“Sudah semua?” tanya paman. Kami mengangguk. Lalu dia mengeluarkan sebuah kartu dari dalam tasnya. Entah kartu apa, tapi itu terlihat seperti kartu pada umumnya. Kemudian Paman John berlutut, mencari sesuatu di atas tanah. Kami melihatnya heran. Lalu entah dari mana, muncul sebuah kotak hitam kecil berukuran 10 x 10 cm dari dalam tanah. Kami terdiam menatapnya. Entah itu kotak apa, tetapi Paman John menemempelkan kartu yang dipegangnya ke atas kotak. Kotak itu mendesing pelan. Terlihat warna hijau menyala. Kartu yang paman punya membuka suatu kunci.
Lima detik lengang. Lalu suatu sinar persegi panjang keluar dari kotak hitam kecil itu. Mengambang diatas udara. Batangannya menyala dengan warna merah terang. Itu menakjubkan, seperti hologram persegi panjang yang menjadi pintu.
Paman John tersenyum senang. Lalu ia mencoba mengulurkan tangannya ke tengah persegi panjang itu. Dan saat ia mengulurkan tangannya melewati persegi itu, tangannya hilang bak terpotong. Kami terperanjat.
"Baiklah, pintu sudah terbuka, silakan kalian masuk lebih dulu." kata Paman John santai.
Kami terdiam. Saling tatap satu sama lain.
"Astaga! Kenapa setiap aku meminta kalian melakukan sesuatu atau aku menunjukkan sesuatu, kalian terdiam saling tatap. Seperti orang kampung saja." ucap Paman John kesal.
"Maaf paman. Ini hal baru bagi kami." kataku dengan perasaan sedikit malu.
"Apakah maksud paman tadi kami harus melewati persegi itu?" tanya Agam pada Paman John.
"Tentu saja! Ayo kamu duluan Agam. Sebagai pencoba pertama."
"Baiklah."
“Ooh jadi ini pintu menuju kerajaan para pemilik kekuatan. Mengagumkan sekali!” bisik Rian disamping Zeta.
Lalu Agam berjalan, melewati persegi itu. Saat dia melewati persegi tubuhnya bagai permen kapas yang dicelupkan dalam air, menghilang. Persegi itu transparan, bahkan hanya terlihat seperti bingkai saja. Jadi pastilah di sisi lain dia tidak ada.
"Waaah!" teriak Mera takjub.
"Aku selanjutnya ya!" lanjutnya yang terlihat sangat antusias.
Lalu dia melangkahkan kaki melewati persegi itu. Disusul Zeta, Rian, barulah aku. Paman John terakhir. Beliau juga yang menutup “pintu masuk” itu.
Saat kami memasuki persegi itu kami menginjakkan kaki di tengah padang rumput dengan beberapa pohon buah disana. Bukan lagi sawah yang terhampar seluas mata memandang. Dua kerajaan yang hanya dipisahkan oleh layar hologram canggih yang berfungsi menjadi pintu. Ini keren sekali.
“Oke, kita lanjutkan lagi berjalannya!”
“Astagaa kukira penderitaan ini sudah usai.” kata Mera yang langsung menjatuhkan dirinya diatas rumput.
Paman John yang berteriak semangat lantas hanya tertawa melihat calon didiknya mengeluh. Yap, calon didikan.
“Aish kamu ini suka sekali mengeluh ya, Mera.” ucap Rian meledek.
“Lihatlah aku daritadi diam menikmati perjalanan.”
“Ya itukan karena kamu memang suka mendaki.” jawab Mera ketus.
“Darimana kamu tahu dia suka mendaki?” tanyaku heran.
“E-eh dari Zeta. Iya dari Zeta! Waktu itu dia pernah bercerita.”
“Sejak kapan aku membicarakan Ri. A-ah iya waktu itu.” jawab Zeta gugup setelah dipelototi Mera.
“Sudahlah, ayo kita jalan lagi. Kaki kita tidak akan berjalan sendiri bukan menuju ke tempat istirahat. Sebentar lagi langit gelap. Kalian tidak mau kan dimakan gajah.” kata Paman John memperingatkan.
“Aih, sejak kapan gajah makan manusia?”
Agam menggaruk kepalanya sambil terus menggerakan kakinya.
