webnovel

The Truth Is Revealed During This

Rava mengidap suatu penyakit yang membuat dirinya hancur? Suatu ketika dia mempunyai rencana untuk membalaskan dendam nya tersebut kepada seseorang yg telah membuat kehidupannya hancur dan mematahkan masa depannya. Saat iya pergi menjauh dari orang" yang sangat dia sayangi, dia bertemu seorang wanita bernama Ananda. Setiap saat tingkah yang Rava lakukan selalu membuat dirinya resah dan penasaran. setelah mereka berdua saling bertemu dan tinggal bersebelahan, Ananda menyadari jika ada yg tidak beres dengan Rava. Apa kah Ananda bisa membantunya? Apa kah Rava dapat membalaskan dendamnya? Baca yuk kelanjutan cerita ini....

Siti_Jenab_6193 · Others
Not enough ratings
11 Chs

First Last Dinner (Part 1)

"Hah? Ada orang yang ngekos di sebelah kamar mu?" tanya Yona teman sekampus Ananda. Mereka sedang berada di cafetaria Fakultas Ekonomi Universitas Yogyakarta yang ramai dengan mahasiswa. Ananda mengangguk menyambut kata-kata Yona.

"Cowok aneh yang asalnya dari Mars," jawab Ananda sambil menusuk satu glintir bakso dan memasukkan ke mulutnya.

"Hah? Dari Mars?" tanya Yona bingung.

"Dia yang bilang sendiri. Emang, sih, dia kayak alien," kata Ananda sambil masih mengunyah baksonya.

"Tapi seru, kan, punya tetangga cowok. Oh ya, ngomong-ngomong orangnya cakep nggak?" Yona terus bertanya membuat alis Ananda berkerut.

"Yonanda Revalia Winata, intinya adalah: dia cowok! Artinya, aku nggak bakal punya privasi lagi!" sahut Ananda.

"Iya, iya, tapi cakep nggak?" Yona tak mau kalah.

"Oke. Jelas-jelas kamu nggak dapet poinnya di sini," ujar Ananda sebal." Cakep, sih, cakep--..."

"Eh, beneran? Ananda! Bener? Aku boleh, dong, dikenalin!" Suara Yona yang tiba-tiba histeris membuat Ananda mengernyit.

" Yona cantik, kayaknya kamu harus belajar membiarkan orang lain menyelesaikan kalimatnya, deh. Tadi aku mau bilang, cakep, sih, cakep, tapi tetep aja dia alien!" ujar Ananda.

"Nggak apa-apa alien, asal cakep," balas Yona, imajinasinya kini sudah terbang entah ke mana.

"Makan, tuh, cakep." Ananda berubah sebal. "Aku, sih, males banget liat tampang sombong dan sok misteriusnya itu."

"Ananda, cowok misterius tuh, justru lebih menarik," kata Yona. "Mereka seolah punya aura yang jadi magnet buat cewek-cewek."

Ananda menatap jijik temannya yang satu itu, tetapi dalam hati dia mengiyakan kata-kata Yona. Rava sepertinya memang punya aura seperti yang dikatakan Yona.

"Ngomong-ngomong, namanya siapa?" Yona masih penasaran.

"Kata tante aku, sih, Rava... ya, kalau nggak salah Rava Erlangga," jawab Ananda yang langsung saja disahuti oleh teriakan histeris Yona. Ananda hampir tersedak dibuatnya.

"Ya ampun, Ananda Claudia Ravelyn! Namanya aja keren banget! Pasti orangnya cool banget... kayak namanya!" teriakan Yona membuat Ananda menyesal sudah memberitahunya. Temannya yang satu ini kadang memang bisa jadi sangat norak kalau udah menyangkut masalah fashion dan cowok cakep.

Rava merasa sudah berjalan beberapa kilometer sampai akhirnya menemukan salah satu fakultas Universitas Yogyakarta terdekat, yaitu Fakultas Pertanian. Rava duduk di bangku taman, memperhatikan dengan cermat orang-orang yang melewatinya.

