webnovel

Bab 5

Jam lima pagi. Aku sudah bangun. Semua barang sudah kupersiapkan. Aku hanya membawa satu tas ransel, dengan dua botol minum besar disamping kanan kirinya. Mengenakan kaos biru navy berlengan pendek yang dirapikan ke dalam celana kain longgar berwarna coklat tua. Lalu mengenakan jaket yang juga berwarna coklat berlengan tiga perempat.

Aku sedang mengikat rambut ketika ayah membuka pintu kamar. Ku hentikan gerakan tangan mengikat rambut untuk berbalik melihat ayah di pintu. Dia tersenyum. Lalu masuk ke kamarku. Dia berjalan dan berhenti tepat di samping kiriku. Lalu tersenyum kembali. Senyumnya tulus. Sangat tulus.

Ayah merendahkan tubuhnya, berlutut di depanku, senyum masih terlihat di wajahnya.

"Kau sudah besar ya sekarang. Terkadang ayah tidak menyangka gadis kecil yang dulu selalu senang bermain di taman kini sudah menjadi seorang gadis." ucap ayah sambil menatapku. Tatapannya terasa lebih lembut dari biasanya.

"Kini kau tidak akan merengek lagi tentang minta dibelikan gulali, kan? Mungkin besok kau akan merengek tentang diijinkan memiliki seorang kekasih." lanjutnya dengan tawa diakhir yang membuatku semakin geli dengan kalimatnya tentang kekasih.

"Ayahh, berhentilah bicara hal yang menggelikan." aku akhirnya berucap.

"Ayah ini kenapa datang kemari dan berbicara hal yang aneh? Kalau ayah khawatir, itu tidak perlu. Aku akan baik saja, lagipula ini hanya perjalanan lomba, bukan suatu hal yang membahayakan." ucapku menenangkan. Kupikir sebelumnya aku juga pernah mengikuti lomba dan keluargaku biasa saja. Ya memang senang, tapi lebih bersemangat. Bukan seperti sedih dan khawatir seperti ini. Dia kemudian memelukku.

“Apapun katamu, intinya berhati-hatilah kamu disana nak. Jaga dirimu baik-baik.”

Katanya lirih. Dia mengatakannya dengan sangat lembut behkan terdengar bergetar. Aku membalas pelukannya dengan sangat erat sambil mengangguk.

"Aku akan jaga diri baik-baik, ayah tidak perlu khawatir."

Aku tahu kata "menyelamatkan dunia" akan menjadi sesuatu yang sangat berat. Tapi ayah juga tidak perlu merasakan tanggung jawab ini. Aku tidak mau membuat keluargaku merasakan tanggung jawab yang sama denganku. Apalagi ayah dan ibu. Rasanya mereka sudah memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada ini.

“Ayah tahu kamu akan menyelamatkan dunia ini. Ayah tahu kamu akan pergi untuk waktu yang lama. Ayah tahu kamu harus melakukannya, Ra. Ayah tahu. Maka jagalah dirimu baik-baik dimanapun nanti kamu berada. Kami disini akan selalu berdoa untuk keselamatanmu.” kata ayah dengan lirih dan suaranya yang semakin bergetar sembari terus memelukku dengan erat.

“Juga teman-teman ya, yah!” tambahku dengan tersenyum.

Ayah melepaskan pelukannya lalu mengangguk padaku sambil tersenyum.

“Juga teman-teman.” katanya dengan senyum yang kali ini dengan air mata yang menetes.

"Sudah yah, jangan menangis. Ayah tidak akan terlihat keren didepan ibu kalau menangis seperti ini." aku mengulurkan tangan, mengusap air matanya yang mengalir. Ia kembali tersenyum, air matanya pun dihapus olehnya. Rasanya baru kali ini aku melihat ayah banyak tersenyum tapi terasa menyakitkan. Dia kemudian mengacak rambutku lalu berdiri.

“Sudah ayo bersiap, saparan, jangan sampai ibumu tahu ayah menghambatmu untuk sarapan. Kalau dia tahu pasti dia akan terus mengomel hingga siang nanti.”

Ia lalu tertawa saat mengatakan tentang ibu. Begitupun aku.

“Ayah tahu darimana tentang aku akan menyelamatkan sesuatu?” tanyaku penasaran.