“Sejak harimau makan rumput!” jawab Mera sambil tertawa terbahak. Kami hanya menatapnya. Itu bukan lelucon yang bagus. Lalu dia berhenti tertawa menundukkan pandangannya. Malu.
“Ah kalian ini tidak asik.” ketusnya.
-*#*-
Setelah berjalan sejauh 500 meter dari pintu hologram tadi kami sampai di tempat istirahat. Jangan bayangkan ini hotel seperti yang ada di kerajaan kalian, atau motel, maupun homestay. Ini hanya mobil van berwarna biru jeans yang terparkir di tengah padang rumput di bawah pohon apel. Mobil itu sepertinya memang sengaja tidak disembunyikan oleh paman. Lalu sejak tadi pula kami membereskan barang bawaan kami. Membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Dan kalian tahu bagaimana kami membuat api unggun itu?
Percayalah. Mera yang membuatnya. Maksudku Mera yang membuat apinya. Dengan tangan kosong. Ia hanya menjentikkan jarinya lalu keluarlah api dari tangannya. Itu tadi keren sekali. Yaa, kami sudah diperbolehkan menggunakan kekuatan kami. Dan bagaimanapun juga ini kerajaan para pemilik kekuatan.
Tanpa terasa sesaat setelah kami selesai membereskan barang bawaan kami, matahari tenggelam di kaki barat.
“Waah, indah sekali.” bisikku menatap matahari tenggelam. Yaa, kami melihat matahari tenggelam di sini. Di tengah padang rumput.
“Paman,”
“Ya,”
Paman John dan Rian saling menyaut.
“Padang rumput ini, seluas apa?” tanyanya.
“Hanya seperdelapan dari luas seluruh kerajaan.”
“Hanya? Bukankan padang ini sudah terlihat sangat luas?” tanya Agam kini.
“Kalian belum tahu seluas apa lembah berair, padang es, dan hutan lima musim kan. Apalagi kerajaan inti, istana kedua, dan daerah lainnya.”
“Waah, seluas itukah paman?” tanyaku takjub.
“Seluas apa maksudmu?” tatap Mera sinis padaku.
“Entahlah tapi itu terasa sangatlah luas Mera.” Jawabku masih dengan takjub.
“Kebiasaan.”
“Lalu besok kita akan kemana paman?” kini Zeta yang bertanya.
“Besok kita akan ke padang rumput.”
“Aah paman seperti tidak menjawab pertanyaan Zeta.” Mera menyaut.
Kami berbincang hingga matahari benar-benar hilang digantikan oleh bulan dan bintang.
Malam itu bintang tampak menakjubkan. Menyebar di seluruh langit, bersanding dengan bulan yang berwarna kuning terang. Bulat bentuknya.
Api unggun menyala terang ditengah kami. Hangat. Kami duduk melingkar. Zeta memasak sup jagung sebagai makan malam kami. Ya dia giliran memasak pertama. Bau sup jagung itu sedap, walaupun itu makanan kalengan dari dalam mobil van Paman John. Aku tidak tahu kalau ternyata di kerajaan ini ada makanan kaleng juga. Tidak jauh berbeda dengan kerajaan yang kami berlima tinggali.
Kami menyodorkan mangkuk. Lalu Zeta menuangkan sup itu sama rata pada mangkok kami.
“Ini pertama kalinya aku berkemah di alam liar, ternyata tidak buruk juga.” ucap Zeta mengawali pembicaraan saat makan malam berlangsung.
“Kamu harus sering-sering melakukannya.” jawab Rian menanggapi.
“Oiya, selagi aku mengingatnya.” kata Paman John dilanjutkan mengunyah potongan jagung yang ada di dalam sup itu.
“Apa paman?” tanyaku tak sabaran.
"Aku minta maaf untuk saat itu, seharusnya aku tidak memotong kalimatmu Mera." ucap Paman John yang rasanya tidak memberikan kesan menyesal. Ia kembali menyuapkan sup jagung itu ke dalam mulutnya.
"Kalimat yang mana paman?" tanya Mera tidak ingat. Ia masih fokus dengan mangkuk di tangannya.
"Saat kamu memperkenalkan diri. Yaa, aku memang tahu siapa kalian tapi mungkin kalian tidak tahu siapa aku, hanya nama panggilan saja yang kalian tahu bukan." katanya mengingatkan.
