"Kakak, jangan menolak rezeki. Aku memberikan ini kepada kakak, karena ini bukan rezekiku saja. Kakak belum makan, 'kan? Nih, ambil punyaku. Kalau berkenan, duduk di sampingku. Kalau kakak tidak mau melepas kacamata dan topinya, tidak apa-apa, kok. Kakak nyaman seperti itu, ya?" tanya Railo. Dia menarik tangan Kanisa untuk makan bersama.
Railo tidak tahu, Kanisa sudah membasahi pipinya sedari tadi. "Railo, dengarkan. Ini adalah milikmu. Aku dan kakak di sebelah sana, sengaja memberikannya untuk kalian. Dan ini bagian Railo, ya," kata Kanisa lembut. Kanisa mengusap kepalanya pelan.
"Tapi, kakak tidak makan. Aku tidak enak menikmati makanan ini, sedangkan kakak hanya bisa melihat kamu makan saja," jawabnya yang lagi-lagi, membuat Kanisa tersentuh.
'Maaf, ya, Railo. Aku memaksamu hidup di tubuh orang dewasa. Pasti sulit, ya?' batin Kanisa.
"Asal kamu tahu, kakak sudah makan ini tadi. Kakak sudah lebih dulu habis, lho. Maaf, ya, karena tidak makan bersama. Jadi, habiskan saja milikmu," perintah Kanisa ramah.
"Be-benarkah? Jadi, aku bisa makan ini semua?" tanya Railo senang.
Railo yang terlihat selalu sendiri, dan berakhir mengalah kepada teman-temannya, mempunyai sifat yang baik bagi Kanisa.
'Mungkin ini, yang membuatku puas telah menciptakan Railo di novelku,' batinnya kembali.
***
Sedangkan kehidupan di dunia, Kanisa kedua menghabiskan waktunya seperti yang Kanisa asli lakukan. Walaupun, tidak melakukannya sempurna. Tapi, Kanisa kedua jelas-jelas berusaha sangat keras. Sampai-sampai, keluarganya tidak menyadari bahwa yang di hadapannya kini bukan Kanisa-anak mereka.
Kanisa kedua tetap melakukan apa yang dilakukan Kanisa asli. Namun, mereka memiliki sedikit perbedaan. Kanisa kedua lebih ambisius dan perfeksionis, dibandingkan Kanisa asli. Hal ini dikarenakan, Kanisa asli selalu berpikiran dirinya ingin seperti itu. Namun, Kanisa asli selalu berakhir gagal karena menuruti kemalasannya.
'Kanisa, hidup seperti sebelumnya, tidak akan memuaskan dirimu. Kamu hanya akan menyesal di kemudian hari. Selagi kamu punya waktu dan kesehatan, lakukanlah dengan maksimal. Belajar, menulis novel, membuat konten bernyanyi sampai vlog keseharian, mengenalkan indonesia dan vlog ke luar negeri. Ayo, Aku! Semangat! Demi Kanisa yang sedang berjuang menyelamatkan kehidupan Railo,' batinnya.
Ketika Kanisa asli hanya senang membaca buku Novel. Kini, Kanisa kedua berusaha membagi waktunya dengan produktif. Kanisa kedua membuat jadwal, kapan Kanisa belajar, bermain dan membaca Novel.
Kini, Kanisa kedua sedang memeluk satu buku pengembanhan diri. Hal itu diketahui Angga. Dia tiba-tiba menumpu tangannya di bahu gadis itu. "Hey, tidak ada angin, tidak ada hujan, kamu membaca buku pengembanhan diri, ya? Hebat, Kan. Semangat terus, ya. Kalau ada apa-apa, panggil aku saja," kata Angga terhadap Kanisa. Sembari meninggalkan gadis itu untuk menunjukan bola basket yang masuk sempurna. Walaupun, Kanisa kedua terus berjalan lurus.
Kanisa menyimpan buku pengembangan dirinya di tas berwarna merah muda itu. Dia pun, berjalan ke kantin, untuk memenuhi rasa lapar di perutnya.
Sial atau beruntung. Kanisa kedua bertemu lagi dengan si jenius ekstrovert itu.
"Kita bertemu lagi, ya. Wah, jodoh memang tidak kemana. Sekali mengedipkan mata, aku malah bertemu bidadari di sini. Jajan apa, sih? siomay, ya? Duduk. Aku belikan untukmu. Kecapnya lebih banyak, pedasnya sedang, 'kan?" tanya Angga memastikan. Dia memang berusaha mengetahui kesukaan dan ketidaksukaan Kanisa.
Saat Kanisa kedua duduk sambil menunggu Angga datang, Kanisa kedua melamunkan sesuatu sambil bergumam. "Benar, Kanisa. Kamu harus berhati-hati pada laki-laki. Kamu tidak boleh gampangan. Kamu harus pintar tarik ulur juga. Curiga tidak apa-apa. Dari pada harus terjatuh ke lubang dalam karena tidak hati-hati,' batinnya.