“Tentu saja ayah tahu.” jawabnya sambil tersenyum. Lebih tepatnya senyuman dengan menampakkan gigi putihnya.

"Lalu katamu tadi kalau ayah menangis, ayah tidak akan terlihat keren didepan ibu, bagaimana kalau didepanmu?" tanya ayah tepat sebelum keluar dari kamar.

"Yaa, kalaupun ayah menangis tersedu-sedu hingga mata ayah sembab dan ingus yang membuat ayah terlihat seperti anak kecil, menurutku ayah masih tetap terlihat keren."

“Kau pintar sekali menggombal. Sudah ayo kita keluar. Pasti teman lain sudah menunggumu di sekolah bukan? Ibu juga pasti sudah menunggu.” ucapnya kemudian sambil membawa tas ransel biru gelapku.

“Ibu, aku pamit dulu. Ibu baik-baik dirumah, jaga kesehatan juga loh.” kataku sambil menyalami dan memeluknya erat. Dia tersenyum lalu menjawab mengiyakan.

Aku berjalan keluar rumah menuju ke sekolah. Tadinya aku bersikeras untuk berangkat seperti biasanya, menggunakan bis sekolah. Tapi kakakku juga bersikeras untuk mengantarku ke sekolah. Ditambah ayah dan ibu juga memaksa agar aku mau diantarnya. Akhirnya aku mengiyakan. Aku diantar oleh kakakku ke sekolah.

“Apapun yang akan kamu lakukan, hati-hati. Aku tidak bisa menjagamu disana seperti aku menjagamu disini. Dan jangan buat tim mu kalah karena ulahmu.” ceramah kakakku sesampainya kami di depan sekolah.

“Memangnya kau disini menjagaku? Lagipula kalau tidak ada aku, maka tim ku baru akan kalah.” jawabku meledek.

Dan dia hanya menatapku kesal. Padahal yang meledek dan mengataiku duluan, ya dia ini.

"Yasudah kalau itu katamu. Suatu saat, kau pasti akan berterimakasih padaku karena sudah sering kutolong." jawabnya dengan ketus. aku yang mendengarnya hanya mengangguk-anggukan kepala mengiyakan agar dia cepat diam.

Aku menyalaminya lalu memeluknya dan berjalan menyebrang untuk sampai di gerbang sekolah. Melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam sekolah dan sebelum dia pergi pulang ke rumah kembali.

Pukul 8 pagi. Semua siswa sekolah telah memulai aktifitas belajar mereka sejak satu jam yang lalu. Aku datang bersamaan dengan Agam yang turun dari angkutan kota. Dia terlihat rapi, mengenakan kaos berwarna cerah dengan celana kain yang berwarna gelap. Rambutnya tersisir rapi. Mata coklatnya menawan. Ia membawa satu tas rangsel hijau penuh dengan persediaannya.

“Hai Agam. Pagi,”

Aku menyapanya dengan semangat. Ia menghampiriku

“Pagi juga El, sepertinya kau semangat sekali pagi ini.”

“Yaa, membayangkan perjalanan menyelamatkan dunia ini seperti menyenangkan saja bagiku.” jawabku sambil tertawa pelan.

Lalu kami berjalan beriringan menuju ruangan Pak Joko, tempat markas elit berada. Sepanjang jalan menuju ruangan Pak Joko, sekolah terlihat sunyi. Semua siswa berada di kelas masing-masing. Beberapa ada yang melihat kami lalu mengabaikan, beberapa yang lain terus memperhatikan hingga ditegur guru yang sedang mengajar.

Sesampainya kami disana ternyata anak lain sudah siap. Mera, Zeta, dan Rian sudah ada di sana. Tetapi sepertinya terjadi sesuatu pada Rian. Ia terlalu banyak membawa barang, jadi harus disortir ulang agar bawaannya hanya menjadi satu tas rangsel saja. Zeta sudah duduk di depan perapian yang menyala sambil menyesap kopi hangat miliknya. Ia mengenakan kaos kuning dengan celana putih dan jaket yang juga berwarna putih. Lalu mera sedang memainkan gawainya di sofa itu. Ia mengenakan kaos merah dengan celana gelap dan jaket berwarna abu. Sedangkan Rian yang sedang bersingut membereskan ulang barangnya, ia mengenakan baju hijau tua dengan celana gelap. Aku meletakkan tasku di dekat sofa bundar itu. Lalu menghempaskan badanku ke sofa empuk yang hangat.

