webnovel

Ikatan Suci (?)

Yesha berdiri di depan altar. Dia mengenakan setelan jas serba putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Senyum tersungging di bibirnya. Mau tak mau, aku balas tersenyum. Sesaat, aku merasa kalau Yesha benar-benar mencintaiku. Untuk sesaat, aku sempat lupa kalau pernikahan ini sebatas perjanjian hitam di atas putih. Aku menikahinya demi Zola, Yesha menikahiku demi harta warisan serta pembalasannya padaku.

Rascal yang mengantarkanku ke altar. Meski dia sempat menolak permintaanku, karena merasa dirinya bukan orang baik dan tidak pantas terlibat dalam sebuah upacara sesakral ini.

Aku tak memiliki siapa pun. Satu-satunya pria lain yang kukenal hanya kakak tiriku. Namun, aku bahkan tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Aku tak tahu keberadaan pria itu. Andaipun tahu, aku sama sekali tak berniat mengundangnya ke acara pernikahan ini, apalagi mendampingiku ke altar. Kehadirannya hanya akan menjadi bencana.

Aku mengenakan gaun dengan ekor yang dapat dilepas. Korsetnya membuatku kesulitan bernapas, menekan dadaku. Rambutku dikepang dan disematkan di atas kepalaku dengan begitu banyak jepitan. Saat aku mengeluhkan tentang batapa repotnya melepaskan semua itu nanti, perempuan yang merias wajahku hanya berkata, "Tenang aja. Suamimu pasti tau cara nglepasinnya." Wajahku seketika merona.

Satu tanganku memegang buket bunga, sementara tangan yang lain tertaut dengan siku Rascal. Begitu tiba di depan Yesha, Rascal memberikan tanganku ke tangan Yesha. Senyumnya masih tersungging.

Meski memakai sarung tangan, ujung-ujung jemariku terasa dingin. Begitu juga dengan ketampanan Yesha yang tak berkurang meski pandanganku terhalang kerudung yang menutupi kepalaku. Dan aku bersyukur, karena berkat kerudung ini, tidak ada yang bisa dengan jelas melihat raut wajahku.

Yesha menuntunku ke depan altar. Doa-doa dipanjatkan, kemudian aku dan Yesha bergiliran mengucapkan sumpah. Kami juga menerima sakramen pernikahan.

Setelah upacara selesai, kami saling berhadapan. Senyuman Yesha masih bertahan. Bibirku bergetar saat berusaha untuk balas tersenyum.

Yesha maju selangkah ke arahku, kemudian membuka kerudungku. Matanya menatapku dalam. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku harus berusaha keras untuk mempertahankan senyuman di wajahku.

Kemudian, bibirnya menyentuh bibirku dengan sangat lembut. Mataku terpejam. Entah berapa lama kami bertahan seperti itu. Aku sempat merasa kalau pernikahan ini memang ada karena kami saling mencintai. Kurasakan air mataku menetes. Namun, saat Yesha akhirnya melepaskan bibirku, dia berbisik tepat di telingaku. Suaranya sangat pelan di antara riuh tepuk tangan para tamu.

"Jangan pernah lupa posisimu, Rossie. Kamu nggak lebih dari bonekaku."

***

Resepsi pernikahan kami digelar secara privat di sebuah hotel. Hanya orang-orang terdekat yang kami undang. Semua keluarga besar Yesha hadir, termasuk keluarga besar ayah kandungnya dari Prancis. Juga semua anggota biro detektifnya. Sementara itu, aku hanya mengundang Rascal, Jasmine, serta Mbak Feri.

Ekor gaunku sudah dilepas. Sekarang hanya tersisa gaun mini dengan rok di atas lutut. Yesha menyeretku ke sana-kemari, memperkenalkanku pada keluarga besarnya. Aku hanya berdiri sambil memasang senyuman sampai pipiku terasa pegal, sementara Yesha mengobrol dengan mereka.

"Aku harus ke toilet," bisikku pada Yesha.

Yesha melirikku tajam. "Pergilah. Jangan terlalu lama," desisnya.

Aku mengangguk dan tersenyum kepada setiap tamu yang kulewati. Kupercepat langkahku. Aku baru bisa bernapas lega begitu pintu toilet di tertutup di belakangku.