"Bolehkah aku memperkenalkan diriku lebih baik lagi? Sekaligus mengenal kalian lebih jauh. Sambil menikmati malam yang tenang ini. Menikmati bintang dang hangatnya pertemanan kalian." tanya Paman John meminta ijin.
"Tentu saja paman. Tapi paman juga harus tahu, pertemanan ini baru berumur kurang dari satu minggu." kataku mempersilakan.
"Dan tolong jangan gunakan kata-kata yang menjijikan seperti itu lagi paman, aku mual mendengarnya." ucap Mera dengan raut muka yang terlihat kesal.
"Yah, baiklah. Aku juga tahu itu." Kata paman sambil tertawa pelan. Ia lalu meletakkan mangkuk sup jagung di sampingnya.
"Kalian tahu namaku John, kalian bisa panggil aku John. Aku punya seorang istri, juga seorang anak. Anakku masih kecil, berumur 6 tahun. Masih dalam fase lugunya. Dulu saat aku masih berumur 28 tahun, aku ikut ayahku ke kerajaan kalian, membantu kerajaan kalian. Saat kembali pulang kerumah, ayahku jatuh sakit. Peperangan itu membuatnya sakit. Waktu itu panah melesat ke bahunya. Ia selamat. Tapi tidak lama dari kejadian itu, saat kami pulang, ayahku benar-benar melakukannya. Ia pergi meninggalkanku. Yah mau tidak mau kehidupan terus berjalan, aku menjadi seorang pemburu. Membangun keluarga kecil yang bahagia."
Paman memperkenalkan dirinya dengan bercerita. Ia tersenyum sambil bercerita, seolah kejadian berpuluh tahun lalu ada di depan matanya. Dia menerima segala keadaan yang terjadi.
“Kami minta maaf.” kata Zeta.
“Maaf untuk apa? Kalian tidak salah kan.”
“Sudah menginggatkanmu pada ayahmu.” jawab Zeta lagi.
“Tidak apa.” kata paman John sambil melambaikan tangannya.
"Lalu apa kekuatan paman?" tanya Agam.
"Kekuatanku adalah telepati. Begitulah orang-orang menyebutnya.” kata Paman John bangga.
“Benarkah?” tanya Mera kaget.
“Benar, yaa aku mendengarmu Mera.” kata Paman John berbicara pada Mera.
“Dan kalian tahu siapa yang paling berisik untuk didengar? itu Ara. Dia terus saja bicara di dalam hati. Berisik aku mendengarnya.” kata Paman John memperagakan kebisingan. Aku yang disebutnya malu, tidak tahu harus menjawab apa.
Tetapi lalu dia tertawa.
“Tenanglah tidak setiap saat aku bisa mendengar suara hati kalian, tapi hanya saat aku mengaktifkannya saja. Kalau aku bisa terus mendengar suara, itu sudah pasti aku marah-marah tidak jelas sedari pagi. Kekuatan itu bukan lagi kekuatan, tapi kutukan bukan. Tenang saja Ra.”
Katanya masih tertawa. Aku yang sedari tadi takut akan dibocorkan sesuatu yang kubicarakan di dalam hati akhirnya tenang setelah mendengar hal itu.
“Baiklah aku sudah memperkenalkan diriku bukan, sekarang giliran kalian. Sepertinya kalian juga belum berkenalan.” kata Paman John kembali mengambil mangkok sup jagungnya. Hanya miliknya yang belum habis. Sedari tadi milik kami berlima sudah habis. Sudah ditumpuk jadi satu.
“Mmm, kalau begitu aku yang pertama memperkenalkan diri dulu, boleh?” tanya Mera meminta ijin.
Kami mengangguk. Di hamparan luas padang rumput ini masih ada saja hewan yang bersuara. Entah itu jangkrik atau burung hantu. Sesekali mereka diam, menyisakan malam dengan hembusan dingin angin. Aku merapatkan jaket, angin malam semakin dingin.
“Hai semuanya, namaku Omera Pramudhita, hampir semua orang memanggilku Mera. Hanya guru-guru saja yang suka memanggilku Omera. Alamat rumahku ada di belakang komplek rumah Ela.”
“Kami bahkan tidak tahu dimana rumah Ara.” bisik Rian ketus.
“Aish, nanti kalian juga akan tahu. Rian diam dulu, biarkan aku memperkenalkan diriku dengan tenang.” kata Mera menanggapi. Rian hanya mengangkat bahunya tak peduli.
