itu mengangguk sembari menarik tangan Heim masuk ke dalam rumah kecil mereka. Ain hanya terdiam di luar. Benaknya mulai terisi oleh berbagai macam pertanyaan, namun ia memilih untuk diam.
"Ibu! Ada tamu!" teriak Luna kecil. Seorang wanita yang memiliki rambut yang juga berwarna biru muda datang dari ruangan sebelah. Wajahnya terlihat tenang, khas dengan aura keibuan.
"Heim?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Heim berdiri lalu membungkuk hormat. "Aku ingin meminta bantuanmu, Master," ujar Heim sembari menoleh ke arah Ain. Wanita itu tampaknya paham dengan maksud dari Heim singgah di rumahnya.
Terlihat dari wajah Ain kalau banyak pertanyaan berkecambuk di benaknya. Heim yang membaca raut wajah Ain langsung melontarkan pertanyaan pada Ain, "Untuk menuju ke Centra Head, hanya dibutuhkan waktu beberapa jam saja. Tapi kau tau kenapa kita diberi waktu 3 hari?"
Ain mengerutkan dahinya lalu menggelengkan kepala. Ia masih berusaha untuk memahami situasi di sana.
"Untuk persiapan. Tugas Master yang mendampingi kandidat bukan hanya mengantar para kandidat ke Centra Head, tapi juga mempersiapkan para kandidat sebaik-baiknya. Ain, kekuranganmu hanya satu. Kau belum bisa mengendalikan dirimu sepenuhnya, makanya kau tidak bisa menemukan gaya bertarungmu sendiri. Karena itu, aku membawamu ke sini. Perkenalkan, beliau adalah Master dari Beladiri yang dipakai oleh Cerberus. Beliau yang akan mengajarkanmu bagaimana menemukan gaya bertarungmu sendiri."
Mendengar hal itu, Ain berdiri lalu membungkukan badannya. Ia tidak menyangka kalau wanita yang berpenampilan seperti ibu rumah tangga di hadapannya itu, ternyata seorang ahli beladiri.
Wanita itu tersenyum lalu mengajak Ain pergi. "Heim, aku titip Luna," Ujarnya.
"Horeeee~!" Ujar Luna riang seraya memeluk Heim dengan erat. Wajar kalau Luna merasa begitu senang ditinggal bersama Heim. Sehari-hari ia hidup hanya bersama dengan ibunya di rumah kecil itu. Sehingga kehadiran orang luar seperti Heim begitu menggembirakan buatnya.
Ain mengikuti wanita itu sampai ke sebuah goa di gunung Khyterra.
"Di sinilah kau akan menghabiskan waktu sampai kau benar-benar menguasai teknik beladiri milikmu. Kau tidak diizinkan untuk meninggalkan tempat ini sampai kau berhasil. Yah.. Kalau beruntung, kau akan menguasainya dalam waktu 3 hari."
Ain terhenyak mendengarnya. "3 hari?!" pikirnya. Ia memikirkan tentang batas waktu untuk menuju Centra Head.
"Lalu.. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ain. Namun wanita itu tidak menjawab.
Wanita itu berdiri di mulut Goa, lalu tersenyum pada Ain. "Bertahan hidup," ujarnya sambil pergi meninggalkan Ain yang berdiri mematung dengan raut muka heran.
[•X-Code•]
Berjam-jam Ain berada di goa itu, tapi tidak ada apapun yang terjadi. Sampai akhirnya matahari pun hampir tenggelam.
Ain merasa lapar, sehingga ia memutuskan untuk pergi dulu mencari makanan di sana. Hanya beberapa langkah menuju pintu goa, tubuh Ain terpental kembali masuk ke dalam goa. Dari dalam ia melihat wanita yang tengah melatihnya itu berdiri tegak di luar, tidak jauh dari mulut goa.
"Siapa yang menyuruhmu pergi meninggalkan Goa?" tanya wanita itu dengan tatapan tajam serta raut wajah dingin. Sangat berbeda dengan yang tadi siang Ain lihat.
Ain tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa ia bisa sampai terpental? Ditambah lagi, meski terpental, namun ia tidak merasa sakit sedikitpun. Akhirnya, ia memilih untuk tetap berdiam diri di dalam Goa.
Tidak lama setelah itu, Ain mendengar suara dentuman yang menggetarkan tanah. Dentuman itu terdengar semakin keras, begitu juga dengan getaran yang ia rasakan. Seperti ada raksasa yang sedang melangkah, menimbulkan getaran di tanah.
Benar saja apa yang ia duga. Sesosok makhluk besar dengan tubuh kekar dan dipenuhi duri masuk dari pintu goa. Mata Ain terbelalak melihat makhluk itu berdiri sembari menatap Ain dengan mata merah menyala. Makhluk itu meraung keras, memekikan telinga. Suara kerasnya terpantul di dalam goa, menggema sehingga begitu terasa menyakitkan untuk didengar.
Ain memberanikan dirinya untuk menghadapi makhluk tersebut. Ia memasang kuda-kuda untuk bersiap bertarung dengan makhluk itu.