“Dimana Pak Joko dan Paman John, Ta?” tanyaku pada Zeta yang terus menikmati kopinya.

“Di dalam sana.”

Jawab Zeta menunjuk pada ruangan Pak Joko tanpa membalikkan badannya dari arah perapian. Mungkin mereka sedang berbincang serius. Agam sudah sedari tadi meletakkan tasnya dan ikut membantu Rian membereskan barangnya. Lalu sisa barang yang tidak dibawanya ia taruh di dalam kamar. Sepuluh menit berselang, kopi yang diminum Zeta sepertinya telah tandas, bersamaan dengan keluarnya Pak Joko dan Paman John dari dalam ruangan.

“Baiklah, kalian sudah siap rupanya. Sebelum kita memulai perjalanan ini, harus kuberi tahu kalian sesuatu terlebih dahulu, kemarilah.”

Paman John berdiri di dekat meja panjang, meminta kami yang sedang duduk di sofa untuk merapat ke tempatnya berada.

“Pertama harus kujelaskan bahwa perjalanan ini akan memakan waktu yang lama. Kedua dalam perjalanan ini kalian harus melatih kemampuan kalian. Dan yang terakhir tolong lepas lensa kontak kalian dan tinggalkan handphone.”

“Bagaimana maksudnya paman?” tanya Mera yang kaget dengan pernyataan yang diucapkan Paman John.

“Apanya yang bagaimana?” Jawab Paman dengan tanya.

“Maksud dari lepas lensa kontak dan tinggalkan hp itu, apa maksudnya?”

Paman John terkekeh mendengar pertanyaan Mera. Kami hanya diam melihatnya tertawa.

“Kalian ini masih saja bisa berbohong. Apa kalian tidak tahu mata kalian yang tidak berwarna coklat itu adalah hal wajar di kerajaan para pemilik kekuatan. Tapi itu terserah kalian, mau melepas lensa kontak itu atau tidak, yang perlu kalian ingat mungkin saja dalam dua tiga hari kedepan mata kalian akan rusak jika tetap menggunakan lensa kontak itu.”

“Dan Handphone, aku tidak mau mempertaruhkan nyawa dengan membiarkan mereka melacakku dengan ponsel yang kubawa kan. Itu salah satu hal traumatis di hidupku selain banyak hal lainnya.”

Jawab Paman John yang masih tetap terkekeh.

“Tapi Pak Joko dan paman, warna mata kalian—"

“Ini warna mata kami yang sebenarnya.” Jawab Paman John memotong kalimat Rian. Sontak Mera yang mendengar jawaban itu terlonjak kaget. Entah kaget akan hal apa karena terlalu banyak fakta mengejutkan.

Kami akhirnya melepas lensa kontak kami yang sebelumnya kami pikir akan membantu kami untuk terlihat normal dimata umum.

Lihat saja setelah kami melepas lensa kontak, kami saling mengagumi warna mata satu sama lain. Mera dengan warna mata hazel nya, Zeta dengan warna mata hijau nya, Rian dengan mata amber nya, bahkan Agam yang kukira warna matanya coklat itu memiliki warna mata biru.

“Astaga, Ela jadi selama kita berteman kurang lebih tiga tahun ini kita masih saling menyimpan rahasia kita masing-masing La! Bodoh sekali aku masih berteman denganmu. Lihat saja, warna matamu benar-benar cantik!”

Mera bersingut-singut kepadaku sambil memukulkan tangannya ke arah jidatnya.

“Kau benar Mera, warna matanya abu-abu, cantik sekali.” tambah Zeta mendekat ke arahku.

“Terimakasih, warna mata kalian juga bagus. Aku bahkan tidak pernah menyangka warna matamu berwarna hijau Zeta, bahkan Mera dengan warna hazel cantiknya.” jawabku dengan senyum. Bagiku warna mata yang kupunya sangat aneh, tapi aku tidak pernah menyesal untuk memilikinya.

“Itu bukan abu-abu Zeta, tapi perak.” Pak Joko menyanggah. Beliau tersenyum padaku entah karena apa, tapi aku tetap membalas senyumnya.

