webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 02

Rein sedikit merapikan pakaiannya di depan cermin dan ia menyemprotkan parfumnya sebagai sentuhan terakhir. Ya, Rein akan pergi ke rumah Sheril malam ini. Setelah semuanya dirasa beres, Rein langsung turun dari kamarnya dan ia melihat ibunya tengah meminum teh di ruang tamu.

"Mih, Rein pergi dulu ya," pamitnya. Nayra memperhatikan putrinya itu dari atas sampai bawah sebelum ia menyahut ucapan Rein tadi.

"Loh, kamu mau ke mana?"

"Rein sama temen-temen mau main di rumah Sheril. Boleh ya, Mih?" Nayra mengangguk pelan untuk mengiyakan permintaan putrinya itu.

"Oh yaudah, tapi pulangnya jangan sampe tengah malam ya. Papih bisa marah nanti." Rein tersenyum dan ia mengangguk. "Iya Mih, gak bakal sampe tengah malam kok."

"Yaudah, hati-hati ya."

"Oke, Mamih." Rein mulai pergi meninggalkan rumahnya itu. Saat ia baru keluar dari gerbang, ia terkejut ketika melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di depan gerbang rumahnya.

"Loh, Haris?"

"Lama juga ya lo dandannya, kek bakal cantik aja." Haris menyunggingkan senyumnya sedangkan Rein mendelik tidak suka.

"Sembarangan ya lo! Ngapain lo di sini?!"

"Gue mau jemput lo lah, apa lagi?"

Rein menatap Haris heran dan ia menunjuk dirinya sendiri. Ya, Rein hanya heran saja karena tidak ada angin tidak ada hujan pria yang begitu menyebalkan baginya itu tiba-tiba saja datang untuk menjemputnya. "Jemput gue?"

"Gue disuruh Sheril buat jemput lo."

"Padahal gue bisa naik taxi. Tapi yaudah deh ayo!" Saat Rein hendak menaiki motor Haris, tiba-tiba dia menghentikan niatnya itu.

"Kenapa?" Tanya Haris.

"Jangan ngebut kaya tadi siang ah, gue takut." Haris mengangguk mengiyakan permintaan Rein. "Iya gak bakalan, Rein. Lo tenang aja."

"Janji? Awas aja kalo ngebut, gue bakal mukul kepala lo dari belakang," ancam Rein yang lagi-lagi dibalas dengan anggukan pelan oleh lawan bicaranya. Akhirnya mereka berduapun memulai perjalanan menuju rumah Sheril yang memang cukup jauh dari rumah Rein.

Setelah menghabiskan waktu beberapa lama, mereka berdua akhirnya sampai di tempat tujuan mereka. Rein merasa heran karena ia tidak melihat ada teman-temannya sama sekali. "Loh, kok sepi, sih? Motor mereka ada di depan, tapi merekanya di mana?"

"Mereka lagi di halaman belakang. Udah mending kita langsung ke sana aja, yuk!" Ajak Haris yang langsung disetujui oleh Rein.

Benar saja, ternyata mereka semua sedang bersantai di pinggir kolam ikan di sana. "Idih, gini nih malesnya gue kalo kumpul-kumpul pasti asik sendiri mereka. Kalau bukan soal solidaritas gue sih ogah ya dateng," ketus Rein ketika dia melihat mereka semua duduk dengan pasangan mereka masing-masing. Haris yang melihat Rein terlihat kesal hanya bisa tersenyum.

"IHHHH … WOY! GUE DATENG INI!!!" Teriak Rein dengan sedikit emosi yang membuat yang lainnya melihat ke arahnya.

"Rein …." Dara yang sedang duduk dengan Bastian langsung menghampiri Rein dan memeluknya. "Lama banget lo datangnya."

"Sengaja. Buat apa juga cepet-cepet dateng kalo akhirnya bakal sama jadi kamcong?"

"Aelah ada Haris noh, sama dia aja lo Rein!" Erin yang sedang duduk bersama Jifran langsung ikut menimpali ketika ia mendengar Rein berkata demikian.

"Ogah!" Gadis itu berjalan ke arah meja dan mengambil satu cupcake lalu memakannya. Mereka semuapun akhirnya merapat dan bersatu ketika melihat Rein terlihat sedikit tidak nyaman dengan suasana yang awal.

"Yaudah iya nih kita bareng-bareng, jangan ngambek dong ah, entar jeleknya nambah," goda Sheril yang langsung dihadiahi tamparan kecil terhadap tangannya  dari Rein.

"Eh jangan dipukul dong cewek gue!" Jian mengusap tangan Sheril yang tadi Rein tampar.

"E eleh, lebay banget Masnya. Oh iya, Sakti gak dateng?" Mendengar pertanyaan dari Rein, mereka semua langsung saling menatap satu sama lain seakan saling menanyakan.

"Kagak tau dah gue, gue udah ajak dia kok cuma gatau dianya mau datang apa enggak," jawab Jian pada akhirnya.

"Heem belakangan ini gue rasa Sakti kaya beda aja gitu, terus dia juga jarang kumpul bareng sama kita lagi," tambah Sheril.

Rein juga merasa seperti itu. Belakangan ini Sakti memang selalu tidak datang jika mereka ada acara kumpul-kumpul seperti ini.

"Kayanya dia ada masalah, deh. Bas, coba lo datang ke rumahnya entar buat nanyain. Sakti kan paling terbukanya sama lo." Jifran menepuk bahu Bastian yang ada di sampingnya.

"Iya, Bas. Sorry kita cuma bisa andelin lo kalau soal Sakti. Bukan apa-apa ya, jujur gue suka khawatir kalo dia berubah kaya gini." Mendengar Rein kembali berbicara, Haris langsung menatap gadis itu yang memang sangat tampak khawatir akan Sakti.

