webnovel

Pesta Keluarga

"Dapur …."

"Kamar tamu …."

"Perpustakaan …."

"Ruang kerja Papa …."

"Ruang kerja Bang Yesha …."

"Taman …."

"Kolam renang …."

"Kamar Mama dan Papa …."

"Kamar Orianna …."

"Kamar gue …."

"Kamar Bang Yesha …."

Yara—atas paksaan dari Mama, mengantarku berkeliling rumah. Dia menunjukkan tiap-tiap ruangan dengan malas.

Begitu aku dan Yesha memasuki rumah, keluarga Yesha ternyata sudah bersiap menyambut kedatangan kami. Hampir semua orang tersenyum cerah, kecuali Yara dan Orianna tentunya. Mereka berdua sama sekali tak menutupi perasaan tidak sukanya padaku.

Yara tampak sangat cantik dengan rambut pirang keemasan serta gaun tanpa lengannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan ujungnya yang dibuat mengikal.

Setelah selesai melakukan tur berkeliling rumah setengah hati, aku mengikuti Yara kembali ke bawah untuk berkumpul bersama anggota keluarga lain di taman.

Mereka semua juga berpakaian serba putih, seperti aku dan Yesha. Saat mata kami bersitatap, dia menyunggingkan senyum mengejek ke arahku. Seketika aku langsung menyadari kalau tindakannya menyuruhku berganti-ganti baju saat di hotel hanya untuk mengerjaiku.

"Nggak usah sok mau cari muka," gerutu Yara di sebelahku. Dia mempercepat langkahnya dan meninggalkanku di belakang.

"Mama dengar semalam kamu sakit, Nak?"

Selain Yara yang tampak paling berbeda di antara seluruh anggota keluarga tersebut akibat warna rambut serta warna matanya yang diwarisi dari ayah kandungnya yang merupakan keturunan Prancis, ibu mertuaku juga berbeda.

Kedua warna matanya berlainan. Satu coklat, sementara satunya lagi biru. Aku tahu itu bukan bawaan sejak lahir, tetapi hanya sebatas itu. Yesha belum pernah menceritakan tentang penyebab ibunya memiliki warna mata yang berbeda.

"Maaf," kataku tak enak hati ketika mendengar ada nada khawatir di dalam suaranya.

"Kenapa minta maaf? Nggak ada yang menyalahkanmu, kok." Dari sudut mataku, aku bisa melihat Yara dan Orianna yang menatap sengit ke arahku, kemudian memalingkan wajah.

"Gimana keadaanmu sekarang? Masih sakit?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Udah mendingan," kataku.

Kami sudah bergabung dengan seluruh keluarga. Seorang pria yang kuperkirakan berusia awal lima puluhan sedang sibuk di depan alat pemanggang. Dia memakai pakaian yang serupa dengan Yesha—yang sekarang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria yang kukenali sebagai Zico, kakak sepupu Yesha.

Selama pesta berlangsung, aku berusaha untuk sebisa mungkin menjadi tidak kasat mata setelah Yara terus menerus melemparkan tatapan sarat kebencian saat aku mencoba berbaur dengan keluarganya.

Meski mereka bersikap ramah dan memperlakukanku selayaknya keluarga, aku sendiri tidak merasa begitu. Aku justru merasa seperti seorang penyusup yang tak dikehendaki keberadaannya. Sempat terbesit di pikiranku bahwa sikap mereka itu tak lebih dikarenakan aku ini istri Yesha. Jadi, meski sedang begitu ramai, aku tetap saja merasa kesepian.

'Andai ada Zola di sini, aku nggak akan merana kayak gini.'

Yeah … andai Zola di sini, aku tak perlu repot-repot menikah kontrak dengan Yesha. Aku menghela napas entah untuk yang keberapa kali.

Aku duduk di gazebo yang agak jauh dari kelompok itu seorang diri. Lebih baik begitu daripada berada di antara banyak orang, tetapi merasa seperti orang asing. Aku menatap keluarga yang tampak bahagia itu, kemudian tersenyum kecut.

***

Singkatnya, aku berhasil melewati pesta tanpa harus mempermalukan diriku sendiri serta Yesha. Suasana hati Yesha juga sepertinya cukup bagus, bahkan sampai waktu makan malam.

"Mama pikir kalian akan pergi bulan madu," ujar ibu mertuaku tiba-tiba.

Aku dan Yesha sontak langsung terbatuk-batuk. Kurasakan wajahku memanas.

"Aku masih banyak kerjaan, Ma. Lagi banyak kasus," sahut Yesha ketika batuknya reda.

