Kereta jurusan Yogyakarta berjalan tenang di antara persawahan. Di dalam kereta itu, seorang laki-laki berambut Hitam pekat berumur dua puluh satu tahun tertidur dengan mulut setengah terbuka. Suara dentum-dentum keras terdengar dari headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah melingkari lehernya.
Seorang anak perempuan berumur sekitar empat tahun menatap wajah laki-laki di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit, mendekati laki-laki di depannya. Dia memerhatikan iPod yang ada di tangan laki-laki itu, lalu menjulurkan tangan, bermaksud memegangnya.
"Jangan," kata laki-laki itu membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun mata laki-laki itu masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.
Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya, penasaran. Tiba-tiba, laki-laki itu bergerak gelisah.
"Jangan! Lepaskan aku! JANGAN!" teriak laki-laki itu, sambil membuka mata onix-nya yang sejak tadi tertutup.
Si anak perempuan tadi terkelunjak dan akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" seru ibu dari anak itu kaget. Dia terbangun karena teriakan keras laki-laki. "Ada apa, Ayra?"
Anak perempuan bernama Ayra itu langsung menangis, terlebih karena kaget. Ibunya segera menenangkannya, lalu melirik tajam ke arah laki-laki bermata hitam yg memiliki mata tajam seperti elang tadi.
Rava, si laki-laki tadi, masih terlalu kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian tahun mengganggunya. Rava menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu menatap si ibu yang juga masih menatapnya tajam.
"Oh, Maaf," kata Rava setelah melihat Ayra yang masih terisak meski dia tak tahu persis apa kesalahannya.
Si ibu tidak begitu peduli dengan permintaan maaf Rava, bahkan membuang muka. Rava yang merasa bersalah, hanya bisa menggigit bibir sambil membetulkan posisi duduknya. Setelah memastikan si ibu tidak menatapnya lagi, Rava membuang pandangannya ke luar jendela. Kereta masih melintasi persawahan.
Rava menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan kirinya erat.
Rava sudah sampai di Yogyakarta, kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi kota tempat tinggalnya. Hari itu, temannya memberi tahu tempat tinggal seseorang yang sedang dicarinya.
Rava berjalan keluar stasiun, lalu menatap ke sekeliling. Di depannya jalanan ramai dipenuhi orang yang berlalu lalang, dia sama sekali tak tahu menahu mengenai kota ini.
Nekat. Itulah modalnya datang ke kota ini. Rava tak bisa mundur lagi. Dia sudah mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia tidak mau kehilangannya lagi.
Rava menghela napas, memanggul ranselnya, dan mulai berjalan untuk mencari bus kota.
Rava menatap rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kos. Dia sudah selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya untuk naik bus nomor empat. Sekarang, dia berada di kawasan kampus Universitas Yogyakarta dan berniat untuk mencari kos.
Rava tidak memiliki banyak uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya untuk sebuah kos bertingkat yang mewah. Dia akan mencari kos dengan harga sewa semurah-murahnya. Tidak perlu bagus, dia toh, tidak akan lama berada di kota ini. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, Rava akan segera pergi.
Setelah dua jam mencari, Rava berhenti untuk makan di sebuah warung makan. Agar hemat, Rava hanya memesan makanan yang harganya paling murah, yang penting bisa untuk mengisi perutnya yang sejak tadi pagi belum diisi.
Rava bertanya pada si penjual di mana kos laki-laki yang murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yang ada di gang sebelah. Rava pun mengikuti sarannya.
Dan, di sinilah dia berada, di depan sebuah bangunan reot yang sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk rubuh. Bangunan itu bertingkat dua, tampak menyeramkan karena hampir semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga tampak seperti akan jatuh.
"Ada nih, yang tinggal di sini?" Rava bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya masuk.
"OH, MAU KOS? BOLEH-BOLEH!" sahut ibu kos membuat Rava merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari kerusakan telinga. Ibu itu terlalu histeris. Rava merasa curiga, jangan-jangan kos itu tidak berpenghuni.
"Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Rava lagi.
"MASUK HARI INI JUGA? OH, BOLEH!" sahut ibu yang belakangan ini diketahui bernama Alena itu lagi, matanya sekarang berbinar-binar. Bahkan nyaris berkaca-kaca.
"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Rava lagi, lalu dengan segera menutup telinganya sebagai antisipasi.