Kutatap sosok yang terpantul pada cermin di hadapanku. Senyumannya tersungging, tetapi sorot matanya penuh duka. Dia bukan Hanasta.

Hanasta sudah mati saat dia menerima sakramen pernikahan beberapa jam lalu. Yang ada di hadapanku tak lebih dari sekadar cangkang kosong tanpa jiwa.

Tanganku mencengkeram pinggiran wastafel. Dadaku terasa sesak. Menarik napas pun rasanya begitu menyakitkan. Aku menggigit bibir untuk menahan isakan. Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata, mengancam untuk segera turun.

'Nggak. Aku harus bertahan. Aku nggak boleh lemah. Yesha pasti akan marah jika aku sampai tidak terlihat bahagia, apalagi menangis di hari pernikahan kami. Aku harus sebisa mungkin terus menyenangkannya. Ini demi Zola.'

Setelah beberapa saat, aku akhirnya berhasil menenangkan diri. Aku baru akan keluar ketika tiba-tiba dua orang gadis masuk ke toilet. Salah satunya, yang berambut pirang dan bermata biru mendorongku ke dinding. Sementara yang satunya lagi, gadis berambut hitam tebal dan mata coklat berdiri di dekat pintu—mungkin berjaga-jaga kalau ada yang datang.

Aku mengenali mereka. Si pirang bernama Yara, saudara kembar Yesha. Sedangkan gadis satunya lagi Orianna, adik se-ibu Yesha. Mereka menatapku dengan penuh kemarahan dan kebencian.

"Yara. Orianna," sapaku datar.

"Nggak usah sok baik di hadapan gue, cewek jalang!" hardik Yara. Wajahnya memerah. Kuduga dia sudah mabuk. "Lo nggak tahu malu, ya? Setelah apa yang lo lakuin hampir bikin Bang Yesha meninggal, dan sekarang setelah lo keluar dari penjara karena ngebunuh ayah tiri lo sendiri, lo dateng lagi ke hidup abang gue.

"Apa tujuan lo? Belum puas nyakitin Bang Yesha, hah? Lo pasti ngejebak Bang Yesha biar dia nikahin lo, kan? Semua orang, termasuk Bang Yesha mungkin bisa lo tipu dengan tampang sok polos lo itu, tapi nggak dengan gue sama Orianna."

Matanya menyala-nyala oleh kebencian serta amarah.

"Dengerin dan camkan perkataan gue. Gue sama Orianna akan bikin hidup lo kayak di neraka, pembunuh. Gue akan tunjukin kebusukan lo."

Tanpa kuduga, aku masih bisa tersenyum. Kemudian, aku berkata dengan suara yang luar biasa tenang, "Kalau gitu, semoga beruntung."

"Jalang!" umpatnya. Yara mendorong bahuku, kemudian berjalan keluar dari toilet dengan Orianna mengekor di belakangnya.

Begitu kedua gadis itu menghilang dari pandanganku, aku memerosot ke lantai. Senyumanku sirna. Dadaku terasa sesak.

Kututupi wajahku menggunakan kedua tangan, dan tanpa sanggup kutahan lagi, tangisku pecah. Aku tenggelam dalam sedu sedan serta isak sengal. Hatiku hancur.

Aku sendirian di dunia ini. Hanya ada masalah yang tak ada habisnya yang senantiasa menemani. Aku merindukan Zola. Aku membenci ayah serta kakak tiriku, juga ibuku. Karena mereka lah hidupku hancur.

Andai mereka mampu memberiku keamanan—bukannya neraka, aku tak perlu membunuh. Aku tak perlu bekerja dengan menjual diri. Aku takkan dipenjara sehingga berpisah dengan Zola. Zola tidak akan hilang. Aku pasti sudah bahagia bersama Zola.

Mungkin … mungkin aku juga masih bersama Yesha. Kami mungkin akan menikah, tetapi benar-benar pernikahan yang berlandaskan cinta. Bukan pernikahan semu yang penuh kebohongan seperti ini.

Aku membenci mereka semua yang sudah menghancurkan hidupku dengan sepenuh jiwaku.

Aku menangis dan terus menangis sampai dadaku rasanya sakit. Aku menangisi hidupku yang menyedihkan. Aku menangisi Zola yang sekarang berada entah di mana dan entah seperti apa keadaannya. Aku menangis karena kini terikat dalam sebuah hubungan yang penuh kebohongan.