Rava harus menemukan orang itu, bagaimanapun caranya. Info yang dia dapat dari temannya sangat sedikit. Gilang, temannya itu, mengatakan kalau orang yang sekarang dicari Rava pernah terlihat di sekitar kampus Universitas Yogyakarta. Gilang tidak tahu kampus yang mana, tetapi Rava tetap pergi. Tak masalah jika Rava harus mendatangi setiap kampus dan mencari orang itu dibandingkan dia hanya duduk diam dan menyesali nasib. Rava harus bertemu dengannya.

Rava memasang headphone superbesarnya. Dan lagu This Light I See milik Paku Romi mengalun dari iPod-nya. Pikiran Rava melayang ke masa-masa SMA, dan tanpa disadarinya, dia mencengkeram lengan kirinya kuat-kuat.

Rava melangkah ke tempat kosnya yang terlihat gelap. Lampu depan kos yang sudah berpendar dan hampir mati, membuat kos itu tampak jauh lebih horror dibandingkan saat siang hari. Saat menaiki tangga, Ananda sedang menyapu gang depan kamarnya. Ananda menoleh dan menatap Rava yang tampak lelah.

"Abis kuliah?" tanya Ananda, mencoba ramah.

"Nggak," sahut Rava pendek, tak ingin membuat pembicaraan apa pun.

"Oh... abis kerja?" tanya Ananda lagi membuat Rava meliriknya sebal.

"Nggak juga." Rava menjawab sambil merogoh saku celananya bermaksud mengambil kunci.

"Lho, jadi kamu ngapain di sini?" kejar Ananda. Sebelum Ravao sempat menjawab, Ananda sudah berkata lagi, "Oh, aku tau. Pasti lagi nyari kerjaan!"

"Yah, begitulah," kata Rava berusaha menyudahi pembicaraan dan tak ingin capek-capek menjawab. Dia membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa banyak bicara lagi.

Rava melempar tasnya ke atas kasur yang tergeletak menyedihkan tanpa sprei. Dia membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur itu walaupun tahu itu akan menyakitkan. Dengan seketika, debu-debu dari kasur itu berterbangan, membuat Rava terbatuk.

Rava terduduk, mengambil air mineral dan meminumnya. Dia menatap ke sekeliling kamarnya yang tampak mengenaskan. Selain kasur tadi, di dalam kamar itu hanya terdapat lemari setinggi satu meter dan sebuah meja kecil. Ranselnya tergeletak sembarangan dengan isi yang sudah berhamburan, sementara cup-cup bekas mie tergeletak di atas meja kecil bersama sebuah tas kecil.

Rava bangkit untuk meraih tas kecil itu dan membukanya. Dia mengeluarkan sebuah handycam perak dengan model yang kuno. Rava menatap ragu handycam itu, kemudian menyalakannya, bermaksud untuk menonton kaset yang sudah beberapa lama mengendap di sana.

Baru sedetik setelah muncul gambar, Rava cepat-cepat mematikannya. Dia melemparkan handycam itu ke sebelahnya dan meremas kepalanya kuat-kuat. Mendadak, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Rava tertegun saat membaca nama di layar ponselnya. Mama.

Ragu, Rava mengangkatnya.

"Hallo?" kata Rava.

" Rava? Ini Mama. Kamu di mana sekarang?" tanya Mamanya, Mama Dewina, dari seberang. Rava terdiam sebentar.

"Mama nggak usah khawatir," sahut Rava, menolak untuk menjawab pertanyaan ibunya.

"Rava, jawab Mama! Sekarang kamu ada di mana?" desak Mama Dewina lagi.

"Mama, aku harus menyelesaikan masalah ini. Aku bener-bener harus," kata Rava tegas. Sementara Mama Dewina terdengar terisak.

"Rava, udah lupain aja. Yang penting sekarang kamu pikirkan dirimu sendiri," bujuk Mama Dewina lagi.

"Mama, aku harus menyelesaikan ini sebelum waktuku habis." Rava bersikeras. "Ini satu-satunya kesempatanku. Tolong jangan halangi aku."

Mama masih terisak. Rava baru berniat untuk memutuskan sambungan ketika Mama nya berkata lagi, "Kayaknya, kamu nggak akan ngedengerin Mama. Tapi, tolong Rava, jangan lakukan hal-hal bodoh."

