webnovel

Rumah

"Maafkan aku," aku berbisik. "Aku nggak bermaksud mengacaukan acaranya."

Yesha tak menjawabku. Aku duduk di tepi ranjang kamar pengantin kami, sementara Yesha berdiri membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat seperti apa raut wajahnya. Namun, melihat dari punggungnya yang tegang, aku tahu kalau Yesha murka.

Dia menyusulku ke toilet ketika aku tak kunjung kembali ke pesta dan menemukanku dalam keadaan berantakan. Tanpa berkata apa pun, dia menggendongku dan membawaku ke kamar ini.

"Diamlah," ujarnya dingin. Tanpa mengatakan apa pun, dia keluar dari kamar dan membanting pintu di belakangnya.

Aku mengamati ke sekeliling kamar. Di tempat tidur terdapat kelopak bunga mawar yang dibuat menjadi bentuk hati. Pencahayaan di kamar ini dibuat temaram. Andai mereka tahu bahwa pernikahan kami hanya didasari atas kepentingan masing-masing, maka staf hotel akan membuat membuat kamar ini gelap gulita.

Air mataku kembali menetes.

Aku hampir ketiduran ketika Yesha kembali ke kamar. Jasnya sudah dilepas, disampirkan di lengannya. Wajahnya memerah yang bisa kupastikan akibat alkohol.

Dia mengunci pintu. "Siapa yang ngizinin lo tidur?" tanyanya.

Aku segera kembali duduk. "M-maaf," kataku, "aku nggak sengaja ketiduran."

Yesha memutar bola matanya. Dia berjalan sempoyongan ke arahku. "Berdiri," perintahnya sembari membuat isyarat dengan tangan.

Aku menurutinya dan terkesiap ketika tiba-tiba dia menciumku. Tangannya bergerak menjelajahi tubuhku. Dia melepas jepitan di rambutku satu per satu sampai akhirnya jatuh terurai ke bahu. Kemudian, Yesha menarik turun resleting gaunku. Kain sutra itu berdesir turun dan terkumpul di kakiku. Aku berjengit saat Yesha mengecup bahuku yang telanjang.

"Apa kamu tahu kalau aku sangat membencimu?" bisiknya di leherku.

Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Aku terkesiap ketika Yesha tiba-tiba menarik rambutku. Tidak sakit, hanya saja membuatku terkejut.

"Jawab aku, Rossie," geramnya.

Aku tergagap. "M-maaf," kataku. Aku tak bisa menemukan jawaban yang lebih baik dari itu tanpa membuat Yesha marah.

Yesha menyeringai, menampakkan gigi geliginya. "Aku tidak butuh kata maaf sialanmu itu!" bentaknya.

Yesha mendorongku sampai aku jatuh menelentang di ranjang. Mataku terbelalak ketika Yesha mulai melepaskan kancing kemejanya.

"K-kamu … kamu mau apa?" tanyaku panik.

"Menurutmu apa yang dilakukan sepasang suami istri di malam pernikahan mereka?" cibirnya dan seketika kurasakan wajahku memerah.

Yesha kembali menciumku. Kini ciumannya terkesan kasar dan tergesa-gesa. Aku terus memejamkan mata, tak ingin melihat apa yang Yesha lakukan padaku. Andai bisa, aku ingin keluar sejenak dari tubuhku agar tak perlu merasakan ini.

Yesha merenggut segalanya dariku. Dia cinta pertamaku. Bahkan setelah semua ini, aku masih saja memiliki perasaan terhadap Yesha. Aku masih berharap hubungan kami akan membaik dan kembali seperti dulu lagi. Meski kusadari itu takkan terjadi.

Hatiku terombang-ambing, bingung harus membenci Yesha karena apa yang dia lakukan atau tetap bertahan mencintainya. Aku tak tahu harus meratap atau merasa bersyukur karena Yesha yang pertama untukku, bukannya lelaki hidung belang di rumah bordil.

***

Saat aku terbangun keesokan paginya, Yesha sudah tidak ada di tempat tidur. Samar-samar aku mendengar suara keran dari kamar mandi. Saat menunduk, kusadari aku sudah mengenakan kemeja yang dipakai Yesha semalam.

Dua nampan berisi sarapan tergeletak di nakas. Salah satunya sudah kosong.