Melihat sikap siaga Ain, makhluk itu segera mengambil kapak besar miliknya yang ia sarungkan di pinggang untuk menyerang Ain. Makhluk itu telah menganggap Ain sebagai ancaman.
Duaaak!!! Hantaman keras dari kapak makhluk itu menghancurkan tanah di dalam goa. Serangan makhluk itu sangatlah kuat, namun lambat. Ain tidak bisa melakukan apapun selain menghindari serangan makhluk tak dikenal itu.
Berjam-jam Ain diserang oleh makhluk tersebut. Ain hanya mampu menghindari serangan tanpa mampu menyerang balik. Tapi kemudian makhluk itu terlihat lelah setelah menyerang Ain berjam-jam lamanya. Makhluk itu meletakkan kapaknya, lalu bersandar ke dinding goa untuk tidur. Tak lama, terdengar dengkuran keras dari makhluk raksasa itu. "Kesempatan!" pikir Ain.
Ain bergegas menuju mulut goa, namun ia kembali dihadang oleh wanita berambut biru muda, sang Master yang tengah melatihnya. Wanita itu menatap Ain dengan tatapan tajamnya sambil menggeleng pelan.
"Cih! Apa yang harus ku lakukan?" Ain merebahkan dirinya di dinding Goa. Matanya terasa berat, perutnya juga sudah berbunyi sedari tadi. Lapar, lemas, kantuk, semua jadi satu. Namun Ain berusaha agar tetap terjaga. Ia takut akan diserang oleh makhluk raksasa, kalau sampai dirinya terlelap.
[•X-Code•]
Sudah 2 hari berlalu semenjak Ain berada dalam goa. Ia mampu bertahan hidup dari sisa-sisa makanan yang dibawa oleh makhluk raksasa tersebut. Tapi di sisi lain ia harus segera menemukan cara untuk keluar dari sana. Kalau tidak, ia akan gagal menjadi pasukan Cerberus.
Ain memutar akal, mengingat-ingat lagi apa yang telah diajarkan. Ia juga teringat dengan perkataan wanita itu soal bertahan hidup, lalu kembali mencernanya.
Malam hari sebelum ujian, Ain datang ke tempat Heim untuk belajar menguasai gaya bertarungnya sendiri. Namun malam itu, Heim hanya mengatakan sebuah kalimat, "Jangan menilai, jangan berpikir, cukup rasakan dan biarkan semua mengalir."
Sebelumnya Ain tidak memahami maksud perkataan Heim tersebut. Namun kini ia sedikit mendapatkan petunjuk. Ain berdiri lalu menghampiri raksasa yang sudah bersiap dengan kapak besar di tangannya. Ia mengatur nafas, lalu berusaha mengosongkan pikirannya. Saking tenangnya, Ain bisa merasakan detak jantungnya sendiri tanpa disentuh. Aliran darah, denyut tubuh, bahkan denging di telinga yang selalu terabaikan kini terasa begitu jelasnya.
Secara perlahan, Ain merasakan sensasi yang berbeda. Ia merasa ada sesuatu yang merasuki tubuhnya. Sebuah gelombang lembut yang terasa hangat secara perlahan menggerakan tubuhnya dengan pelan. Ain tidak mau berpikir macam-macam, ia juga tidak ingin menilai apa yang tengah terjadi. Ia hanya mengikuti tubuhnya yang bergerak sendiri itu.
Ain memasang kuda-kuda bertarung yang berbeda dari sebelumnya. Padahal ia tidak pernah mempelajari kuda-kuda tersebut. Kaki kiri Ain ditekuk di depan dengan sedikit terangkat, lalu tumpuan tubuh berada di kaki kanan yang sedikit ditekuk. Tangan kiri Ain tertekuk di depan dengan telapak menghadap ke depan. Sedangkan tangan kanan di belakang tangan kiri, dengan telapak menghadap ke dada. Saat itu pikiran Ain benar-benar dalam kondisi netral, tidak memikirkan apapun. Ia hanya fokus merasakan perubahan yang ada di dalam tubuhnya, juga kondisi di sekitar.
Raksasa itu mengangkat tinggi-tinggi kapaknya, bersiap menyerang Ain. Seolah bisa membaca gerakan raksasa itu, Ain mengelak ke arah kiri. Dengan kuda-kuda yang ia pakai sebelumnya, melesat untuk menghindari serangan dari arah atas sangatlah mudah.
Kemudian Ain mulai memperhatikan tubuh raksasa yang ditumbuhi duri-duri tajam di sekujur tubuhnya. Ada beberapa bagian tubuh yang tidak ditumbuhi duri, sebuah celah untuk diserang walau sempit. Tangan Ain bergerak dengan sangat cepat menyerang setiap titik di tubuh raksasa yang tidak ditumbuhi duri.
Raksasa itu meraung keras mendapat serangan bertubi-tubi dari Ain di bagian perut sebelah kanan. Serangan Ain memliki daya penghancur yang bahkan bisa menggeser tubuh raksasa itu beberapa sentimeter.
