webnovel

Tetangga

“Heh Kara!” langkah kaki anak perempuan itu berhenti, Kara menatap tetangganya yang melambaikan tangan agar ia mendekat.

“Kenapa mpok?”

“Gue denger minggu lalu emak lu ngomel, kenapa?” Wajah Kara langsung cemberut, anak perempuan itu seolah kembali di ingatkan dengan kejadian menyebalkan satu minggu yang lalu.

“Ibuk ngomel soalnya Kara sama Abang dateng ke rumah om beruang, padahal ibuk udah bilang enggak usah.”

“Siape tuh om beruang?” Kara memutar bola matanya seolah perempuan seusia ibunya itu benar-benar ketinggalan berita.

“Om beruang itu mpok, om yang banyak uang! Rumahnya bagus, makanan di rumahnya enak-enak. Abang di kasih sepuluh lembar uang merah waktu nyemir di rumahnya seminggu yang lalu.” mata tetangganya langsung membulat.

“Lu nemu di mane orang begitu?!”

“Di jalan pertokoan baru itu, kan Kara sama Abang nawarin majalah sama nyemir di sana.” Si tetangga mengangguk.

“Lu kan dapet banyak duit, kok emak lu marah Kar?” kali ini Kara menghela napas, gayanya benar-benar serupa orang dewasa.

“Ibuk marah, soalnya katanya mana ada orang mau bayar sepuluh lembar uang merah cuma karena abang semir sepuluh sepatu. Ibuk bilang, bisa jadi om beruang itu jahat.” Pipi anak itu mengembung.

“Padahal Kara udah bilang lo mpok ke ibuk kalau om beruangnya baik, Kara sama abang di kasih makan terus masih di bungkusin juga.” Si tetangga mengangguk.

“Terus sekarang lu mau kemana ini?”

“Ikut abang nyemir.” Kara menatap si tetangga dengan pandangan heran.

“Ke jalan pertokoan baru itu?”

“’Iya mpok.” Kara memperhatikan si tetangga yang juga mengangkut alat semirnya.

“Ayo.” Katanya. Kara menatap si tetangga dengan kening berkerut.

“Ck, gue juga mau nyemir di sana. Kenapa, enggak suka lu?” Anak perempuan itu menggelengkan kepala, Kara dengan cepat langsung berlari menghampiri Samudra yang sudah siap dengan sepedanya.

***

“Mpok kenapa ngikutin kita terus sih?!” Samudra lama-lama gerah karena sudah satu minggu ini tetangganya terus saja membututinya.

“Ge’er banget lu, gue emang mau kesana kok.”

“Yaudah sana!”

“Ck, awas lu ya.” Samudra sama sekali tidak takut meski tetangganya satu itu benar-benar terkenal temperamental. Samudra membentangkan kain tipis dan meminta Kara untuk duduk di sana sementara ia berkeliling mencari pelanggan.