webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Lainnya
Peringkat tidak cukup
63 Chs

UF2568KM || 01

Di suatu hari yang cerah, pada saat jam istirahat terlihat siswa-siswi tengah menikmati makan siang mereka di kantin. Lalu, bagaimana rasanya jika beberapa dari mereka makan siangnya harus terganggu oleh suara percekcokan yang berasal dari dua orang yang memiliki hubungan yang spesial namun sering bertengkar hanya karena sebuah pelajaran?

"Apaan sih? Gak gitu tau, gini nih!"

"Eh itu aku udah bener ya, aku salah di mananya?!"

"Ini kok kamu jadinya positif? Ini tuh harusnya negatif."

"Masa, sih? Siniin dulu! Belum selesai juga aku. Main rebut aja!!!" Erin mengambil kembali bukunya yang Jifran ambil tadi darinya sedangkan Jifran hanya menghela napasnya pasrah.

"Yaudah, benerin dulu itungan kamu! Katanya mau ngalahin aku."

"Halah, diem kamu!"

Seorang gadis cantik yang dikenal jutek mulai nampak kesal akan tingkah mereka berdua, sehingga iapun langsung menatap tajam pada oknum yang telah berhasil membuatnya terusik. "Udah sih, berantem mulu lo berdua cuman gara-gara itu doang."

Sheril memijat pelipisnya. Belum juga pusingnya hilang setelah ulangan harian Matematika tadi, kini dia harus melihat Jifran dan Erin yang ribut karena perihal Matematika juga.

"Heem, kek gue dong gitu bodoamat sama Matematika," timpal Rein sebelum dia memasukan bakso ke mulutnya. Haris yang sedari tadi memperhatikan Rein hanya memasang wajah julidnya dan ia berkata, "Heem, bodo … amat. Bodo!"

Gadis itu mulai merasa kesal dan ia melotot tak suka pada pria yang selama ini selalu saja mencari gara-gara padanya. "Lo ngatain gue bodo, ha? Kek situ udah pinter aja!"

"Iyalah gue pinter," ucap pria itu dengan percaya dirinya seraya menyisir rambut gondrongnye ke belakang dengan jari-jari tangannya. Rein yang melihat itu hanya menatapnya tak suka.

"Gak usah kegantengan lo! Jijik gue liatnya," ketusnya.

"Ya gak usah diliat aja kalo gitu! Kok malah dibikin ribet?" Rein menggidikan bahunya tak peduli, lebih baik ia tidak menimpali apa-apa lagi karena ia tahu jika ia terus menanggapinya maka semua ini tidak akan ada selesainya.

"Halah, pinter bolos lu mah." Jian sedikit menyinggung ucapan Haris yang tadi seraya ia melemparkan sedotan ke arahnya.

"Lo jadi cees gada bela-belanya ya sama gue." Haris tak terima dan iapun melemparkan kembali sedotan itu pada oknum yang melemparkannya lebih dulu.

"Ini si Sakti, Bastian, sama Dara ke mana nih?" Tanya Jian seraya ia menatap ke setiap penjuru kantin untuk mencari temannya yang lain karena memang dari tadi mereka belum datang juga untuk bergabung dengan mereka seperti biasanya.

"Bastian sama Dara paling juga lagi di taman, kalo Sakti sih gue gak tau," jawab Rein.

"Iya gak tau, karena yang lo tau itu cuma gue."

Rein kembali memberikan tatapan sengitnya pada Haris. Demi apapun itu, pria ini memang begitu menyebalkan di mata Rein. "Apasih? Nyaut nyaut mulu lo. Cakep ye lu kek gitu!"

"Marah-marah mulu si Cantik ini. Lo lagi PMS ya, Nyet?"

"Iya gue PMS. Pengen Makan Somay. Beliin sono, gih!"

Haris menggidikan bahunya dan mengalihkan pandangannya dari Rein. "Idih, siapa gue lo nyuruh-nyuruh?"

"Gue majikan lo," jawab Rein mantap.

Haris meletakkan tangannya di samping telinga sebelah kirinya dan ia sedikit mendekatkan tubuhnya pada Rein. "Apa? Coba ngomong sekali lagi! Lo babu gue?"

"Budeg ye lu?! Kasian amat." Rein mendorong kasar tubuh Haris hingga pria itu terjungkal dari tempat duduknya. Rein yang menunjukkan kekesalannya melalui raut wajahnya, tiba-tiba ia langsung tertawa ketika ia melihat pria menyebalkan itu terjungkal hingga ia terlentang di atas lantai kantin dan menjadi pusat perhatian banyak orang. Rein merasa sangat puas dengan itu.