“Lihat! Bahkan lebih bagus daripada dugaanku.” Mera menanggapi.

“Baiklah anak-anak ayo kita berangkat!” Paman John kini sudah menggendong tas ransel miliknya. Lalu berjalan menuju keluar markas. Diikuti kami yang juga menggendong tas ransel kami.

“Baiklah, sepertinya hidup tanpa ponsel kali ini tidak akan begitu mengerikan.” Ucap Rian usai meletakkan ponselnya di atas meja rapat setelah yang lain melakukannya lebih dulu.

“Kuharap begitu.” Kataku kemudian.

-*#*-

Kami keluar sekolah melewati pintu yang berada di taman. Agar siswa lainnya tidak melihat kami membolos sekolah untuk waktu yang lumayan lama.

Kini kami sudah berada di belakang sekolah. Tapi, aku tidak melihat satupun kendaraan yang terparkir disana. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, tetap tidak melihat satupun kendaraan.

“Baiklah, kami berangkat ya Joko.”

Kata Paman John yang dibalas anggukan Pak Joko. Lalu dia berjalan ke arah kanan. Kami mengikutinya setelah melambaikan tangan pada Pak Joko. Terus berjalan hingga persimpangan jalan. Kemudian berhenti untuk menyebrang jalan. Lalu kembali berjalan, ia berbelok ke arah kiri. Kami tetap mengikutinya. Belum tahu ke mana kami akan dibawanya pergi.

“Paman, sebenarnya kami akan dibawa kemana?” tanya Mera yang sepertinya sudah mulai bosan dengan kesunyian ini. Baginya kesunyian adalah hal mematikan.

“Ke kerajaan para pemilik kekuatan tentu saja.” jawabnya. Aku terus memperhatikan trotoar jalan. Di depan sana ada halte bis yang mengarah ke luar kota kami. Beberapa orang menunggu sambil duduk, beberapa saling bercerita.

“Iya kami tahu kalau itu. Maksudku Paman menaruh kendaraan paman dimana?” Tanya Mera kesal.

“Siapa yang bilang aku membawa kendaraan kemari?” jawab Paman John dengan muka datar, ia menjawab seperti tidak ada masalah sedikitpun.

“ASTAGA PAMAN JOHN!”

Mera berteriak kesal. Kami terperanjat kaget mendengar jawaban itu. Berhenti. Orang-orang disekitar memperhatikan kami. Atau lebih tepatnya memperhatikan Mera. Paman John yang terus berjalan ikut berhenti, menoleh ke arah kami.

“Kenapa kalian berhenti, ayo jalan. Kita harus menunggu bis disana.” jawabnya yang masih tanpa dosa.

“Maksudmu kami, maksudku kita, kitaa ini akan naik bis menuju kerajaan para pemilik kekuatan itu?” Tanya Rian yang juga dengan nada kesal.

“Ya, setelah itu kita akan berjalan menuju ke sana. Ayolah bis sebentar lagi akan lewat. Jika kalian tetap disini kita akan tertinggal bis, dan harus menunggu bis selanjutnya.” katanya kemudian. Dan dia hanya kembali berjalan dengan santai setelahnya.

Kami masih terkejut. Mera yang biasanya paling berisik tidak bisa berkata-kata. Kami menurutinya, berjalan dengan terheran-heran menuju ke arah halte.

Bis tidak lama kemudian pun berhenti disana.

Kami menaiki bis menuju ke luar perbatasan kota. Beberapa penumpang lain memperhatikan kami, atau mungkin mata kami yang berwarna aneh, tapi kami mengabaikannya.

“Aku tidak percaya Paman kemari dengan jalan kaki! Lalu menyeret kami menuju penderitaan yang sama. Paman tidak membawa kendaraan?! WOW hebat sekali!”

Mera yang duduk tepat di belakang Paman John masih kesal. Kami berempat hanya diam, sebal, tapi mau bagaimana lagi.

Aku menatap ke luar jendela bis. Ini akan memakan waktu 25 menit.

Suasana diluar sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang. Semua orang sudah mulai melakukan aktivitas mereka masing-masing. Beberapa ada yang sekolah, ada juga yang bekerja. Tetapi kami akan memulai aktivitas kami menyelamatkan kerajaan yang ada di bumi. Ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan.

