Acara yang sudah di adakan para remaja tadi malam berjalan dengan lancar. Ternyata Geri dan Boby saling menyemangati agar melupakan peristiwa seram nya itu, mereka berdua tidak ingin membuat teman lainnya merasa aneh dan berpikir jika ada sesuatu hal yang sedang di rahasiakan.
Boby maupun Geri mengerti, Vino juga tidak ingin ada kejadian seperti itu. Mereka berdua sepakat untuk memendam rasa takutnya, Vino juga sebenarnya memiliki rasa takut itu. Namun dia harus berani, Vino di sini peran yang paling tangguh, harus dan wajib melindungi semua para temannya. Dia tidak ingin membuat semuanya kacau hanya karena ada kejadian di luar nalar.
"Stok daging di rumah lo kayaknya selalu aja penuh ya, Vin."
Lontaran dari Tama membuat Vino tersenyum simpul. "Nyokap atau bokap yang selalu beli. Mereka emang lebih suka daging di banding sayuran, paling suka ... wortel. Satu sayur itu aja yang gue selalu liat."
Mereka mengangguk. "Apa ga bosen? Gue tiap hari ama ayam aja ada bosennya, paling beli soto kalau ga ... nasi padang." celetuk Sandy mengimbuhkan.
David melemparkan kulit kacang ke pipi cowok itu. "Ye, dodol. Beda selera lah ama kita, ga nyadar apa?"
Semuanya terpingkal termasuk dengan Sandy sendiri, cowok itu walau sedang di tertawakan tetap saja ikut tertawa bersama. Vino yang dekat dengan David tertawa tanpa suara, dia sedang memakan mie ayam dengan level pedas. Walau orang tua yang begitu menyukai daging, tidak menuntut Vino juga menyukai. Dia lebih senang makan atau jajan bersama temannya di banding harus pergi ke resto dengan hidangan sama dan hanya itu saja. Vino tidak pernah merasa jijik atau ilfil, semua makanan yang berada hampir di pinggir jalan itu rasanya lebih enak dari apa yang tidak pernah Vino bayangkan selama ini.
"Tapi serius. Tadi malem itu seru banget, sih." sahut David sebelum memasukan keripik kentang ke dalam mulutnya.
Vino berhenti mengunyah sambil melirik Geri dan Boby. Dua cowok di depannya pun saling menatap intens, hingga sekarang memang mereka tidak ada bercerita apapun tentang peristiwa itu.
"Iya 'kan, Bob."
Boby sedikit gelagapan untuk menjawab, "O-oh, i-iya. Seru banget ampe perut gue hampir meledak." terakhirnya dia tertawa canggung. Boby hanya terkejut, kenapa Tama menunjuknya untuk menjawab pertanyaan itu, sih? Padahal bisa meminta pendapat pada Sandy yang menemaninya sebelum Boby dan tiga temannya datang.
"Ampe gugup gitu lo. Apa malu karena lo nahan ... kentut?"
"Hahahaha ...."
"Ga usah buka kartu juga kali." cicit Boby yang segera meminum jus jeruknya.
David melotot sampai berdiri dari duduknya, dia menunjuk satu temannya itu. "Jadi yang bau itu berasal dari lo?! ANJIR BANGKE!"
"Sabar, Dav." Vino berusaha melerai, dia takut ada keributan hanya karena masalah yang sudah berlalu.
Cowok itu mendengus kasar dan kembali duduk.
"Ye, maaf. Namanya ga sengaja, kalau berasa udah gue pergi jauh dari lo pada." Boby yang di tunjuk pun kesal, cowok itu sedikit tidak terima.
"Kapan-kapan lagi bisa 'kan, Vin?"
Cowok itu menelan ludah kasar. Maksudnya dia menjemput David lagi? Jika semisal Vino mengadakan acara yang sama dan dia harus menjemput, apa kejadian itu tidak akan terjadi lagi? Bagimana kalau lebih dari satu tangan?
"Gimana, Vin?" Sandy ikut menyertai.
Geri dan Boby mulai keringat dingin, mereka berdo'a di dalam hati agar Vino segera menolak dan tidak akan ada lagi makan-makan di rumahnya. Dua cowok itu sangat berharap lebih, Vino semoga saja paham dengan tatapan keduanya.