Rava menatap simpati. Alena menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Rava erat. Rava tak sempat menghindar. "Ng... siapa tadi?"
"Rava... Rava Erlangga tapi bisa di panggil Rava," sahut Rava..
"Mm, Rava... kos saya ini udah hampir nggak ada penghuninya... Tinggal dua orang di bawah dan satu orang di atas... Kamu liat sendiri, kan, kondisi kos ini... Nggak ada yang mau kos di sini...," ratap Alena.
"Terus kenap-..."
"Terus, saya juga nggak punya duit untuk renovasi...," potong Alena. "Jadi, satu per satu semua pada pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada nggak mampu bayar kos-kosan yang lain. Saya kasihan sama mereka..."
Rava mengangguk-angguk dengan pandangan kosong. Dia seolah mengangguk hanya untuk formalitas. Alena sekarang sudah terisak.
"Tapi! Kamu tiba-tiba datang menyelamatkan saya! Terimakasih! Saya benar-benar berterimakasih banyak...," sahutnya, membuat Rava tersenyum kaku.
"Kalau gitu... boleh saya tau di mana kamar saya?" tanya Rava setelah memberi uang kepada Alena. Ternyata biayanya amat sangat murah, jauh di luar perkiraan Rava.
"Oh! Kamar kamu di lantai dua, nggak apa-apa, ya?" kata Alena lagi.
"Nggak apa-apa. Tapi, emangnya kalau lantai dua kenapa?" tanya Rava, curiga.
"Ng... kamar yang dibawah, kecuali yang di tempatin, semua rusak, cuma sisa satu kamar di atas yang bisa dipakai," kata Alena.
"oh... Nggak apa-apa."
"Tapi, masalahnya, kamar yang di atas itu... Ng... gimana yah... kamar cewek," kata Alena yang sukses membuat Rava cengo.
"Hah? Jadi, ini kos cewek?" tanya Rava yang merasa capek karena sudah mengobrol panjang lebar.
"Bukan, ini kos campuran. Yang laki-laki di bawah, yang cewek di atas. Tapi berhubung yang di bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di atas," kata Alena sambil nyengir bersalah. "Tapi, nggak apa-apa, kok. Si cewek ini anak baik!"
Rava melongo. Sebenarnya, yang harus merasa terancam itu siapa?
"Bu Alena, saya bukannya nggak mau, tapi apa cewek itu mau?" tanya Rava lagi.
"Oh, kamu tenang aja! Dia pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakan saya!" sahut Alena yang kemudian kembali membuat Rava melongo. Orang macam apa yang membiarkan orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?
"Tapi..."
"Sudah, sekarang kamu naik aja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas! kalau kamu butuh apa-apa, tinggal datang ke sini aja, ya?" kata Alena tak sabar.
Rava mengangguk, lalu bangkit sambil melirik Alena yang sedang sibuk menghitung uang. Dia menghela napas, memanggul ranselnya, lalu bergerak keluar rumah ibu kos.
"Duhh! aku kenapa, sih?"
Sebuah teriakan cempreng terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh. Penghuninya, Ananda, sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambut sebahunya dengan frustasi.
Tak lama, ia bangun dan menatap komputer yang ada di depannya. Di layar komputer itu, terdapat tulisan-tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Ananda memelototi tulisan itu, berharap dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk meneruskannya.
"Oh, inspirasi! Datanglah!" serunya lagi sambil mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit-langit seperti sedang menjampi-jampi orang.
Ananda masih menatap layar komputernya, tapi tak ada inspirasi apa pun yang datang. Perempuan itu menghela napas, meraih gelas di sebelahnya, lalu meminum isinya: kopi. Cairan hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya.
Ananda melirik papan target berhiaskan gambar chappy kesukaannya yang ada di sebelah komputer itu. Di sana tertulis: Menjadi Penulis Best-seller. Ananda mendesah. Jangankan best-seller, jadi penulis saja belum tentu.
"AAAARRGGGHHHH! SEBEEEELLL!" seru Ananda membuat Rava yang sedang lewat di depan kamarnya terkelunjak kaget.
"Ada apaan, sih?" gumam Rava. Dia bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sudah penuh ditempeli stiker.
Rava menengadah untuk melihat nomor kamar itu, sebelas. Ya, benar, ini kamarnya. Rava melirik kamar di sebelahnya. Pintu itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Ananda Claudia Ravelyn.
