webnovel

Dipaksa Dewasa

SUDAH dua hari, dia bertemu dan berbincang banyak hal dengan Elo. Entah menyenangkan atau tidak. Tapi, Kanisa, merasa keberadaannya sangat menguntungkan. Walaupun sifatnya yang menyebalkan. 

Kini, mereka berdua menyusuri jalanan sejuk. Beberapa kendaraan masih melaju. "Elo, kenapa, ya? Aku kalau jalan-jalan seperti ini, rasanya nyaman sekali. Aku merasa pernah ke tempat ini sebelumnya. Jangan-jangan reinkarnasi, ya? Atau dejavu?" tanya Kanisa. Memasukan tangannya menyilang. 

Elo menjawab, dengan wajah dingin seperti biasanya. Jika dia tertawa, dia tidak pernah lama. "Mana ada kamu reinkarnasi? Tidak ada yang mau. Aku pikir, kamu memang orang baru yang terlahir," jawabnya santai sembari berjalan dengan ketukan yang sama dengan gadis di sampingnya. 

"Oh, ya, kamu percaya, tidak? Kalau manusia merasa lelah dengan hidupnya, berarti dia pernah hidup beberapa kali di masa lalu," kata Kanisa yang membuat Elo terheran-heran. 

"Tidak percaya. Kalau kamu lelah pun, hati dan otakmu itu bertolak belakang. Hati kamu selalu bilang cape sama hidup. Tapi otakmu, kadang-kadang bilang kamu cukup lebay dengan hidup. Kalau aku begitu, sih," paparnya. 

"Maksudnya?" tanya Kanisa. Dia sengaja menghadap laki-laki itu. 

"Begini, aku juga sama, kok, Kanisa. Aku sering lelah terhadap hidup ini. Aku tidak mengerti. Apakah aku manusia sepertimu atau bukan? Aku bahkan belum mengerti, di mana ujung hidup aku. Kalau manusia asli seperti kamu, sudah jelas akan masuk surga atau neraka, 'kan? Tapi coba kamu pikir, bagaimana dengan hidupku? Bagaimana kami mengakhiri hidup? Bagaimana kami berakhir?" kata Elo yang mulai menghentikan jalannya. 

"Menurutku, kamu akan ikut mati jika penulis sepertiku sudah Tuhan ambil. Bagaimana? Logis, bukan?" jawab Kanisa percaya diri. Kanisa menjawab asal. Dia juga cukup tersentak kaget. Dia tidak tahu jika Elo bisa memikirkan hal itu. "Ayolah, Elo. Jangan memikirkan hal itu. Menurutku, jika Penulis berusaha untuk tidak menulis kembali, tokoh dalam novel akan berakhir sama. Dan kamu pun, akan reinkarnasi di novel lain, Elo," sambungnya. 

Mereka terdiam lama. 

"Ah, kenapa suasananya jadi canggung begini. Sudahlah, aku antar kamu ke Panti itu," kata Elo yang menyembunyikan air matanya, saat Kanisa lengah. 

Elo yang pemarah dan sangar, tetap saja dia tidak bisa menahan air matanya lebih dari ini. 

Kanisa menoleh. "Hm? Tapi, aku belum pesan makanan untuk anak-anak," jawabnya. 

"Aku sudah memesan nasi kotak. Kita tinggal ambil saja. Oh, ya. Mobilku juga ada di sana. Kamu tunggu saja, ya," pinta Elo yang dibalas dengan anggukan Kanisa. 

Elo pun berjalan ke rumah makan tersebut, guna mengambil beberapa makanan pesanannya. Lalu, masukan satu persatu nasi tersebut yang dibantu pelayan di sana. Dia pun mulai mengajak Kanisa untuk naik. 

"Kanisa, naik," suruhnya. 

Kanisa pun menuruti permintaannya. Dan tidak butuh waktu lama untuk Elo melajukan mobilnya di tempat tujuan. 

Saat Kanisa turun dari mobil, dia disodori kacamata dan topi hitam oleh Elo. "Pakai ini, Railo ada di sini, Kanisa," katanya. Elo berjalan lebih dulu dan diikuti Kanisa dibelakang. 

Sebelum berinteraksi dengan anak-anak Panti, Kanisa dan Elo, mengunjungi pemilik Panti ini. Berbincang-bincang secukupnya, dengan niat memberikan beberapa kotak nasi untuk anak-anak yatim tersebut. 

"Saya sangat berterima kasih, nak Kanisa dan nak Elo. Kami cukup sulit untuk memberi mereka makan akhir-akhir ini. Karena suami saya mengidap kanker. Terima kasih, atas kebaikannya. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, ya," kata Bu Dewi-pemilik panti asuhan. 

