webnovel

tiga puluh satu

"Ceritakan tentang kasusmu," katanya sesudah beberapa saat basa-basi. "Sesuatu tentang penolakan klaim asuransi." Ia sudah curiga, sebab aku memakai jas dan dasi, tidak seperti penampilan klien kebanyakan.

"Ah, saya sebenarnya ke sini untuk mencari pekerjaan," kataku lancang. Paling-paling ia memintaku pergi. Toh apa ruginya?

Ia meringis dan memungut secarik kertas. Sekretaris keparat itu merusak acara lagi.

"Saya melihat iklan Anda di Berita Harian, mencari seorang paralegal."

"Jadi, kau paralegal?" tukasnya.

"Bisa saja."

"Apa maksudnya?"

"Saya sudah mengenyam tiga tahun di sekolah hukum." la mengamatiku sekitar lima detik, kemudian menggelengkan kepala sambil melirik jam tangan, "Aku benar-benar sibuk. Sekretarisku akan menerima lamaranmu. "

Aku tiba-tiba melompat berdiri dan membungkuk ke depan di atas meja kerjanya. "Dengar, ini tawarannya," kataku dramatis ketika ia mengangkat muka dengan terperanjat. Kemudian aku menggelar pidato baku tentang betapa cemerlang dan tinggi motivasiku, dan aku satu di antara sepertiga teratas dalam kelasku, dan bagaimana aku dulu punya pekerjaan di Wills and Trust. Aku memberondong dengan semua amunisi. Skadden, kebencianku pada biro hukum besar. Tenagaku murah. Berapa saja untuk bertahan hidup. Benar-benar butuh pekerjaan, Mister. Aku mengoceh tanpa disela selama satu-dua menit, lalu kembali ke tempat duduk.

la berpikir sejenak sambil menggigit-gigit kuku. Aku tak bisa menebak apakah ia marah atau terkesan.

"Kau tahu apa yang membuatku gusar?" Akhirnya ia berkata, jelas bukan terkesan.

"Ya, orang-orang seperti saya berbohong kepada orang-orang di depannya, sehingga bisa kembali ke sini dan mendapatkan pekerjaan. Itulah yang membuat Anda gusar. Saya tidak menyalahkan Anda. Saya pun akan marah, tapi akhirnya akan bersabar. Saya akan mengatakan, 'Lihat, orang ini akan jadi pengacara, dan aku bisa menggunakan tenaganya. Bukan dengan bayaran 40.000 dolar, tapi hanya... katakan saja, 24.000 dolar."

"Dua puluh satu."

"Saya terima," kataku. "Saya akan mulai besok dengan 21. Dan saya akan bekerja sepanjang tahun dengan 21.000. Saya janji saya tidak akan keluar selama dua belas bulan ini, tak peduli saya lulus ujian pengacara atau tidak. Akan saya curahkan enam puluh, tujuh puluh jam seminggu selama dua belas bulan. Tanpa liburan. Anda boleh pegang kata-kata saya. Saya akan menandatangani kontrak.

"Kami mensyaratkan pengalaman lima tahun sebelum mempertimbangkan seorang paralegal. Ini biro hukum besar."

"Saya akan belajar dengan cepat. Musim panas lalu saya magang di sebuah biro hukum di pusat kota, tidak mengerjakan hal lain kecuali perkara gugatan."

Ada sesuatu yang tidak adil di sini, dan ia merasakannya. Aku melangkah masuk dengan senapan terisi penuh, dan ia disergap tiba-tiba. Kelihatan jelas bahwa aku sudah beberapa kali melakukan hal ini, sebab aku menjawab begitu cepat pada apa pun yang ia katakan.

Aku sama sekali tidak merasa kasihan padanya. Ia bisa memerintahkanku keluar setiap saat.

"Aku akan merundingkannya dengan Mr. Stone," katanya, mengalah sedikit. "Dia punya peraturan ketat mengenai pegawai. Aku tak punya wewenang untuk mempekerjakan paralegal yang tidak sesuai dengan spesifikasi kami."

"Tentu," kataku sedih. Sekali lagi ditendang pada wajah. Itu hal yang biasa. Aku sudah belajar bahwa pengacara, tak peduli bagaimana sibuknya mereka, punya perasaan simpati bawaan kepada lulusan baru yang tak bisa mendapatkan pekerjaan. Simpati terbatas.