Ibu mertuaku tertawa. "Maafkan kalau Mama terlalu ikut campur. Mama hanya nggak sabar mau menimang cucu. Mumpung Mama belum terlalu tua," ujarnya.

"Siapa yang ngatain kamu tua, Sayang?" tanya ayah mertua tak terima.

Ibu mertuaku memang masih sangat cantik. Dengan tubuh ramping serta wajah yang tanpa kerutan sama sekali, orang akan mengira usianya baru pertengahan tiga puluhan andai tidak mengetahui bahwa putra sulungnya sekarang berusia dua puluh enam tahun.

Ibu mertua mengibaskan tangan seolah sedang menepis lalat. "Jangan mulai, Bang. Malu sama anak-anak. Ingat umur," ujarnya, tetapi wajahnya tampak tersipu.

Saat menoleh ke arah Yesha dan Yara, aku bisa melihat mereka menatap kedua orangtuanya dengan kekaguman yang tak ditutup-tutupi. Bukan kagum. Yara dan Yesa memuja mereka.

Mau tak mau, aku merasa iri pada kedua mertuaku. Apa mungkin hubunganku dan Yesha akan sampai pada tahap itu? Mengingat pernikahan kami saja hanya hitam di atas putih. Aku tak lebih dari seseorang yang disewa untuk menjalankan tugas seorang istri.

***

Usai makan malam dan membantu memberesi meja makan, aku memilih untuk kembali ke kamar dengan dalih ingin beristirahat. Sementara Yesha, Yara, serta Orianna duduk berkumpul dengan orang tua mereka di ruang keluarga. Lagi pula, aku bukan bagian dari mereka. Kehadiranku nantinya mungkin hanya akan mengganggu.

Aku duduk di tempat tidur sembari memandangi foto-fotoku bersama Zola di ponsel. Tanpa kusadari, air mataku menetes. Di mana dia? Bagaimana keadaannya sekarang? Aku berharap Yesha mau memberitahu perkembangan penyelidikannya.

Tak lama kemudian, pintu kamar terkuak dan Yesha masuk. Aku cepat-cepat menghapus air mata di wajahku. Andai Yesha sempat melihatnya, dia tidak menunjukkannya.

Yesha masuk ke kamar mandi dan keluar beberapa menit kemudian, sudah berganti mengenakan piyama.

"Kenapa nggak ikut ngumpul?" tanyanya. Aku memalingkan wajah saat Yesha melepaskan kausnya.

"Aku capek. Pingin istirahat," aku bergumam. Aku berpura-pura sibuk dengan ponselku.

Tiba-tiba, Yesha mengambil ponsel itu dari tanganku. "Kalau ada orang ngomong tuh, didengerin. Bukan asyik main hape sendiri. Nggak sopan."

Aku sudah membuka mulut, bersiap untuk melayangkan protes. Namun, saat mendongak wajahku langsung berhadapan dengan dada telanjang Yesha. Secara otomatis aku memekik sembari menutupi wajahku menggunakan kedua tangan.

"Kenapa teriak, sih?" Yesha terdengar kesal.

"Lo jangan tiba-tiba nongol gitu dong, pas lagi telanjang! Gue kaget," omelku, dengan tangan masih menutupi wajah. Jantungku bertalu-talu.

Jeda sejenak, kemudian terasa tangan Yesha menyentuh daguku. "Buka mata lo," perintahnya.

Aku menggeleng. "Nggak," tolakku, "sebelum lo pake baju."

"Oh, lo mulai berani ngelawan gue?" bisiknya di telingaku. Bulu kudukku meremang.

Aku menggeleng cepat-cepat. "Bukan begitu …" aku terdiam sejenak. Otakku berpacu mencari jawaban yang sekiranya tidak membuat Yesha marah. "... aku malu," bisikku. Aku hendak berpaling, tetapi tangan Yesha menahan wajahku.

"Malu?" Aku mengangguk. "Kenapa? Aku suamimu."

Aku berniat mengingatkan Yesha karena bagaimanapun kami hanya menikah kontrak. Meski bagiku tak ada bedanya menikah kontrak dengan menjual diri. Namun, baru saja membuka mulut, Yesha tiba-tiba membungkamku dengan mulutnya.

Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paruku yang hampir meledak ketika akhirnya Yesha menghentikan ciumannya. Dia menatapku lekat. Senyum menari-nari di bibirnya. Matanya berkilat.

"Ini baru sehari dan lo mulai berani ngelawan. Gue nggak suka," geramnya. Aku baru membuka mulut, tetapi langsung mengurungkannya ketika melihat cara Yesha menatapku.