Bu Dewi tak berhenti menahan air matanya, hingga bergenang tak bebas. Dia terharu ada yang mau membantu anak-anak. 

"Sama-sama, bu. Oh, ya, bisakah saya menemui anak-anak? Saya tidak pandai mengajak anak-anak bermain. Tapi, izinkan saya untuk melihat mereka bermain," kata Kanisa terhadap Bu Dewi. 

Bu Dewi membalasnya dengan senyuman awal. "Boleh. Boleh sekali. Biar saya antar, ya," ucap Bu Dewi mengantar dua orang dewasa tersebut. 

Sebelum mengijinkan Kanisa dan Elo melihat mereka, Bu Dewi memberikan makan terlebih dahulu. "Anak-anak, berkumpul di sini, ya. Kita akan makan di tempat terbuka. Jangan lupa cuci tangan dulu, dan habiskan makanannya, ya," perintah Bu Dewi kepada mereka. 

Anak-anak kecil yang belum tahu dunia sebenarnya itu, terlihat berbondong-bondong mencuci tangannya. Suara tawa yang memenuhi taman tersebut, membuat Elo menyimpulkan senyumnya. 

Sedangkan Kanisa, sedari tadi dia hanya fokus melihat anak yang memakai kaus biru. Dia adalah Railo. Anak yang dia temukan di minimarket. Dan dia juga yang berusaha melindunginya malam itu. 

Hal itu kembali teringat di pikiran Kanisa. Bagaikan burung gagak yang mematuk kepalanya untuk memaksa ingat. Sakit sekali. 

Elo yang menyadari Kanisa, dia pun menyentuh lengan Kanisa dengan sikunya pelan. "Hey, lihat anak itu, ya? Temani saja," kata Elo sambil menampakan gigi manisnya. 

Kanisa tidak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan anak-anak yang mengambil bagian makan Railo. Dan anak itu, tidak melawannya sama sekali. 

"Ah, jika dilihat langsung, aku tampak iba dan kesal kepada Railo. Bagaimana dia tidak melawan? Ck, harusnya aku yang disalahi," kata Kanisa. Dia tiba-tiba menghampiri Railo dari dekat. Dengan pakaian serba tertutupnya. 

"Hey, siapa namamu?" tanya Kanisa mendekati anak itu. Dengan tangan yang menumpu pagar pelangi tersebut. 

"Kakak siapa? Kenapa memakai pakaian tebal saat panas begini? Itu akan membuatmu berkeringat, lepaskan saja. Aku tidak suka melihatnya," kata Railo terus terang. 

Kanisa hampir menggelindingkan bola matanya. Dia tersentak kaget dengan ucapannya. "Hey, dari mana kamu tahu kata-kata kasar seperti itu? Kamu tidak boleh mengatakannya lagi," jawab Kanisa dengan amarah yang dipendam. 

"Hm? Kenapa tidak boleh? Aku tidak merasa kasar juga, 'kan?" jawabnya menyebalkan. Seakan-akan, Railo tidak mau dinasehati. 

"Namamu siapa? Anak manis?" tanya Kanisa pura-pura sabar. 

"Railo. Kalau sudah tahu mau apa?" tanya Railo memutar bola matanya cepat.  

"Mau mengutukmu. Hey, Railo. Setelah ini, aku akan membawamu ke sungai dan aku kutuk kamu jadi ikan lele. Kamu takut, 'kan?" tanya Kanisa yang sudah tau dengan jawaban takut anak itu. 

"Berhenti berbicara, ya. Kalau kamu tidak berhenti juga, kapan aku makannya?" kata Railo cepat. Dia memakan nasi dengan daging bakar dan beberapa sayuran, tampak lahap.

Bahkan, Kamisa yang ingin memarahi anak itu, mengurungkan niatnya. Dia lebih memilih diam dan terus memperhatikan Railo yang memakan nasi damai. Tidak seperti anak lain yang sibuk bercanda dengan temannya. 

Tak disangka, melihat Kanisa terus memperhatikannya, Railo menyobek tutup bungkus nasi itu. Lalu, memberi nasi dan lauk yang lebih untuk Kanisa. "Ini, untuk kakak. Kakak sama, ya? Jarang makan. 

Kanisa menerimanya dengan mata tanpa berkedip dan dada yang berdebar sakit. "Railo, kenapa kamu tidak makan sendiri saja? Kenapa harus memberi setengahnya untukku? Tidak. Kamu bahkan makan lebih sedikit. Ini, ambil kembali," kata Kanisa tegas. 

Railo terdiam lama, sebelum menjawabnya. Tangannya menolak makanan itu dengan senyum penuh arti. 

'Ck, aku tidak bisa melihat ini. Aku cengeng,' batin Kanisa.