"Mungkin dia akan bilang ya, dan kalau ya, pekerjaan itu milikmu," la mengucapkan ini untuk sedikit menghiburku.

"Masih ada satu hal lain," kataku menanggapi. "Saya punya sebuah kasus. Kasus yang sangat bagus."

Ini membuatnya curiga luar biasa. "Kasus macam apa?" ia bertanya.

"Ingkar pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi."

"Kau kliennya?"

"Bukan. Saya pengacaranya. Kurang-lebih saya secara kebetulan terantuk pada kasus ini."

"Berapa nilainya?"

Kuangsurkan padanya ringkasan kasus Jack sepanjang dua halaman, sudah dimodifikasi besar-besaran dan dibuat sensasional. Sudah beberapa lama aku menggarap sinopsis ini sekarang, mengatur-aturnya lagi setiap kali ada pengacara yang membacanya dan menolakku.

Gibson. membacanya dengan cermat, dengan konsentrasi lebih daripada yang pernah aku saksikan pada orang lain selama ini. la membaca untuk kedua kalinya sementara aku mengagumi dinding bata yang kuno dan memimpikan kantor seperti ini.

"Lumayan," katanya ketika selesai. Ada binar dalam matanya, dan aku rasa kalau ia lebih tertarik daripada yang ia ungkapkan. "Coba aku terka. Kau ingin pekerjaan, dan sedikit dari kasus ini."

"Tidak, cuma pekerjaan. Kasus ini milik Anda. Saya mau menggarapnya, dan saya harus menangani kliennya. Tapi uang jasanya untuk Anda."

"Sebagian. Mr. Stone mendapatkan bagian terbesar," katanya sambil menyeringai.

Apa saja. Terus terang, aku tak peduli bagaimana mereka membagi uang itu. Aku hanya ingin pekerjaan. Angan-angan untuk bekerja bagi Jonathan Stone dalam kantor mewah ini membuatku pening berkunang-kunang.

Aku sudah memutuskan untuk menyimpan urusan Miss Streep bagi diri sendiri. Sebagai klien, ia tidak begitu menarik, sebab ia tidak membelanjakan berapa pun untuk pengacara. la mungkin akan hidup sampai umur 120, sehingga tak ada keuntungan apa pun untuk memakainya sebagai kartu truf. Aku yakin banyak pengacara canggih yang bisa menunjukkan kepadanya segala macam cara untuk membayar mereka, tapi ini tidak akan menarik biro hukum Stone. Orang-orang di sini mengurus perkara di pengadilan. Mereka tidak tertarik menyusun surat wasiat dan mengurus pengesahan warisan oleh hakim.

Aku kembali berdiri. Sudah cukup aku mengambil waktu Robin. "Dengar," kataku setulus mungkin. "Saya tahu Anda sibuk. Saya sepenuhnya sah. Anda boleh memeriksanya di kampus. Teleponlah Altha Abigail kalau mau."

"Abigail Gila. Dia masih di sana?"

"Ya, dan saat ini dia sahabat terbaik saya. Dia akan menjamin saya."

"Baiklah. Aku akan menghubungimu secepat mungkin."

Jelas kau akan menghubungiku.

Dua kali aku tersesat dalam usaha menemukan pintu depan. Tak seorang pun mengawasiku, jadi aku tidak terburu-buru, mengagumi kantor-kantor besar yang bertebaran di gedung itu. Pada suatu titik, aku berhenti di tepi perpustakaan dan menengadah ke atas, melihat jalan-jalan sempit tiga tingkat di sana. Tak ada dua kantor pun yang mirip. Ruang-ruang rapat tertempel di sana-sini. Para sekretaris, kerani, dan pesuruh hilir-mudik tenang di lantai kayu itu.

Aku mau bekerja di sini dengan gaji kurang dari 21.000 dolar sekalipun.

***

Aku parkir diam-diam di belakang Cadillac panjang itu, dan tanpa suara menyelinap keluar dari mobil. Aku tak berselera menanam krisan dalam pot. Aku melangkah ringan mengitari rumah dan disambut oleh setumpuk tinggi karung plastik putih berukuran besar. Puluhan jumlahnya. Pupuk kulit kayu pinus, berton-ton banyaknya. Setiap karung bobotnya setengah kuintal. Sekarang aku teringat sesuatu yang dikatakan Miss Streep beberapa hari lalu, tentang memupuk kembali semua rumpun bunga, tapi aku tidak tahu apa-apa.