Nadia masuk ke dalam ruang kerja Leon sambil membawakan makan siang untuknya. "Makan dulu," ujarnya sembari meletakkan kotak makanan berisi nasi padang dengan lauk rendang dan perkedel yang ia bawa di atas meja Leon.
Leon hanya mengangguk pelan. Matanya masih menatap ke layar monitor komputer yang ada di hadapannya.
"Hei," seru Nadia.
"Hmmm," gumam Leon.
"Look at me," ujar Nadia.
Leon segera mengalihkan perhatian dari layar monitornya dan menatap Nadia. "What?"
"Eat your lunch," jawab Nadia.
Leon mengangguk pelan. "Iya, Nadia. Sebentar lagi, gue masih baca file yang baru dikirimin sama Karina."
"Kalo sejam lagi gue balik, itu makanan belum kemakan, gue abisin lu," ancam Nadia.
"Hmmm," sahut Leon.
Nadia kemudian memberikan isyarat mata pada Leon sembari berjalan pergi meninggalkan ruangannya. Leon menghela napas panjang lalu kembali mengalihkan pandangannya pada layar monitornya.
----
Aslan berjalan di tengah terik matahari di antara makam-makam yang berjejer rapi di sebuah kompleks pemakaman umum. Setelah berjalan sampai ke unit pemakaman yang ada di bagian belakang kompleks pemakaman umum tersebut, Aslan berjalan menuju sebuah pohon kamboja besar yang ada di sudut unit tersebut. Makam ayahnya berada tepat di bawah pohon tersebut.
Ia memutuskan untuk mampir menengok makam ayahnya setelah ia membayar biaya perawatan makam tersebut. Ia harus membayarkan biaya tersebut agar makam ayahnya tidak berubah menjadi rata dengan tanah.
Aslan berhenti dan menatap makam bertuliskan nama Mario Pangestu. Ia kemudian berjongkok di sebelah makam tersebut. Ia menghela napas sembari memegangi nisan bertuliskan nama ayahnya sambil menundukkan kepalanya dan berdoa.
"Leon ada di sini," ujarnya ketika ia selesai berdoa. "Papa pasti kangen sama dia." Aslan berdecak pelan. "Aku juga kangen sama dia. Rasanya udah lama banget aku ngga ketemu dia. Meskipun setiap kali aku ngaca, aku keinget terus sama Leon. Dia sepertinya hidup dengan baik bersama Mama."
Aslan kembali menghela napasnya. Ia menggigit bibirnya. "Aku ngga tau harus gimana kalo aku ketemua lagi sama dia. Rasanya aku malu berhadapan sama dia. Tahu dia hidup dengan baik, rasanya udah cukup buat aku. Dia ngga perlu tahu kehidupan seperti apa yang aku jalanin di sini."
Aslan terdiam sejenak sembari menatap batu nisan ayahnya. Ia kemudian meraih bunga yang ia beli di penjual bunga yang ada di depan pintu masuk pemakaman umum dan menaburkannya di atas makam ayahnya. Setelah menaburkan potongan bunga mawar yang dicampur dengan potongan daun pandan itu, ia menyirami makam ayahnya dengan air bunga mawar yang juga ia beli dari penjual tersebut.
Selesai merapikan botol dan plastik bekas potongan bunga tersebut, Aslan kembali berdiri. "Nanti, aku pasti akan bawa Leon menengok Papa. Aku janji," ujarnya. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan makam ayahnya.
----
Nadia memenuhi ucapannya dengan masuk ke dalam ruang kerja Leon, tepat satu jam setelah ia keluar dari ruangan tersebut. Leon sedang menyantap makan siang yang ia belikan untuknya. Nadia hanya menghela napas panjang melihat Leon dan sedang menatapnya dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
"I told you, to eat your lunch before I came back to your room," sergah Nadia.
"Yang penting, kan, gue tetap makan," sahut Leon.
Nadia berdiri di hadapan Leon sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Cepet abisin. Kita harus berangkat ke kantor Pengacara."
"Wait," ujar Leon. Ia segera mempercepat makannya sementara duduk mengawasinya.
"Pelan-pelan," sela Nadia.
Leon mengangkat wajahnya dari makanan yang sedang ia makan. "Tadi katanya suruh cepetan."
"Ya, tapi makannya pelan-pelan. Gue ngga mau lu masuk UGD gara-gara keselek rendang."
"Hmmm," gumam Leon. Ia kembali melanjutkan menyantap nasi padang yang dibelikan Nadia dan mengunyahnya secara perlahan.