"Makan lo banyak ye, pentol aja belum abis udah mau somay." Haris kembali bangkit dan ia sedikit membersihkan noda debu yang menempel pada seragamnya akibat dari terjatuh tadi.

"Suka-suka gue dong."

"Ck, heem cakep ye dari tadi gue diemin malah makin berisik di sini." Sheril berdecak sebal sambil menatap sinis ke arah Rein dan Haris.

"Udah biarin aja, Yang. Bentar lagi juga mereka jadian. Mereka kan emang jomblo di sini," ucap Jian yang berada di samping Sheril. Rein yang mendengar itu langsung menatap Jian sinis.

"Hilih … cakep ye mulut lo, kurang ajar lo! Si Sakti juga jomblo, noh." Rein melakukan pembelaan karena dia tidak terima jika hanya dia dan Haris yang disebut jomblo oleh Jian.

"Apaan nih? Baru aja gue dateng udah dikatain jomblo aja."

"Nah ini nih, nongol juga lo. Habis dari mana, Bro?" Tanya Haris pada Sakti yang memang saat itu baru datang ke kantin.

"Nyebat dululah, di gudang," jawab Sakti enteng.

"Kagak ajak-ajak lo."

"Eh, Rein. Si Sakti tuh bukan jomblo, cuma dia tuh kan ceweknya banyak, jadi kita gatau dah cewek dia yang mana. Berarti yang jomblo di sini cuma lo sama Haris." Jian kembali mengungkit pembicaraan yang sempat tertunda tadi. Rein membuang napasnya kasar dan ia memberikan tatapan galaknya pada Jian yang rupanya ingin mengajak bercekcok ria juga.

"Dahlah bacot amat jadi cowok. Lo lagi! Malah diem aja," celotehnya seraya mendorong bahu Haris yang ada di samping.

"Lah, terus gue harus makan meja, gitu? Gue mah apa adanya, gue dikatain jomblo ya gak papa, kan emang kenyataannya."

"Bodo ah gue bete, bye!" Rein beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan kantin.

"Idihh … cantik lo kek gitu?!" Teriak Haris pada Rein yang berjalan menjauh untuk meninggalkan tempat itu.

• • •

Bel pulang sudah berbunyi dari 25 menit yang lalu tapi Rein belum pulang karena kakaknya belum juga datang menjemputnya. Ia menghubunginya beberapa kali pun tetap tidak diangkat oleh kakaknya, bahkan pesan darinya juga sama sekali tidak dibaca. Rein menjadi kesal akan hal itu.

"Kalo gak mau jemput, bilang bisakan? Gue udah pegel nungguin dari tadi." Rein menginjak-injakkan kakinya kesal dan ia meremas ponselnya kuat.

Karena Rein sedang berada di depan gerbang, tiba-tiba dia mendengar suara motor dari dalam menuju ke arah luar.

"Kenapa lo belum pulang?" Rein sedikit terperanjat kaget saat tiba-tiba saja ia melihat seseorang berada di sampingnya yang duduk di atas motornya.

"Hih! Ngagetin aja lo, gue kira siapa tadi. Gatau dah gue kesel, abang gue kagak jemput," jelas Rein dengan nada kesalnya.

"Ohhh." Setelah mengatakan itu Haris pun langsung kembali menghidupkan juga menjalankan motornya dan meninggalkan Rein di sana.

"Idihh … cakep ye lo kek gitu. Gak mau gitu ajakin gue bareng pulangnya? Gue kan searah sama lo. Manusia emang gitu ya, mereka cuma pengen tau masalah kita doang tapi gamau bantu," umpatnya.

Tak berselang lama dari itu, Rein melihat Haris yang balik lagi dan berhenti tepat di hadapannya. "Ngapain lo balik lagi?" Tanyanya jutek.

"Ciaelah, bilang aja kali lo mau bareng sama gue pulangnya."

"Ha?" Rein tertohok, dia bertanya dalam hatinya apa Haris mendengar umpatannya tadi?

"Mau gak? Ayo buruan naik!" Rein berpikir sejenak, memangnya ia harus menerimanya begitu saja? Gengsi! Tidak, Rein tidak bisa langsung menerimanya begitu saja walau ia sedang butuh. Ya, harga dirinya jauh lebih penting saat ini.