“Diamlah Mera, kau harus menyimpan tenagamu untuk berjalan nanti.”

Jawab Paman John dengan santai. Mera semakin kesal, ia menghempaskan badannya menyandar di kursi bis. Lalu diam hingga di perbatasan kota.

“Terimakasih pak.”

Paman John menyerahkan uang kepada supir bis. Kami penumpang yang terakhir turun. Penumpang lain sudah turun sejak tadi di terminal. Bis itu pergi, kami berbalik ke arah hutan di perbatasan kota.

“Kita akan berjalan 50 kilometer baru bisa menggunakan kendaraan.” Kata Paman John tanpa berpaling dari arah hutan. Aku menatap ke arah hutan. Perjalanan ini akan dimulai. Yah walaupun tidak sekeren di film ataupun buku-buku petualangan yang menggunakan kendaraan keren lapis baja ataupun kendaraan terbang seperti helikopter ataupun pesawat pribadi, ini akan tetap menjadi perjalanan yang keren. Kuharap.

Kami mulai berjalan menuju hutan. Rimbun pohon dan semak belukar tumbuh disana. Tidak ada bekas setapak orang berjalan di dalam hutan ini. Itu berarti tidak banyak orang yang masuk ke dalam hutan ini.

Kami terus berjalan. Cahaya matahari menembus daun-daun pepohonan, menyinari tanaman yang tumbuh di tanah. Beberapa daun berguguran. Ini musin panas.

“Paman, apakah setelah kita berjalan beberapa kilometer, nanti kita akan naik bis lagi?” tanya Rian memulai percakapan.

“Tidak juga,” jawabnya singkat.

“Akan ada mobil van menunggu disana.” lanjutnya.

“Syukurlah, kupikir kita akan terus berjalan hingga kaki kami bengkak.” jawab Mera sambil bercanda. Kami tertawa.

Baru beberapa meter kami berjalan, di depan sana terlihat ada seorang kakek tua yang membawa kayu. Ia memikul ranting-ranting kayu dengan badan yang sediikit membungkuk. Kami tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan menuju dalam hutan. Tiba-tiba saja Paman John berhenti. Lalu berbalik ke arah kami yang berjalan di belakangnya.

“Untuk saat ini jangan dulu kalian pakai kekuatan kalian, sekecilpun jangan, mengerti?”

Paman John menatap kami tajam. Aku menunduk.

“Baik Paman, aku minta maaf.” jawabku.

“Apa yang kau lakukan La?” tanya Mera padaku.

“Hanya membuat sedikit kesiur angin.”

“Wah, kamu bisa membuatnya? Hebat sekali.” kagum Zeta.

“Tidak juga, itu hal yang mudah Zeta.” jawabku.

Paman John sudah kembali berjalan sejak memperingatkan kami. Ia sepertinya tahu apa yang kami lakukan dengan kekuatan kami. Bahkan kekuatan terkecil pun ia tahu itu. Membuat kesiur angin bukanlah hal yang sulit. Aku sudah sejak umur 8 tahun membuat angin itu untuk membantuku menyejukkan badan ketika cuaca sedang panas.

“Memang tadi kamu membuat kesiur angin untuk siapa, El? Karena sejak tadi aku tidak merasakan hembusan angin.” Tanya Agam yang menyejajari jalanku di barisan belakang.

“Kakek tua tadi. Ia terlihat sangat kelelahan. Aku pikir sedikit kesiur angin akan membuatnya kembali semangat mengangkat batang kayu.” jawabku lirih.

Mera dan Zeta berjalan di bagian depan, tepat di belakang Paman John si cerewet itu terus berjalan sambil sesekali berbicara dengan Zeta. Rian di belakang mereka. Ia tampak menikmati perjalanan ini, melihat kiri dan kanan bergantian, sesekali melihat ke atas. Aku tadinya berjalan di tengah, di belakang Zeta. Tapi setelah di pelototi tadi aku berjalan lebih lambat. Ingin berjalan di bagian belakang saja. Tanpa harus mendengar celotehan Mera yang terkadang menyebalkan.

“Sudah kuduga.” jawabnya singkat.

“Apa maksudmu?”