Aku termenung sejenak. Sejak kemarin … tidak! Bahkan sejak Yesha membawaku pindah ke apartemennya, aku sudah begitu sering merenung. Aku memiliki terlalu banyak waktu luang dan tidak memiliki kegiatan apa pun sehingga akhirnya hanya bisa merenung. Mungkin itu tujuan Yesha melarangku bekerja. Dia ingin merusak mentalku dan perlahan membuatku gila.

Suara keran berhenti.

Aku langsung merapatkan selimut ke tubuhku. Benar saja. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, disusul Yesha muncul dengan bertelanjang dada.

Mata kami bersirobok dan aku langsung memalingkan muka. Wajahku memanas. Kurasa aku demam.

Kemudian, Yesha berkata, "Makan sarapanmu, setelah itu mandi dan bersiap-siaplah untuk pulang."

Aku bergeming. Aku masih tidak menatap Yesha.

"Kenapa diem aja?"

Wajahku rasanya seperti tersiram air panas. "Aku …." Aku tak tahu harus berkata apa. 'Aku malu'? 'Aku tidak bisa membuka selimutku selama kamu masih ada di situ'?

"Gue udah liat semuanya. Nggak ada lagi yang perlu lo tutup-tutupi dari gue," ujar Yesha seenak perut.

Entah bagaimana, tiba-tiba Yesha sudah berada di sebelahku dan masih bertelanjang dada. "Begitu juga gue nggak akan nutup-nutupin apa pun dari lo," bisiknya. "Karena mau bagaimanapun, kita ini udah suami istri. Dan malam pertama kita berlangsung dengan luar biasa." Aku menjerit ketika tiba-tiba Yesha menggigit cuping telingaku.

"Sekarang pilih …" Yesha menarik selimut yang sedari tadi kudekap, kemudian melemparkannya ke lantai. "Bangun dan lakukan semuanya sendiri … atau aku yang akan melakukannya."

Mengabaikan perasaan maluku, aku langsung lari terbirit-birit ke kamar mandi.

***

Aku selesai mandi dan sarapan dalam waktu kurang lebih satu jam. Sebenarnya aku sudah selesai jauh lebih cepat dari itu, tetapi Yesha begitu cerewet mengomentari pakaianku. Komentar seperti, "Ganti. Lo jadi kayak orang kurang gizi", "Ganti. Warnanya norak", "Ganti. Ini Indonesia, bukan Swiss", serta komentar-komentar semacam itu.

Padahal dia sendiri yang memilih pakaian-pakaian itu waktu mengajakku berbelanja. Katanya, jika aku memakai baju lamaku di rumahnya, orang akan mengira kalau aku ini pembantu dari pembantunya.

Pada akhirnya, dia melemparkan satu set kemeja dan celana pendek berwarna putih padaku. "Pakai ini aja," perintahnya dengan tak acuh, bahkan menoleh padaku pun tidak. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mencakar dan menghancurkan wajahnya.

Sementara aku membereskan kekacauan yang disebabkan oleh Yesha, si biang kekacauan hanya duduk bersandar pada kepala ranjang sambil asyik bermain game di ponselnya.

Dia mengenakan celana pendek selutut dan kemeja putih pas badan. Wajahku panas ketika menyadari kalau pakaian kami memiliki warna senada. Aku tak tahu Yesha sengaja melakukan itu atau tidak lebih dari sebuah kebetulan.

Setengah jam kemudian, kami sudah di mobil dalam perjalanan ke rumah Yesha. Semakin dekat jarak kami, perasaanku semakin tak keruan. Orang tuanya mungkin bersikap baik padaku saat kami bertemu. Namun, pertemuan selama satu dua jam berbeda dengan tinggal bersama di bawah satu atap.

Tanganku berkeringat. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana kalau mereka membenciku? Aku sudah membuat mereka hampir kehilangan putra satu-satunya. Jauh di lubuk hati, orang tua Yesha pasti membenciku. Dan jangan lupakan keberadaan si rambut jagung dan pengikutnya.

Aku bahkan sempat memaksa Yesha untuk berhenti di pom bensin karena perutku mulas. Aku beralasan salah makan, meski sebagai detektif, aku yakin Yesha tak mudah dibohongi.

Tak lama kemudian, kami tiba di rumah Yesha. Pintu gerbangnya menjulang tinggi dan terbuka otomatis ketika mobil Yesha mendekat.

Yesha memarkir mobilnya di samping sebuah SUV. Aku merasa pernah melihat kendaraan itu, tetapi lupa di mana. Kami berdua turun dari mobil. Aku mendongak memandang istana megah di hadapanku.

'Selamat datang di penjara barumu, Hanasta,' pikirku muram.