Begitu Leon selesai menyantap makan siangnya, Nadia segera membantunya untuk merapikan kembali penampilannya sebelum mereka pergi ke kantor Pengacara untuk menanda tangani beberapa berkas terkait kerjasama perusahaannya dengan perusahaan milik keluarga Widjaya.
Nadia menepuk bahu Leon sambil menatapnya. "Ayo berangkat. Mungkin Karina juga udah di jalan mau ke sana."
"Oke, Bos," sahut Leon. Ia pun segera melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya dengan Nadia mengikuti di belakangnya.
----
Aslan melirik jam tangan yang ia gunakan ketika ia sedang menyantap makan siangnya yang terlambat setelah kunjungannya ke makam ayahnya. Matanya membelalak begitu ia melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ia pun segera mempercepat makannya.
"Pelan, pelan, Lan," seru Ibu Juleha yang menjaga warung makan tempat Aslan makan.
"Gue masuk jam empat," sahut Aslan dengan mulut penuh makanan.
Ibu Juleha hanya geleng-geleng kepala melihat Aslan yang makan dengan tergesa-gesa. Aslan mengunyah makanannya dengan cepat sampai ia menandaskan seluruh makanan yang ada di piringnya. Setelah itu, segera meneguk habis es teh manisnya dan berdiri dari tempat duduknya.
Setelah membayar uang makannya kepada Ibu Juleha, ia segera bergegas pergi meninggalkan warung makan tersebut.
"Lu mau gue sisain ayam ngga?" teriak Ibu Juleha begitu Aslan tiba di bibir pintu warung makan tersebut.
"Sisain dua potong," sahut Aslan tanpa memalingkan wajahnya dan terus berjalan keluar dari warung makan tempat Ibu Juleha bekerja.
Aslan segera mengenakan helmnya dan naik ke atas motornya. Ia kemudian segera menyalakan mesin motornya dan segera memacunya pergi meninggalkan warung makan tersebut. Ia harus tiba di tempat kerjanya sebelum jam empat sore.
----
"Oh, my God. Jalanan Jakarta ngga lebih dibanding New York," ujar Leon sambil memandangi kemacetan di luar jendela mobilnya.
"Jakarta itu sebenarnya masih lebih kecil dibanding New York. Tapi, karena macet, jarak yang tadinya dekat jadi jauh," sahut Nadia.
Supir yang mengantar mereka tersenyum setelah mendengar ucapan Nadia. "Betul itu, Mbak. Saya bertahun-tahun jadi Supir, yang bikin perjalanan terasa jauh, itu cuma gara-gara macet."
"Gimana rasanya tiap hari nyetir di Jakarta, Pak?" tanya Nadia.
"Ya, ngga gimana-gimana. Dinikmatin aja," sahut Supir yang mengantar mereka. "Mungkin nanti saya bisa pindah jadi Supir di New York," canda supirnya.
Nadia tertawa pelan menanggapi ucapan Supir yang sudah menemani mereka seminggu terakhir. Ia kemudian melirik pada Leon yang sedang menyandarkan kepalanya sambil melihat ke luar jendela mobil. "Muka lu kaya orang abis suntik botox," sela Nadia.
Leon segera melirik kesal ke arah Nadia. Ia kemudian kembali mengarahkan perhatiannya ke jalanan yang ada di luar sana. "Masih berapa lama lagi?"
"Kalau setelah perempatan itu lancar, paling ngga sampai tiga puluh menit," jawab supirnya.
Leon mendengus pasrah. Wajahnya semakin terlihat kesal begitu ada sebuah motor trail dengan suara knalpot yang memekakkan telinga berhenti tepat di sebelah mobil yang ia naiki. Semakin kesal karena kepulan asap yang dikeluarkan dari knalpot tersebut serupa dengan asap yang dikeluarkan dari alat yang digunakan Petugas pengasapan.
"Kenapa orang bisa pakai motor yang bunyi knalpotnya kaya gitu, sih?" gerutu Leon. Ia menatap pengendara motor yang berhenti di sebelahnya itu. Pengendara itu tiba-tiba menoleh. Leon bisa melihat mata pengendara itu yang sedang memandang ke arah mobilnya.
Bagai tersengat listrik, Leon terdiam begitu melihat sepasang mata tersebut. Ia hendak membuka kaca mobilnya dan memanggil Pengendara motor tersebut, namun Pengendara itu sudah lebih dahulu pergi karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau.
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it.
Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^