“Lalu, sampai dimana kita tadi. Ahh, kulanjutkan. Tahun ini aku menginjak tujuh belas tahun. Kekuatanku pertama kali muncul saat aku sedang marah. Kejadian itu sewaktu aku SD kelas dua. Semua temanku lari ketakutan, bahkan aku. Saat itu aku tidak tahu bagaimana caranya mematikan kekuatan itu. Guru yang mengetahui kejadian itu datang membawa pemadam api. Aku menangis setelah api ditanganku dimatikan. Lalu… aku lupa kelanjutan ceritanya. Karena orangtuaku bilang aku pingsan setelah itu.”
Cerita Mera panjang. Ia tertawa mengingat kejadian itu, dan kami ikut tertawa membayangkan bagaimana paniknya saat itu jika tahu tangan Mera langsung mengeluarkan api.
“Api ya kekuatanmu.” kata Paman John.
“Yap.”
“Maukah kau menunjukkannya? Kecil saja, selain menjentikkan jari tadi.”
“Tentu saja.”
Lalu Mera langsung saja memutarkan tangannya, seperti membuat bulatan bola. Ia membuat bulatan itu dari kecil menjadi besar, tetapi belum ada sesuatu yang terlihat. Lalu dia menghentakkan tangannya dan tiba-tiba saja bola api ada di atas tangannya. Bola itu berukuran besar. Menyala merah terang. Lima detik kemudian dia memperkecil api itu. Memperkecil gerakan memutar tangannya. Lalu saat tangannya saling menangkup, api itu padam. Itu teknik yang keren. Kami bertepuk tangan dan mengatakan keren padanya.
Aku tidak pernah menyangka akan menjadi sahabat seorang pengendali api. Seorang yang begitu cerewet, yang menjadi juara sekolah selama tiga periode karena kepintarannya. Seorang gadis yang tangguh.
“Wah keren sekali. Pengendali api umumnya bisa melakukan itu setelah berusia 10 tahun. Dan kamu bisa belajar mengendalikan itu saat umurmu tujuh belas seorang diri! Keren sekali!” ucap Paman John kagum. Ia masih bertepuk tangan.
“Sepuluh tahun?! Lalu apa yang bisa mereka lakukan saat berusia 17 tahun?” tanya Mera kaget.
“Kamu harus melihatnya sendiri nanti.” jawab Paman John.
“Lanjut lah, tinggalkan saja si cupu ini.” kata Rian meledek.
“Apa kau bilang! Cupu?! Aku berlatih ini sendirian kau tahu. Dasar lelaki tidak berperikekuatan!”
“Sudah lanjut saja lah tidak usah ribut.” kata Zeta menengahi.
“Lanjut Rian, si cerewet nomor dua. Silakan.” sebut Paman John jahil.
“Ooke, siapa takut. Hai semuanya, namaku Shaquille Valerian. Ada beberapa orang yang memanggilku Val, tapi lebih banyak Rian. Umurku tujuh belas tahun, lebih muda satu bulan dibandingkan si cupu ini. Aku juga seorang wakil ketua OSIS di sekolah.”
“Rian, rasanya kamu lebih seperti menyombongkan diri daripada memperkenalkan diri.” kata Agam memotong.
“Biarlah!”
“Disini tidak akan ada yang kagum dengan lebih muda sebulan dan wakil ketua OSIS, Yan.” jawab Agam sabar.
“Aku dan Agam sudah bersahabat sejak SD kalau kalian mau tahu. Aku juga alergi terhadap udang. Pernah satu kali aku dirawat di rumah sakit hanya karena udang sialan itu. Dan aku juga sudah tahu kekuatan Agam sejak SD dulu. Karena kami suka bercerita bersama. Tidak seperti dua anak cewe ini yang tidak pernah bercerita. Aku rasa sudah cukup aku bercerita.” cerita Rian panjang.
“Sudah selesai memakiku?” tanya Mera kesal.
“Oiya, aku hidup dengan nenekku. Kedua orang tuaku pergi entah kemana. Tapi aku tahu mereka masih hidup, hanya tidak pernah memperhatikanku saja. Jadii, yap sudah.” jawab Rian kepada Mera. Ia menatap Mera dengan mata ambernya.
Malam ini semakin lengang. Menyisakan satu dua burung dan serangga yang masih terbangun.