Angga menghampiri Kanisa dengan membawa dua piring Siomay keringnya. "Ini untuk Kanisa cantik. Dan ini, untuk aku jodohmu," ucapnya sembarangan.
'Jangan dibawa ke hati, Kanisa. Ingat! Semua laki-laki saja saja. Pertahankan bentengmu,' batinnya kembali.
"Terima kasih, kak Angga," jawab Kanisa kedua pura-pura.
"Oh, ya. Bagaimana kabar novelmu? Sudah sampai mana? Apakah sulit? Kalau begitu, aku akan membantumu. Sepulang sekolah pun tidak apa-apa. Aku bersedia," tawar Angga. Menyuapi satu sendok penuh ke mulutnya.
'Nah, ini trik berbahaya. Laki-laki memang selalu manis di awal. Rela mengorbankan apa saja. Tapi saat rasa penasarannya terpenuhi, dia akan meninggalkan Kanisa kapanpun dia mau. Jangan mau Kanisa. Jangan bodoh!' ungkap Kanisa di lubuk hatinya.
"Tidak perlu, kak. Saya bisa menanganinya sendiri. Belum selesai karena saya harus membagi waktu saya sekarang, kak," jawabnya berbohong. Jelas-jelas Kanisa asli sedang menjalankan misinya.
"Oh, kalau begitu, kamu mau makan sesuatu untuk makan di malam hari? Aku kirimkan beberapa buah-buahan saja, ya. Harus di makan, ya" kata Angga cepat. "Kemudian, hari ini pulang denganku, ya. Ada yang mau kak Rangga bicarakan," ajak Angga.
'Biasanya Kanisa menolak. Tapi karena kak Rangga memanggil, otomatis dia sengaja ada yang dibicarakan padaku. Baiklah, jika penting harus diterima ajakannya,' batin Kanisa kedua yang berisik.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Angga sudah siap di depan kelas Kanisa. Dan gadis itu masih mengemas bukunya seperti ana kerajaan. Menyimpan sebuah buku saja, dia tidak berani memasukkannya kasar.
Angga menyadari hal itu. "Kanisa lebih disiplin sekarang, ya. Aku baru melihat dia mengemas bukunya dengan penuh kelembutan. Apakah karena buku pengembangan diri yang dia baca, ya?" tanya Angga terheran-heran.
Kanisa kedua datang. "Bicara dengan siapa?" tanya Kanisa. Merasa aneh pada orang disebelahnya itu.
"Tidak ada. Ayo, kita ke rumahku dulu, ya. Sepertinya, ka Rangga bicara hal penting padamu," jawabnya cepat.
Kanisa kedua dan Angga pun menaiki motor Angga. Dari perjalanan, Kanisa kedua bertabrakan angin terus menerus. Rambutnya bahkan membuatnya geli walaupun, sudah memakai pelindung kepala.
Mereka pun sampai. Kanisa melihat seorang wanita cantik dengan gaun motif bunga selutut, sedang menyirami beberapa bunga kesayangannya.
Kanisa kedua menghampiri. "Halo, tante. Biar saya bantu," kata Kanisa kedua, yang tiba-tiba membantu menyiram bunga kesayangan ibunya Angga itu.
"Hey, kok, kamu malah melipir, sih," kata Angga yang tiba-tiba menarik gadis itu pelan. "Ma, ka Rangga ada di rumah, 'kan? Tadi dia menyuruhku untuk membuat Kanisa datang. Katanya, ada sesuatu yang penting. Dia salah satu penulis lho, ma," kata Angga yang menyombong pada bakat Kanisa.
"Ada, dia baru saja pulang," jawab ibunya Angga. Dia sibuk menyirami harta berharganya.
"Baiklah, yuk, Kanisa," ajak Angga masuk ke dalam rumah mewah tersebut.
"Tante, saya masuk, ya," izinnya sembari tangannya yang masih ditarik oleh Angga.
"Iya, masuk saja. Jangan sungkan, ya. Anggap saja ini rumah sendiri," jawabnya dengan penuh kasih sayang.
Kanisa kedua dan Angga pun memasuki rumah tersebut, belum sampai duduk, Kanisa kedua malah di panggil oleh Rangga.
"Kanisa, sudah datang, ya. Ayo ikuti saya ke ruang kerja. Ada yang harus saya bicarakan. Ini penting," ajaknya dengan wajah serius.
"Aku juga mau ikut, ya," kata Angga senang sambil mengambil beberapa camilan.
"Angga, ini privasi. Kamu jangan ikut kami, ya," pinta Rangga yang memberikan pandangan menyeramkan kearahnya.
"Ba-baiklah," kata Angga yang duduk kembali sambil memeluk keripik kentang miliknya.
"Ayo, Kanisa," ajaknya.
Mereka sudah berada di ruang kerja Rangga.
"Ada apa, kak?" tanya Kanisa kedua penasaran.
"Kanisa sedang dalam bahaya!" jawab Rangga dengan nafas terengah.