webnovel

Bunda tau apa yang kamu pikirkan

“Haah.” Rama meringis begitu Kara mendesah setelah menelan minumannya, pekerjaan Samudra sudah selesai setengahnya. Anak-anak itu sedang beristirahat sembari menunggu waktu makan malam.

“Enak?” tanya Rama penasaran, karena Kara benar-benar tidak menyisakan satu tetes sirop pun dalam gelasnya.

“Enak! Kara boleh nambah om?”

“Kara.. kamu batuk nanti kalau kebanyakan minum air es.” Anak perempuan itu merengut tapi tidak menolak begitu abangnya mengulurkan air dalam kemasan untuk anak itu minum. Rama memperhatikan interaksi ke duanya dengan senyum, entah bagaimana Kara dan Samudra mengingatkannya pada hubungannya dengan Jenna dulu.

“Permisi tuan, nyonya Maira bilang makan malamnya sudah siap.” Pelan tiba-tiba saja datang.

“Oh iya.” Rama bergegas bangun dari duduknya, kemudian menatap anak-anak yang sepertinya sudah tidak sabar mengisi perut perut mereka.

“Kita kedalem yuk, makan malemnya udah siap.”

Anak-anak itu mengangguk, Kara bahkan sangat bersemangat. Kepalanya berputar memperhatikan sekeliling ruangan dengan mata berbinar, Rama bahkan bisa mendengar beberapa kali Kara mengatakan ‘wah’.

“Kara, duduk sini yuk.” Maira langsung menuntun Kara duduk di sampingnya.

“Kenalan dulu sama ayahnya om beruang ya.” Pandu memang sudah mendapat laporan soal dua anak jalanan yang hari ini berkunjung ke rumahnya, tapi ia tidak bisa menahan rasa terkejutnya begitu melihat anak bernama Kara.

“Kara mangilnya apa, oma?” Maira memang sudah memberitahu Kara dan Sam untuk memanggilnya oma.

“Ayahnya om beruang boleh di panggil opa.” Kara mengangguk.

“Selamat malam opa.” Pandu mengerjap sebelum menyambut anak perempuan itu dengan senyum lebar.

“Aduh sopannya, kalau yang di belakangnya itu siapa?”

“Ini abang, namanya Samudra opa.” Kara menjawab.

“Malam opa, saya Samudra.” Pandu menganggukan kepala, senang dengan kesantunan anak-anak di hadapannya.

“Ayo duduk, kita mulai makannya.”

Anak laki-laki itu lebih dulu membantu Kara duduk di kursinya, Samudra juga memastikan Kara cukup nyaman dan aman baru mengurus dirinya sendiri. Rama memperhatikan itu semua dengan senyum terkulum, begitu juga Pandu dan Maira.

“Nah, Kara mau makan yang mana dulu?” Mata bulat Kara memperhatikan berbagai makanan yang ada di meja makan, anak itu menatap Samudra lebih dulu seolah meminta pendapat.

“Makan supnya dulu, kamu suka sup pangsit kan.”

“Suka!” Maira memberikan tanda kepada pelayan untuk menyiapkan makanan yang di inginkan oleh Kara.

“Abang jangan makan sambel ya, nanti ibuk marah.” Kara tiba-tiba saja mengingatkan.

“Kamu yang jangan makan sambel, enggak kuat pedes kok suka ikut-ikutan nyoba sambel.” Samudra tetap mengambil sambal untuk di letakan di piringnya.

“Kara mirip dong kayak om beruang, enggak bisa makan sambel.”

“Berarti om beruang juga mirip sama ayah Kara, ibuk bilang Kara mirip ayah soalnya enggak bisa makan pedes.” Rama mendadak penasara.

“Ayah Kara kerja apa?” Kara mengetuk-ngetuk dagunya, seolah berfikir.

“Enggak tau.” Jawab anak itu pada akhirnya, sayangnya jawaban itu justru semakin menarik rasa penasaran dalam diri Rama.

“Eng, kerja masang-masang bata gitu?”

“Kara enggak tau om.” Rama sudah akan kembali bertanya ketika Samudra berdehem, anak laki-laki itu meletakan alat makan untuk menatap Rama.

“Kara enggak pernah ketemu sama ayahnya.” Penjelasan Samudra justru membuat Rama menatap Kara dengan tatapan tidak terbaca.

“Tapi enggak apa-apa, Kara enggak sedih. Soalya Kara punya bunda, sama abang.”

Anak perempuan itu melanjutkan makan malamnya tanpa menyadari suasana meja makan yang berubah, ketika pangsit di supnya habis Maira bergegas menawarkan menu makanan yang lain agar bocah polos itu tidak menyadari kebekuan di meja makan.

***

“Bunda tau apa yang kamu pikirin.” Ucap Maira begitu Kara dan Samudra tidak lagi ada di rumahnya, perempuan itu menatap anaknya dengan sendu.

“Bunda juga udah liat kan, Ayah juga kaget waktu Kara masuk ke ruang makan.” Maira mengerti, Kara memang banyak mengingatkan mereka tentang Jenna saat kecil dulu.

“Rama… Kara bukan anak kamu dan Jenna, dia punya abang yang umurnya tujuh tahun.”

“Samudra bukan abangnya, Kara bilang ibuknya ngerawat anak itu dari umur lima.” Maira tetap menggelengkan kepala, ia tidak bisa begitu saja percaya apa.

“Rama…”

“Bunda.. Rama yakin, aku enggak pernah seyakin ini sebelumnya.” Rama menatap bundanya dengan tatapan nelangsa.

“Aku yakin, akhirnya aku bisa nemuin anak aku dan juga Jenna.”