Nadia keheranan menatap Leon yang tiba-tiba seperti orang gelagapan. "Hei, kenapa Le?"
Leon terdiam dan memandang ke depan. Ia mendongakkan kepalanya untuk melihat ke mana arah motor yang baru saja berhenti di sebelahnya berjalan. Begitu melihat motor tersebut berbelok ke kanan dan menghilang dari pandangannya, Leon kembali bersandar pada kursinya. Ia kemudian menoleh pada Nadia. "Kayanya barusan gue liat Aslan."
Nadia segera mengernyitkan dahinya. "Aslan?"
Leon menganggukkan kepalanya. Ia menghela napas panjang dan kembali menatap ke luar jendela mobilnya. Ia memijat-mijat kepalanya sambil menggigit bibirnya.
Nadia segera mengelus-elus lengan Leon. "Sorry, gue belum sempet nyari di mana alamat tinggalnya Aslan."
"It's fine. Gue ngerti, kok. Kita masih sibuk karena banyak yang harus kita kerjain," sahut Leon.
Nadia memperhatikan sorot mata Leon yang kembali berubah sendu. Ia terus mengusap-usap lengan Leon.
Tangan Leon tiba-tiba menangkap tangan Nadia. Ia kemudian kembali menoleh pada Nadia. "I'm fine." Ia memaksakan senyumnya untuk Nadia. Leon tidak mau Nadia mengkhawatirkan dirinya. Ia kemudian meletakkan tangan Nadia di pangkuan Nadia.
Nadia hanya bisa menghela napasnya. Ia tahu Leon kembali menyimpan rapat perasaannya. Namun ia tidak bisa berbuat banyak. Jika Leon sudah mengatakan dirinya baik-baik saja, ia hanya bisa berharap bahwa itu memang perasaan yang saat ini ia rasakan.
----
Aslan langsung berlari ke arah bilik kecil yang berada di pintu keluar parkir sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di kawasan Kelapa Gading. Rekannya geleng-geleng kepala begitu melihat Aslan akhirnya muncul. Hampir saja dirinya harus menjalani dua shift sekaligus jika Aslan tidak datang.
"Kemana aja, lu? Tumben telat," ujar rekannya itu sambil merapikan barang-barangnya.
"Sorry, gue tadi abis dari makam," jawab Aslan.
Rekannya membelalakkan mata pada Aslan. "Siapa yang meninggal?"
"Ngga ada yang meninggal. Gue cuma abis bayar biaya perawatan sama sekalian nyekar ke makam Bokap," terang Aslan.
"Oh," gumam rekannya. "Biasanya yang suka ngurus gituan ibu-ibu."
"Nyokap gue ngga tau ada di mana," sahut Aslan sekenanya. "Ya udah, sana balik."
Rekannya manggut-manggut. Ia lalu menepuk lengan Aslan. "Gue balik,ya," ujar rekannya sembari berjalan pergi meninggalkan bilik kecil tersebut.
Aslan segera menganggukkan kepalanya. Ia pun segera duduk di kursi yang ada di dalam bilik tersebut. Ia kemudian meraih kaca kecil yang biasa disimpan rekannya di balik komputer dan merapikan sedikit rambutnya yang berantakan. Aslan juga merapikan kerah seragamnya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil muncul dari dan berjalan ke arahnya. Mobil sedan BMW itu berhenti tepat di sebelah bilik kecil tempat Aslan berjaga. Aslan mengulurkan tangannya begitu Sang Pengendara mobil mengeluarkan tiket parkir bersama dengan uang tunai. Tidak sampai lima menit, Aslan memberikan uang kembalian kepada Sang Pengendara sembari menekan tombol untuk membuka pintu palang parkir. Mobil itu pun berlalu dari hadapannya dan Aslan kembali bersiaga menunggu mobil-mobil lain yang hendak keluar dari pusat perbelanjaan tersebut.
----
"Kayanya muka penjaga loket yang tadi ngga asing ya, Pak?" tanya Karina pada Supir pribadinya.
"Iya, mirip banget sama Pak Leon," jawab Supir pribadi Karina.
"Iya, saya sampe kaget," sahut Karina. "Eh, iya, ngomongin soal Leon, dia udah sampe di kantornya Bang Ruhut belum, ya?" Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya dan segera menghubungi Nadia. "Hi, Nad. Kalian udah sampai?" tanya Karina begitu Nadia menjawab telponnya.
"Kita baru aja sampe," jawab Nadia.
"Oh, gitu," sahut Karina. "Maaf, ya. Saya agak telat. Saya mampir sebentar beli makanan di MKG."
Nadia terdengar menghela napasnya. "Oh, okay. Nanti saya kasih tahu Leon."
"Okay, makasih, ya." Karina kemudian memutuskan sambungan telponnya dengan Nadia. Ia kembali beralih pada Supir pribadinya. "Cepet, Pak. Leon udah sampai sana. Saya ngga mau dijudesin sama dia."