"Boleh."
Geri dan Boby melotot seperti kedua matanya akan keluar.
"Vin! Apaan, sih. Udah ga usah, itu cukup pertama dan terakhir aja." protes Boby dengan cepat.
Semua temannya yang merasa aneh mengernyit heran. "Lo kenapa, sih? Ga harus nyuruh dia nolak, dong. Kenapa jadi lo yang ga suka seolah tadi malem ga nikmatin?" tuntut Tama.
Boby hanya repleks. Dia terlalu berpikir kejadian itu akan kembali terulang. Boby hanya tidak ingin semuanya menjadi kacau balau hanya karena mereka akan merencanakannya lagi.
Vino yang menjadi serba salah. Dia yang berperan sebagai tuan rumah harus apa? Tidak dengan tolakan yang tiba-tiba juga bukan? Vino merasa bingung, jelas dia yang harus bertanggung jawab jika ada kesalahan atau ada sesuatu yang terjadi pada mereka semua.
"Gue pulang duluan aja." Boby yang kesal pamit segera melenggang, namun dia berhenti saat Vino memanggil.
"Jangan pernah pergi sendiri!"
Cowok itu memutar tubuhnya menatap Vino yang terlihat berdiri. "Apa? Gue ga peduli, Vin. Kalau kalian mau ngadain lagi. Sorry, kali ini gue ga bisa ikut." sambarnya tanpa menunggu ucapan dari Vino terlebih dulu.
Vino menghembuskan napasnya kasar melewati mulut, dia berucap tegas. "Kalau lo celaka ... gue yang bakal repot. Dan lagi, lo udah jadi tanggung jawab gue. Apa masih mau egois?" ucapan tegas itu masih saja tidak di gubris oleh Boby, cowok itu kembali melangkah, mendekat ke arah Vino.
"Gue celaka?" beonya, dia berdecih. "Vin. Lo ga sadar selama ini kita itu apa di mata lo?"
Vino diam, dia ingin mendengarkan kalimat apa lagi yang akan Boby keluarkan. Cowok itu membuat Vino kebingungan, memangnya dia harus menjawab apa jika bukan 'teman?'
"Bob, udah lo jangan kayak gini, dong!" David di sebelah Vino memisahkan, namun tatapam tajam dari kedua temannya tidak bisa David singkirkan.
"Apa emang? Gue kurang apa di mata lo?" Vino sedikit tersulut. Boby pasti sudah salah paham padanya, mana mungkin ada hal lain yang Vino sendiri tidak merasakan hal tersebut.
Geri yang diam merasa tidak beres kini berdiri dan melangkah menuju Boby, tangannya menepuk pundak cowok itu. "Ga kayak gini. Lo redain dulu emosi lo. Sumpah, hubungan kita ga pernah ricuh sebelumya."
Vino tidak menyesal dengan ucapannnya yang mengiyakan saja, namun dia sedikit tidak enak juga pada Boby dan Geri. Vino gelisah serta harus memilih yang mana? Vino pun berada id titik tengah yang sama-sama memikirkan perasaan semua temannya.
Vino tidak memilih siapa-siapa, dia hanya ingin bertindak adil. Tapi harus apa jika jawaban itu tidak berkenan di hati Boby?
"Oke. Gue minta maaf, Boby. Kalau selama ini gue buat lo ga nyaman, sorry. Karena itu bukan kemauan gue juga. Fine, gue ga akan mengikut sertakan siapapun yang wajib buat ikut." tegas Vino yang membuat semua temannya bergeming.
Sosok Vino yang sekarang terlihat sedikit menyeramkan, baru pertama kalinya mereka ada percekcokan ucapan. Hubungan yang selama ini terlihat tenang, damai, dan tidak ada keributan, kini mulai berada di puncak kekeruhan.
Boby mendadak lemas. Dia menghela napas dengan kedua kakinya yang lunglai, kedua lututnya kini berada di bawah. Dia tengah sadar apa yang sudah di lakukannya itu memang salah.
Vino berjongkok, dia mengusap pundak Boby dan berbisik di telinga kiri cowok itu, "Kita luruskan masalah ini ... gue yang jamin."