Rava memasukkan kunci di tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu kamar sebelah sudah terbuka duluan.
Ananda keluar kamar sambil menguap lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil untuk meregangkan ototnya, belum menyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang menatapnya heran. Ananda meregangkan otot leher dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, dan saat itulah, dia bengong mendapati seorang laki-laki asing sedang menatapnya.
Ananda mengerjapkan matanya sesaat, lalu berkata, "Eh..kau siapa?"
"Yang mau kos di sini," jawab Rava pendek.
"Oh," ujar Ananda sambil mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam. Rava memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke kamarnya. Sesaat kemudian, Ananda tersentak. "HEEH? KAU MAU KOS DI SINI?"
Ananda segera mendatangi Rava, tetapi pintu kamar Rava terbanting tepat saat Ananda hendak bicara. Ananda bengong, ia menggedor-gedor pintu itu. Tak ada jawaban.
Ananda memandang pintu itu geram, lalu segera tahu siapa biang keladi dari semua ini. Dia langsung berderap ke bawah.
"Tante!" teriak Ananda setelah sampai di rumah Tantenya yang tak lain tak bukan adalah Alena, si ibu kos. "Kenapa ada laki-laki yang ngekos di sebelah kamarku?"
"Ya, nggak apa-apa, kan, Ananda" kata Alena santai sambil menghitung uang yang sudah dihitungnya untuk kesekian kali. "Anaknya baik, kok."
"Tante tau dari mana kalau dia anak baik? Emangnya dia kenalan Tante?"
"Bukan," jawab Alena. Sikapnya yang masih sesantai sebelumnya, membuat Ananda melongo.
"Bukan? Terus kenapa Tante bolehin dia ngekos di sebelahku?"
"Ananda ku, kamu tau sendiri, di bawah kamarnya udah nggak ada yang bisa di pake. Tinggal kamar yang ada di sebelah kamu," kata Alena lagi.
"Iya, tapi itu, kan, khusus buat cewek! Yang tadi, kan, laki-laki!" Ananda masih berusaha memprotes.
"Dia bayar lunas, Ananda " jawab Alena yang semakin membuat Ananda menganga.
"Tante!" teriak Ananda lagi hingga membuat perhatian Tantenya itu teralihkan dari uang.
"Ananda, kamu tau, kan, Tante lagi kesulitan uang. Anak-anak kos udah nggak ada yang bayar. Sekarang, ada orang yang mau bayar, yah, Tante nggak bisa nolak," jelas Alena yang membuat Ananda tak jadi protes lagi.
"Iya, sih, tapi... apa laki-laki itu bisa dipercaya? kalau ntar dia ngapa-ngapain aku, gimana?" tanya Ananda, intonasi suaranya sudah menurun.
"Kalau dia ngapa-ngapain kamu, ya malah enak, kan, orangnya cakep ini," ujar Alena santai. Tentu saja Ananda melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. kalau ada apa-apa, kamu tinggal teriak aja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Alena cepat-cepat melanjutkan kalimatnya.
Ananda menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.
Ananda naik ke kamar dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Ananda merasa ngeri harus bersebelahan dengan laki-laki asing, tetapi berhubung Ananda tinggal di sini secara gratis, dia tak bisa protes. Memang benar, Tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Ananda harus maklum kalau ia menerima siapa saja yang membayar untuk kos seobrok ini.
Ananda sampai di lantai dua, menatap pintu sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara dua puluh kamar, kenapa harus kamar sebelahnya yang masih bisa dipakai?
Ananda berdecak sebal, dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di sebelah kamarnya itu. Menjadi penulis best-seller, misalnya.
Baru saja ia hendak masuk, pintu di sebelahnya terbuka. Rava keluar dengan handuk tersampir di bahunya. Ananda dan Rava saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepada satu sama lain.
"hei..kau..."
"Kamar mandinya di mana?" tanya Rava sebelum Ananda sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Hah? Oh, di ujung situ," kata Ananda sambil menunjuk ruangan di ujung gang.
Rava segera bergerak ke sana. Ananda tiba-tiba tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"
Rava berhenti dan menoleh. "Kenapa?" tanyanya.
"Itu kamar mandi cewek! Kamar mandi laki-laki yang di bawah!" sahut Ananda lagi.
"Tapi kamar ku, kan, di lantai ini, jadi kamar mandinya yang di lantai ini juga dong," Rava membalas.