Raksasa itu mengangkat kapak yang terbenam di tanah, bekas meluncurkan serangan tadi. Lalu menebaskan kapak itu ke arah Ain dari sebelah kanan. Ain menunduk untuk menghindari serangan tersebut, dan melesat ke arah berlawanan sembari meluncurkan serangan beruntun lagi.
Sebenarnya Ain sendiri merasa kagum dengan yang terjadi saat itu. Namun ia segera menepis rasa kagum tersebut. Sedikit saja ada yang terpikirkan di benak, sensasi itu akan terhenti. Sensasi di mana ia mampu merasakan segala yang ada di dalam tubuh serta merasakan pergerakan yang ada di sekelilingnya.
Berkali-kali Ain menyerang raksasa tersebut dengan berbagai serangan. Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi layaknya hujan deras hingga akhirnya raksasa itu tumbang.
Untungnya Ain memiliki kemampuan fisik yang kuat, sehingga ia masih bisa mengimbangi gerak tubuhnya tersebut. Kalau tidak, mungkin persendiannya akan lepas begitu menghantam tubuh raksasa yang begitu keras layaknya karang. Ditambah, gelombang lembut yang membuatnya bergerak sendiri itu memaksanya untuk bergerak dengan sangat cepat, lebih cepat dari gerakannya selama ini.
Tanpa ia sadari, Heim berdiri mematung melihat pertarungan dari luar goa. "Gaya bertarung itu...." Heim hanya terdiam dengan tatapan tidak percaya.
"Raksasa itu, Gorgolad. Hanya bisa dikalahkan dengan gaya bertarung milik Ain. Gaya bertarung yang menyerang titik kelemahan dengan sangat cepat, juga serangan balik yang memanfaatkan kekuatan serangan lawan. Aku tidak salah membawanya ke sini," ujar sang Master sembari mengusap-usap kepala Luna, anaknya yang dibawa Heim untuk menemuinya di sana.
Ain yang masih terengah-engah perlahan mengalihkan pandangannya ke pintu goa. Ia melihat Heim dan sang Master wanita yang belum ia ketahui namanya, beserta Luna berdiri sambil melempar senyum pada Ain. Perlahan Ain berjalan keluar dari goa. Kaki dan tangannya terasa panas. Jari-jarinya terlihat bergetar hebat. Sekujur tubuhnya terasa lelah, seolah habis melakukan pekerjaan yang begitu berat.
Heim melempar roti berisi daging pada Ain, dengan cepat Ain menangkap roti tersebut. Heim sengaja mengerahkan seluruh tenaganya untuk melempar roti itu, sehingga lajunya hampir menyamai peluru senapan.
Tapi dengan mudah Ain bisa menangkapnya. Ia sendiri tidak menyadari refleknya telah berkembang pesat. Sebenarnya ia pun heran mengapa ia bisa menangkap roti yang dilempar Heim dengan sangat cepat itu.
Ain, bahkan mungkin Heim tidak mengetahui kalau goa di mana Ain berlatih itu memiliki medan energi yang tidak biasa. Sengaja wanita itu melatih Ain di sana, guna meningkatkan kemampuan Ain secara drastis dalam waktu singkat.
Medan energi itu juga yang menjadi alasan mengapa Ain bisa dengan begitu cepatnya menguasai teknik beladiri milik Cerberus. Medan energi itulah yang membantu akselerasi sel mitokondria di tubuh Ain, meningkatkan jumlah energi yang dikeluarkannya serta mempertajam indera.
"Ayo, kita harus bergegas ke Centra Head," ujar Heim dengan senyum puas. Heim percaya kalau Ain sudah bisa menguasai teknik bertarungnya, namun Heim tidak menyangka kalau ternyata Ain memiliki teknik seperti itu. Heim selaku Master beladiri di Cerberus mengetahui betul gaya bertarung seperti apa teknik milik Ain.
Dulu ia pernah melihat seseorang yang memiliki gaya bertarung mirip seperti itu. Gaya bertarung yang begitu langka, begitu mematikan.
Heim dan Ain berpamitan sekaligus berterimakasih pada sang Master wanita. Sebelum pergi, wanita itu sempat memanggil Heim untuk menyampaikan sesuatu.
"Heim, kita telah membangunkan monster dari tidurnya. Berhati-hatilah," ujar wanita itu. Terlihat ada sedikit kekhawatiran dalam hati yang terpancar di raut wajahnya. Juga ada sedikit rasa trauma tersirat di wajahnya.
"Tenang saja, Master Ive. Dia monster berjubah kesatria," jawab Heim dengan senyum penuh keyakinan.
Wanita yang bernama Ive itu tersenyum lembut pada Heim. Mungkin rasa khawatir yang ia rasakan hanyalah bentuk dari pikiran negatifnya saja. Ia memilih untuk menaruh kepercayaannya pada Heim, juga Ain.
Tanpa membuang waktu lagi, Heim dan Ain pergi menuju Centra Head dengan Trava untuk melanjutkan ujian masuk Cerberus.