“Ya tadi kan sudah kubilang aku tidak merasakan, maksudku belum, belum merasakan hembusan angin. Jadi kupikir kamu membuat itu untuk kakek tadi.” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. Aku melihatnya, mendongak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ia coba sembunyikan, tapi kulihat hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Bahkan sangatlah baik. Aku tersenyum.

“Terimakasih.” ucapku.

“Hah, untuk apa?” tanya Agam dengan raut muka bingung. Ia menatapku sambil terus berjalan.

“Untuk semua yang perlu kuucapkan terimakasih.” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, sambil sesekali menyibak dahan pohon yang menghalangi jalan.

Lalu selama sepuluh jam kedepan kami terus berjalan. Melewati hutan, sungai, bahkan rawa. Sesekali bertemu burung, tupai, kucing, bahkan ular. Mengobrol, tertawa bergurau. Sesekali duduk istirahat di atas tanah ataupun batu. Belum ada sesuatu yang menegangkan terjadi sampai saat ini.

Setelah sepuluh jam kami berjalan, kami berada di tepi hutan, terlihat di depan sana ada sawah terhampar luas. Ujung kanan dan kirinya tak terlihat. Kini langit sudah berubah warna menjadi jingga. Lama kami berjalan dibawah dedaunan, tidak merasa bahwa langit sudah berubah warna. Angin berhembus perlahan, mengurangi rasa lelah berjalan. Rasanya segar, melihat kehijauan sejauh mata memandang. Melihat aliran air mengaliri sawah. Jernih. Jauh di tengah sawah itu terdapat saluran listrik udara atau biasa disebut SUTET.

“Akhirnyaa, beberapa meter lagi kita sampai.” ucap Paman John bersemangat.

Lalu dia melanjutkan jalannya. Aku berdiri diam di pinggir hutan itu. Menatap sawah. Lalu Mera yang sudah jalan di depan melihatku masih berdiri di belakang.

“Ela, ayo, jangan melamun saja kamu disana!” katanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan turun menuju hamparan sawah. Menyusul yang lain.

“Aku tidak mengerti, mengapa manusia membuat sawah di tengah hutan seperti ini. Entah dimana perkampungan mereka. Meninggalkan hamparan sawah sendirian disini.” Zeta menyelutuk sambil terus berjalan.

Kini aku berada di belakang Zeta. Dua laki-laki lain tadi mempersilakanku jalan lebih dulu.

“Memangnya kenapa, lagipula sawah ini bukan anak kecil berusia lima tahun yang bisa hilang dibawa alien bukan.” Jawab Mera datar tanpa memalingkan wajahnya ke belakang.

“Bukan begitu, ah sudahlah berbicara denganmu sama saja dengan berdebat.” jawab Zeta kesal.

Mera dan aku hanya tertawa. Kini tanah yang kami pijak bukan lagi tanah yang keras, bukan lagi tanah dengan daun diatasnya. Ini sawah, dengan tanah lembeknya. Sepatu kami sudah kotor sejak tadi. Celana yang kami pakai juga sudah kami naikkan lebih tinggi. Takut ikut terkena tanah. Apalagi celana Zeta yang berwarna putih.

20 menit kami berjalan akhirnya kami berada di depan SUTET itu. Paman John berhenti, menatap ke atas. Lantas berjalan lagi.

“Kenapa paman? Apakah kerajaan para pemilik kekuatan tidak ada SUTET seperti ini?” tanya Mera heran.

Aku tidak tahu apa yang ada di kepala si cerewet itu. Bertanya begitu mudah tanpa melihat situasi dan kondisi. Bahkan setelah berjalan selama sepuluh jam pun rasanya tidak mengurangi semangatnya bercerita.

“Tidak ada.” jawab Paman John santai.

“Benarkah paman?” kini Rian yang bertanya.

“Benar. Karena disana penduduk bisa menghasilkan listrik sendiri di rumah mereka. Tidak perlu repot-repot membuat bangunan untuk menyalurkan listrik seperti ini.” jawabnya. Dia kemudian berjalan mendekati pagar pengaman SUTET. Hal gila yang dilakukannya kemudian adalah memanjat pagar pengaman tiang listrik super besar ini.

“Sudahlah kalian jangan banyak tanya. Ayo!” Paman John meneriaki kami dari bawah SUTET itu. Kami pun dengan kegilaan yang sama mengikutinya, memanjat pagar itu, masuk dan berdiri di bagian bawah SUTET.