"Iya entar gue bakal ke rumah dia, kalian semua jangan khawatir, entar gue bakal ngomong sama dia. Dia kan sahabat gue juga." Mereka semua memang percaya pada Bastian karena dia memang dikenal paling dewasa dan pintar dalam memecahkan masalah.

"Eh udah-udah! Kok jadi serius gini, sih? Mending kita bakar-bakar marshmellow sekarang." Sheril bangkit dari duduknya dan mengambil marshmellow yang sudah ia sediakan sebelumnya. Jian dan Jifran membuat api unggun dan merekapun langsung duduk melingkar setelah apinya menyala.

"Ini dari tadi Haris diem mulu tumbenan banget. Biasanya juga pasti ribut sama Rein," ujar Erin heran karena dia melihat Haris dan Rein begitu damai malam ini. Tidak ada percekcokan di antara mereka berdua itu memang benar-benar harus dipertanyakan.

"Gue lagi tobat," jawab Haris enteng.

"Kalau kita berisik disuruh diem, kalau kita diem dipertanyakan. Gimana sih?" Cibir Rein sebelum ia memakan marshmellownya.

"Iya sih, tapi kalau kalian diem aja gak seru, gak ada bahan buat ketawa." Rein mendelik ke arah Erin. "Lo kira gue pelawak apa?"

• • •

Mereka semua pulang dari rumah Sheril tepat pada pukul setengah sebelas malam. Haris kembali mengantarkan Rein pulang ke rumahnya meski gadis itu sempat menolak. Atas dasar paksaan Haris dan dorongan dari teman-temannya Rein pun akhirnya mengalah.

"Thanks ya udah anterin gue."

"Iya, santai aja kali." Melihat Haris yang belum ada tanda-tanda pergerakan ingin pulang, Rein lebih memilih menunggu untuk tidak masuk terlebih dulu. Suasana hening beberapa saat sampai Haris pun kembali membuka suaranya.

"Rein." Mendengar namanya dipanggil, Rein langsung menatap Haris. "Lo suka ya sama Sakti?"

Perkataan Haris yang tadi sukses membuat Rein terdiam beberapa saat sebelum ia menyangkalnya. "H-ha? Enggaklah, gue biasa aja kok."

Haris tersenyum ringan dan ia menggelengkan kepalanya sebagai pertanda bahwa ia tidak mempercayai apa yang telah diucapkan oleh Rein. "Mulut lo emang bisa bilang enggak, tapi mata lo gak bisa bohong. Sebenernya gue mau nanya soal ini sejak lama. Lo terlihat yang paling khawatir ketika ada yang gak beres sama Sakti, soal dia yang berubah, soal dia yang gak ada kabar. Dari dulu lo seperti itu, bukan cuma sekarang. Lo cinta ya sama dia?"

"Apa, sih? Enggaklah, gue khawatir cuma sebatas sahabat doang kok gak lebih." Rein kembali menolak pernyataan dari Haris. Pria itu mengangkat bahunya tak peduli dan iapun kembali memakai helm miliknya yang sempat ia lepas tadi.

"Haris, tunggu dulu!" Rein menahan Haris yang hendak menyalakan motornya.

"Kenapa?" Tanyanya seraya menatap gadis cantik yang menahannya tersebut. Rein tidak langsung menjawabnya, ia terdiam untuk beberapa saat hingga sampai akhirnya iapun mengucapkan sesuatu yang ingin ia ucapkan pada Haris.

"Lo marah ya sama gue? Kok lo kaya beda malam ini, gue ada salah apa?"

Haris membuang napasnya kasar, ia tidak mengira jika pertanyaan itulah yang akan Rein tanyakan padanya. "Bukannya emang kita gak bisa akur ya? Kita emang sering marahan sering berantem, kok lo heran?"

"Y-ya bukan gitu, lo keliatan serius banget tau gak? Salah gue apa hari ini? Perasaan tadi kita di sekolah berantem juga bukan berantem hebat kok biasa aja."

"Lo gak ada salah."

"Lah, terus?" Tanya Rein dengan raut wajahnya yang begitu penuh dengan tanda tanya.

"Jujur gue cuma gak suka liat lo yang terlalu nunjukin kalau lo suka sama Sakti."

"Maksud lo?" Rein semakin menampakan wajah keheranannya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya mengapa tiba-tiba pria itu berkata demikian? Dan jika ia memang menyukai Sakti, ia rasa Haris bukanlah penghambat. Rein tidak perlu mendengarkan apa yang  Haris katakan tentang ketidaksukaannya. Ya, lagi pula mereka tidak memiliki hubungan yang spesial.

"Ck, udahlah gak usah dipikirin soal ini. Mending lo masuk sana! Udah malem, gue juga mau pulang." Haris menyalakan motornya dan ia langsung pergi meninggalkan Rein yang masih terdiam di sana.

"Maksudnya apa?"

Saat Rein sampai di depan pintu, dia terkejut saat tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang dari dalam. "Ihhh … Papihhhh! Kaget tau."

"Bagus ya baru pulang jam segini." Ayahnya Rein melipat kedua tangannya di dada dan ia memberikan tatapan mengintimidasinya terhadap putri kesayangannya itu.

"Inikan belum tengah malam, Pih. Rein habis main di rumah Sheril," jelas Rein

"Ya udah sana masuk kamar! Istirahat."

"Oke, Papih." Rein pun langsung berjalan menuju kamarnya. Dia mencuci muka dan mengganti pakaiannya saat dia akan pergi tidur.

"Itu bocah bener-bener ya bikin gue kepikirannya. Maksud dari gak suka itu apa? Yakali dia cemburu, ngeri banget kalo emang iya. Emangnya dia siapa?"

•To be Continued•