"Gue? Pulang sama lo? Hahah."

"Mau kagak?" Haris memberikan tatapan menyebalkannya pada Rein yang membuat gadis itu sedikit meringis dan kembali berpikir sebelum ia menjawabnya.

"Boleh sih, tapi pas turunnya ditagih, gak?" Tanya Rein dengan wajah yang tak kalah menyebalkan dari Haris.

"Lo kira gue tukang ojeg?!" Haris mulai sedikit meninggikan suaranya pada gadis itu.

"Ya bisa jadikan, lo jadi tukang ojeg?"

Haris menghela napasnya lelah. Ia jadi berpikir bodoamat jika dirinya disebut menyebalkan oleh semua orang karena ia merasa gadis ini juga sama menyebalkannya bahkan terasa lebih menyebalkan darinya. "Ya udah sih terserah mulut beracun lo aja. Mau bareng kagak?"

"Yaudah deh tapi jangan ditagih ya pas turunnya."

"Iya santai aja, paling gue anggap itu hutang."

"Halah!"

"Becanda, Sayang."

Setelah saling berceloteh panjang lebar, akhirnya Rein pun menerima ajakan dari Haris untuk pulang bersama. Rein pun naik ke motor Haris. Tapi setelah ia naik, ia heran kenapa Haris belum juga menjalankan motornya.

"Woy! Kok gak jalan?"

"Lah, lo udah naik? Kirain belum."

"Idih gak punya perasaan ye lo, gue naik aja lo kagak ngerasain." Rein sedikit memukul punggung Haris yang ada di depannya.

"Iya dah iya. Pegangan, gue mau ngebut."

"Jangan nge-BUT KAMPRET!!!" Haris menjalankan motornya dengan kecepatan penuh sehingga membuat Rein ketakutan di belakang sana.

Setelah sampai di depan rumah Rein, gadis itu langsung turun dari motor dan memukul keras punggung Haris.

"Ahk! Kok mukul, sih?" Haris mengusap-usap punggungnya yang terkena pukulan itu.

"Kalo mau mati, jangan ajak-ajak orang! Mati aja sendiri!"

Melihat Rein yang terlihat kesal, Haris hanya terkekeh tak berdosa. "Aelah modus dikitlah biar lo meluk gue kek tadi. Jarang-jarang kan gue dipeluk cewek."

"Halah! Mau mampir gak?" Haris menyentuh tengkuknya dan matanya menatap langit yang cerah hari ini.

"Enggak ah, entar ditanya-tanya sama nyokap lo. Rein ini pacar kamu? Aduh gantengnya, gitu."

"E eleh, cakep ye kek gitu. Mana mungkin nyokap gue ngomong kek gitu. Dia paling juga ngomong gini, loh Rein, kamu bawa gembel dari mana? Gitu."

"Mana ada gembel cakep plus ganteng kek gue.

"Ya ada lah, lo buktinya."

"Mana ada gembel pakek motor sport kek gini." Haris menepuk-nepuk motor hitam yang tengah ia tunggangi itu.

"Halah, motor hasil give away aja bangga," cibir Rein.

"Enak aja lo kalo ngomong. Dahlah pusing gue mau pulang, bye."

"Yaudah sana!"

Setelah Haris pergi, Rein pun memasuki rumahnya dan melihat ibunya sedang membaca majalah. "Dianterin siapa kamu? Ganteng banget anak itu. Itu pacar kamu?"

"Idih Mamih … bukanlah."

"Oh iya, kakak gak jemput karena dia tadi pagi pergi sama teman-temannya ke Bandung." Rein memutar bola matanya malas, pantas saja ia tak datang menjemputnya tadi.

"Pantes aja, Mih. Ya udah Rein mandi dulu ya, gerah."

"Iya, Sayang."

• • •

Saat Rein sedang mengeringkan rambut, tiba-tiba ada notif di handphonenya yang ternyata itu adalah pesan dari Sheril. Dengan segera Rein pun membalasnya setelah membaca pesannya.

Sheril

Sheril: Malam ini kita kumpul

di rumah gue

Rein: Sip, ntar gue ke sana

Sheril: Abang sepupu gue ke Bandung.

Abang lo pergi juga gak?

Rein: Iya dia pergi juga ke Bandung

Sheril: Terus nanti lo ke sini sama siapa?

Rein: Taxi ajalah, gampang gue mah

Sheril: Oke deh, awas aja gak dateng.

Rein: Iya gue dateng kok

•To Be Continued•