"Siap, Mbak." Supir pribadinya mengerti dan segera menambah kecepatan mobil yang sedang ia kendarai.
----
Leon dan Nadia sedang berbincang-bincang dengan Pengacara yang mengurus semua dokumen terkait perjanjian kerjasama kedua perusahaan ketika Karina masuk sambil membawa sekotak kue tart. Ia meletakkan kue tart tersebut di tengah meja dan menyapa Leon serta Pengacara perusahaan mereka.
"Wah, memangnya ada perayaan apa sampai kamu bawa kue segala?" tanya Ruhut. Dia adalah Kepala tim kuasa hukum perusahaan milik keluarga Widjaya.
Ia bisa mendirikan firma hukumnya sendiri tidak lain adalah karena kerjasamanya dengan keluarga Widjaya. Dan ia sudah mengenal anggota keluarga Widjaya termasuk Karina selayaknya seorang kerabat dekat. Ruhut mengetahui semua seluk beluk keluarga Widjaya dari yang nampak di permukaan sampai rahasia yang hanya diketahui pihak keluarga dan Pengacara.
"Iseng aja. Abang suka kue ini, kan?" ujar Karina.
Ruhut mengintip kue tart yang dibawakan Karina. Ia manggut-manggut sembari tersenyum pada Karina. "Nanti kita makan kue ini sama-sama, ya," ujarnya sembari melirik pada Leon.
Leon hanya mengangguk pelan sambil memaksakan sedikit senyumnya. "Langsung aja ke inti dari pertemuan kita hari ini."
Ruhut melirik pada Karina, Karina mengangguk pelan dan mereka mulai membahas isi perjanjian kerjasama antara perusahaan telekomunikasi milik keluarga Leon dan keluarga Karina. Nadia sebagai Asisten pribadi sekaligus Sekretaris Leon memperhatikan pembahasan tersebut dan sesekali mencatat poin penting untuk laporannya pada Leon. Catatan yang diberikan Nadia nantinya yang akan Leon teruskan untuk didiskusikan lebih lanjut bersama para petinggi perusahaan mereka di New York termasuk Ayah tirinya.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, sampai tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Menyadari hari yang sudah semakin malam, Leon dan Karina sepakat melanjutkan pembicaraan mereka besok di kantor. Kelompok itu pun akhirnya membubarkan diri.
"Eh, iya, Gue mau tanya sesuatu sama lu," ujar Karina ketika ia dan Leon sedang berjalan bersama menuju lobi kantor Ruhut.
"Mau tanya apa?" sahut Leon.
"Do you have twins?"
Pertanyaan Karina serta merta membuat Leon terdiam dan menghentikan langkahnya. Nadia pun ikut menghentikan langkahnya karena terkejut dengan pertanyaan Karina yang tiba-tiba.
"Soalnya tadi pas keluar MKG, gue lihat orang yang mirip banget sama lu," lanjut Karina.
"Mbak Karina ada-ada aja," sela Nadia. "There is only one Leon in this world," canda Nadia sambil menunjuk ke arah Leon. Nadia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan terkait pertanyaan yang tadi ditanyakan oleh Karina.
Karina tertawa pelan mendengar ucapan Nadia. "Iya juga sih. Pastinya cuma ada satu orang yang juteknya minta ampun kaya Leon. Kalau yang tadi saya lihat, mukanya lebih ramah dibanding yang ini."
Leon mendengus kesal mendengar ucapan Karina. "Kalian ngomongin apaan, sih," ujar Leon dingin. Ia kemudian melanjutkan langkahnya dan keluar dari gedung kantor Ruhut dan segera berjalan menuju mobilnya.
"Bener, kan," bisik Nadia.
Karina mengangguk. "Apa dia begitu ke semua cewek?"
"Hmmm, kalo ke saya, sih, ngga terlalu. Tapi, kalo moodnya lagi ngga enak, ya, saya juga dijutekin," jawab Nadia.
Keduanya berjalan bersama sampai melewati pintu masuk gedung kantor Ruhut. "Hati-hati, Mbak Karina," ujar Nadia ketika ia dan Karina sudah tiba di luar gedung.
"Hati-hati juga, Nad. Kayanya malam ini kamu harus jinakin singa yang lagi badmood," goda Nadia.
Nadia tertawa pelan menghadapi godaan Karina. "Saya udah sediain banyak beer di kulkas. Harusnya itu mempan buat jinakin dia."
Karina mengangguk sembari tertawa pelan. "Yuk." Ia melambaikan tangannya pada Nadia dan berjalan ke arah mobilnya. Nadia balas melambaikan tangannya lalu ia berjalan menuju mobilnya yang akan ia naiki. Leon pasti sudah menunggunya di sana.
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it.
Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^