“Semoga orang tuamu cepat kembali ya.” kata Paman sedih.
“Baiklah aku selanjutnya. Namaku Zetana Zunaira. Kalian memanggilku Zeta, tapi keluargaku memanggilku Ira. Umurku enam belas tahun. Aku tinggal bersama ayah dan kakak laki-laki ku. Ibuku pergi meninggalkan kami sejak melahirkanku.”
“Pergi kemana?” tanya Mera memotong tak sabaran.
“Ke surga, jauh bukan.” jawabnya sambil tersenyum.
“Sorry.” ucap Mera sambil meringis.
“Tidak apa, kulanjutkan ya. Aku memiliki kekuatan kegelapan. Entahlah aku tidak tahu namanya.” katanya.
“Bisa kau perlihatkan kekuatan itu?” tanya Paman John. Zeta mengangguk.
Dia memejamkan matanya lalu semakin menundukkan kepalanya. Rambut panjang sepunggungnya mulai menutupi wajahnya. Lalu entah dari mana kegelapan dari arah belakang seperti menelan cahaya api. Semakin mendekati api unggun ditengah kami. Kemudian matanya membuka, warna hijau matanya menyala. Seketika sekitar kami gelap gulita. Aku bahkan tidak bisa melihat tanganku sendiri. Ini terjadi dalam radius dua ratus meter. Aku melihat keatas, ternyata gelap itu menutup cahaya langit malam. Zeta kemudian mengedipkan matanya. Menyadarkan dirinya sendiri.
Kami tidak pernah tahu dibalik gadis cantik, anggun, baik hati, lugu, dan ceria yang sesuai dengan namanya itu memiliki kekuatan yang mengagumkan.
“Keren sekali.” kataku sambil bertepuk tangan. Diikuti yang lainnya, mereka juga terkagum dengan kekuatan yang Zeta miliki.
“Astaga, kukira karena kamu ikut kelas memasak kekuatanmu itu adalah meracik, ternyata lebih hebat dari yang kukira.” ucap Mera yang masih terus bertepuk tangan.
“Itu bukan kekuatan kegelapan Zeta, tapi bayangan. Kekuatan itu hanya sedikit orang yang memilikinya. Kamu beruntung sekali.” kata Paman John bangga.
“Terimakasih paman.”
“Baiklah tinggal dua tersisa bukan, siapa lebih dulu?” tawar paman pada kami berdua.
“Sepertinya aku lebih dulu.” kataku. Kupikir Agam tidak akan mau kalau aku memintanya lebih dulu jadilah aku mengajukan diri. Agam dan yang lainnya mengangguk.
“Namaku Elana Tiara. Banyak sekali panggilan untukku. Elana, Ela, El, Ara, Ra, Tiara, dan lainnya. Umurku enam belas tahun sama seperti Zeta. Hanya berbeda dua minggu lamanya. Aku alergi dingin. Mie ayam adalah makanan favoritku. Lalu untuk kekuatan sepertinya kalian semua sudah tahu. Angin adalah kekuatanku.” aku berhenti bercerita.
“Tunjukkanlah Ra.” kata Paman John.
“Kalian mau melihatnya?” tanyaku ragu pada mereka.
"Ya!" ucap Rian semangat.
"Ayolah Ra, aku ingin lihat." lanjutnya.
Aku mengangguk, lalu menggerakkan tangan kananku. Memutar membuat angin. Lalu diatas tanah mulai terlihat ada putaran kecil angin. Aku terus menggerakkan tanganku, memperbesar pusaran angin. Kalian tahu, seperti angin tornado, puting beliung, tapi kali ini dengan ukuran lebih kecil. Lalu saat putaran angin itu setinggi tanganku, aku menghentikan putaran tanganku. Lalu menangkatnya, membuatnya berputar diatas telapak tanganku, lalu mendorongnya pelan, membuatnya memutari api unggun. Seperti memperkenalkan putaran angin itu pada teman lainnya.
Tapi tiba-tiba saja putaran angin itu menjadi tak terkendali. Ia memutari api unggun semakin kencang. Aku panik. Paman John dan yang lainnya berdiri dari tempat duduk mereka, mundur.
“Hentikan putaran angin itu Ra!” teriak Paman John.
“Tidak bisa.” kataku panik yang terus mencoba menghentikan putaran angin itu. Tanganku gemetar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.