"Mama tenang aja." Rava menjawab dengan suara dingin.

"Rava, obatnya jangan lupa diminum," desakan Mama Dewina membuat Rava benar-benar memutuskan sambungan telepon. Dia lalu menonaktifkan ponselnya, berjaga-jaga agar Mamanya tak bisa kembali meneleponnya.

Rava mengorek isi ranselnya sampai menemukan sebuah botol berisi pil-pil. Rava mencengkeram botol itu keras, lalu membantingnya ke dinding, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Rava terduduk lemas di lantai menatap pil-pil yang berceceran.

Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkannya.

Rava menatap sebuah bangunan dengan taman yang rindang. Kali ini, Fakultas Kehutanan Universitas Yogyakarta. Rava tak tahu harus menunggu beberapa lama, mungkin sampai Fakultas ini tutup, tetapi dia harus melakukannya.

Rava duduk di salah satu bangku taman dan memerhatikan orang-orang yang sedang berdiskusi di dekatnya. Tak ada satu pun dari mereka yang wajahnya mendekati orang yang dicari Rava. Rava menghela napas, memasang headphone-nya, lalu mengorek saku celananya untuk mencari rokok.

Setelah beberapa jam dan menghabiskan sepuluh batang rokok, Rava memutuskan untuk menghampiri orang-orang yang lewat dan menanyainya langsung. Rava menyodorkan foto orang yang dicarinya, tetapi semua orang yang ditanyainya menggeleng tak kenal.

Lelah bertanya, Rava kembali duduk. Dia menatap foto di tangannya. Foto zaman SMA. Foto bersama orang yang dulu sangat penting baginya.

Orang yang paling ingin ditemuinya saat ini.

Rava berjalan gontai ke kamarnya. Rava melirik kamar Ananda. Kamar itu gelap. Rava masuk ke kamarnya dan membanting dirinya ke kasur, dan dia segera meringis saat sadar kalau kasur itu kelentingannya sama dengan nol.

Rava merogoh saku celananya, menarik foto yang seharian tadi ditunjukkannya kepada semua orang yang lewat. Tanpa disadarinya, cengkeramannya pada foto itu mengeras sehingga membuat foto itu kusut, tetapi Rava tak peduli. Foto itu telah mengingatkannya pada kenangan yang tak ingin diingatnya lagi.

Mendadak, terdengar suara ketukan, membuat lamunan Rava buyar. Penasaran, Rava bangkit dan membuka pintu.

Ananda.

"Ada apa?" tanya Rava malas. Di depannya, Ananda nyengir.

"Ini. Dari Tante Alena, dia takut kamu kena busung lapar," kata Ananda sambil menyodorkan nampan berisi makanan. Rava menatap nampan itu ragu.

"Nggak usah, aku tidak lapar," sahut Rava akhirnya.

Baru saja Ananda akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut Rava. Sesaat, Ananda dan Rava sama-sama bengong.

"Kadang, otak sama perut kurang bisa berkoordinasi ya," kata Ananda, setengah mati menahan tawa. Rava hanya tersenyum kecut.

"Yah, Makasih." Rava mengalah dan mengambil nampan itu dari tangan Ananda.

"Jangan lupa abis makan piringnya dicuci ya," jelas Ananda. Dia teringat akan pengalamannya sendiri saat lupa mencuci piring dan kena marah tantenya.

"Yes, Mom," jawab Rava membuat Ananda tersenyum geli.

Sebelum Rava menghilang ke dalam kamarnya, Ananda berkata lagi, "Jangan lupa, sebelum makan cuci tangan dulu, ya!"

Rava menutup pintu, tersenyum sendiri mendengar kata-kata Ananda. Dia menatap makanan di tangannya. Kare buatan Alena. Rasanya sudah begitu lama Rava tidak melihat nasi. Rava dengan segera duduk dan dengan cepat menyantap nasi kare itu seakan tidak pernah makan sebelumnya.

Creation is hard, cheer me up!

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Siti_Jenab_6193creators' thoughts