"Hah? Tapi! Itu kan... kamar mandi cewek!" Ananda masih bersikeras meski tak punya alasan yang lain.
"Emang apa bedanya, sih? Sama-sama kamar mandi, kan?" Rava bertanya tak sabar.
"Ya, tapi, kan... jijik!" sahut Ananda sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa dilakukan laki-laki itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberarapa bulan terakhir menjadi kamar mandi pribadinya.
"Oh...," gumam Rava. Gumaman itu membuat Ananda lega karena sepertinya laki-laki itu mengerti. Namun, perkiraannya meleset karena setelah itu Rava malah melengos dan tetap bergerak menuju kamar mandi di depannya.
"Woi!" teriak Ananda, tapi Rava sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ananda cuma bisa melongo, ia merasakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan bersama laki-laki aneh itu.
Baru beberapa detik, Rava keluar lagi dari kamar mandi, membuat Ananda menatapnya dengan heran. Rava melambai-lambaikan tangan memanggilnya.
"Apa?" tanya Ananda sebal.
"Tolong ya, peralatan perang mu diambil dulu," ujar Rava.
Ananda mengernyit tak mengerti. Namun, beberapa detik kemudian, Ananda langsung teringatkan pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.
"HUAAA!" seru Ananda histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk mengamankan pakaian dalamnya yang menggantung di balik pintu. Dia menatap curiga pada Rava yang tampak malas.
"Makasih," kata Rava pendek, dia segera masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Ananda yang mekaungo parah. Detik berikutnya, Ananda tersadar.
""WOII! kau tadi liat, ya? Heeii!" seru Ananda sambil mengedor-gedor pintu kamar mandi, tapi yang terdengar hanya bunyi cebar-cebur orang mandi.
Ananda semakin tak bisa berkonsentrasi pada karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore. Tetangga barunya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan melihat pakaian dalamnya. Sambil berbaring di lantai, Ananda menghela napas putus asa.
"Kenapa, sih, saat aku butuh konsentrasi, malah dateng orang aneh...," gumamnya kesal.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Menurut Ananda, itu pasti langkah si laki-laki aneh. Tadi orang itu pergi keluar. Iseng, Ananda membuka pintunya dan mekaungok ke kiri. Rava sedang mencari-cari kunci kamarnya. Di tangannya terdapat plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air mineral.
"kau bisa makan di rumah Tante Alena," kata membuat Rava menoleh. "Semua anak kos makan di sana."
"Nggak usah," jawab Rava, sambil tetap mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Ananda mengangguk-angguk pelan.
"Soal minum, bakal mahal, lho, kalau selalu beli satu literan. kamu bisa langganan di Tante Alena."
"Nggak perlu. aku nggak bakal lama di sini." Kali ini Rava sudah mulai berkeringat dingin karena tidak menemukan kuncinya.
"Oh, gitu." Ananda masih penasaran. "kalau nggak bakal lama, kenapa ngekos? Pake bayar lunas, lagi."
Rava menghela napas panjang dan menatap Ananda. "aku punya alasan-alasan tertentu yang nggak harus aku bagi sama semua orang," jawabnya dingin yang langsung membuat Ananda cemberut.
"Iya, iya, sok rahasiaan amat," ujar Ananda keki, dan Rava kembali mencari kuncinya. "Terus, kmu asalnya dari mana?"
Rava putus asa mencari kuncinya. Iseng, dicobanya membuka pintu. Ternyata, pintu itu tidak dikunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Rava menghela napas lelah. Dia menoleh pada Ananda yang tampaknya masih menunggu jawaban.
"Dari sana," jawab Rava asal sambil menunjuk ke atas. Ananda mengikuti arah jari Rava sambil menatap langit-langit. Wajahnya mengisyaratkan kebingungan.
"Hah? Dari mana?" tanya Ananda bingung. "Oh, aku tau. Bandung, ya?"
"Bukan," kata Rava, hampir mendengus.
"Oh... Atau mungkin dari Surabaya?" tebak Ananda lagi
"Bukan. aku dari sana," kata Rava sambil menunjuk ke atas lagi. "Dari Mars."
"Hah?" Ananda bingung, tetapi Rava sudah masuk ke dalam kamarnya sebelum Ananda sempat bertanya lagi.
Ananda menggeleng-geleng simpati. "Hhh... udah aku kira. Anak ini pasti punya kelainan jiwa," gumamnya lagi sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya.