Bara memanggil Tia untuk datang ke kamarnya. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Tatapan Bara begitu tajam hingga membuat Tia merinding.
"Bapak jangan menakuti saya." Tia bergidik ngeri melihat mata Bara yang berkilat-kilat.
Bara berjalan menuju kulkas. Mengambil minuman kaleng. Ia buka tutup minuman itu, lalu meminumnya hingga habis. Ia lirik Tia yang sangat ketakutan. Bara sengaja mengintimidasi Tia agar buka mulut. Bara menekan bak tong sampah agar terbuka. Ia buang kaleng yang sudah kosong itu sembari menunggu jawaban Tia.
"Kenapa diam Tia? Bicaralah. Apa yang sebenarnya kamu rencanakan dengan Rere? Tikus seperti apa yang kamu bereskan tadi?" Tanya Bara berpangku tangan. Menaik turunkan alisnya menunggu jawaban. Bara menanyakan keberadaan Daniel dan Tia ketika berada di kota Ipoh. Rere mengatakan mereka sedang membereskan seekor tikus.
"Saya bingung dengan Bapak. Ketika ingatan Bapak sudah pulih malah terlihat menakutkan dimata saya." Tia mencibirkan bibirnya, memasang tampang sedih agar Bara tidak menanyainya. Bagaimana pun Tia harus setia dengan janjinya. Tidak akan menceritakan tentang ayah Leon pada siapa pun termasuk pada Bara.
"Saya tahu jika kamu sudah berjanji pada Rere tidak akan bicara pada siapa pun siapa ayah biologis Leon. Baiklah jika itu mau kamu. Jangan salahkah saya jika ayah Leon akan mati ditangan saya. Ingatan saya sudah kembali, jadi saya tidak akan bersikap lembut seperti biasa. Menjadi orang yang terlalu baik juga tidak baik."
"Pak." Tia memelas menahan tangis. Tidak mungkin ia melanggar janji pada Rere. Bagaimana pun Rere adalah sahabatnya. Tia banyak berhutang budi pada Rere. Setidaknya jadi pelindung Rere bisa membalas semua kebaikan sahabatnya.
Bara melambaikan tangannya ke udara, "Jika tidak mau bicara tidak usah bicara. Saya tidak memaksa kamu. Saya bisa temukan sendiri tanpa bantuan kamu. Meski Dian tak ada disamping saya, tanpa kamu juga saya bisa lakukan sendiri. Saya senang Rere punya sahabat seperti kamu. Terima kasih telah menjadi teman yang baik untuk adikku."
"Bapak sangat sayang sama Rere ya Pak?" Tanya Tia bloon. Mendadak otaknya tidak pintar seperti biasanya.
"Menurutmu?" Balas Bara dingin menatap hiruk pikuk kota Kuala Lumpur dari jendela.
"Kapan Bapak ingat semuanya?"
"Apa itu penting?"
"Penting Pak biar jiwa kepo saya tidak meronta-ronta," balas Tia keceplosan.
Bara hanya tertawa melihat kekonyolan Tia. Ada hiburan tersendiri untuknya melihat tingkah lucu sang sekretaris. Tia hampir sama dengan Dian. Cekatan dan cepat tanggap. Tanpa Bara perlu bicara sudah tahu apa keinginannya. Perbedaannya Tia lebih sopan tidak sefrontal Dian. Masih menjaga jarak antara bos dan anak buah. Dian terlalu lancang hingga berani ikut campur dalam kehidupan pribadinya.
"Sejak kapan kamu jadi biang gosip. Gibah di kantor tentang saya, apa berawal dari mulut kamu?"
"Pak saya enggak segitunya kali. Cari mati jika saya gibahin Bapak sama teman-teman kantor."
"Bagus kalo begitu. Sekarang saya tunggu jawaban kamu atas pertanyaan saya. Konsekuensinya jika kamu tidak bicara, ayah biologis Leon akan mati. Apa dia tikus yang kamu bereskan tadi siang?"
"Bapak." Wajah Tia pucat. Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung mau bicara apa. Tia seperti memakan buah simalakama. Mau bilang sayang, jika tidak bilang makin masalah.
"Jangan takut. Saya tidak makan orang. Saya hanya makan ini." Bara mengambil buah apel di atas meja lalu menggigitnya.
"Pak jangan buat saya dalam situasi sulit." Tia memelas. Tubuhnya berkeringat karena takut. Sepak terjang Bara sudah Tia ketahui. Bagaimana Bara menghancurkan lawan politik hanya dalam hitungan menit. Bara sangat mengerikan dan menakutkan. Tidak salah jika lawan politiknya ingin menghabisi pria itu.
"Saya tidak membuat kamu dalam situasi sulit Tia. Saya memberikan kamu pilihan. Saya tidak paksa kamu bicara. Saya tegaskan sekali lagi. Tanpa kamu bicara pun saya akan tahu siapa ayah biologis Leon cepat atau lambat. Satu hal yang harus saya tekankan disini. Jangan bicara pada Dian jika ingatan saya sudah pulih. Mengerti?"
"Kenapa Pak?" Meski gugup dan gemetar Tia memberanikan diri bertanya.
"Aku tidak mau dia ikut campur. Ini urusan saya. Dian dan papa mereka yang selalu merahasiakan siapa istri saya ketika hilang ingatan. Saya tidak suka kebohongan mereka meski alasannya demi melindungi saya. Tetap saja saya kecewa pada mereka. Tidak tahu jika saya sangat mencintai Dila?"
"Kami tahu betapa besarnya cinta Bapak sama Ibu Dila," cicit Tia menyebut nama Dila dengan embel-embel Ibu. "Meski Bapak hilang ingatan namun hati Bapak tidak pernah lupa siapa pemilik hatinya. Ketika cinta sudah menemukan tuannya, apa pun yang terjadi tidak akan pernah mengubah segalanya. Saya paham dengan perasaan Bapak."
"Jika paham tolong pahami perasaan saya sebagai seorang kakak. Kakak mana yang tidak geram jika adik perempuannya hamil tanpa diketahui siapa yang menghamilinya? Rere melahirkan keponakanku diluar nikah. Dia anak haram kata orang. Katakan yang sesungguhnya. Siapa yang memperkosa Rere? Beraninya dia kurang ajar pada adik Aldebaran." Bara mengepalkan tangannya hingga kuku jarinya memutih.
"Pak," lirih Tia melihat kemarahan di mata Bara.
"Jika Rere hamil dengan pacarnya pasti dia meminta pacarnya untuk bertanggung jawab. Ini tidak. Berarti ada yang dia sembunyikan. Masih tidak mau bicara?"
"Pak berjanjilah padaku tidak melakukan hal-hal yang Rere takutkan."
"Apa maksudmu?"
Tia menceritakan semuanya. Apa yang menjadi ketakutan Rere hingga ia tak mau buka mulut siapa ayah biologis Leon dan tak meminta pertanggungjawaban.
"Ya ampun Rere." Bara memijit pelipisnya tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya. "Kenapa Rere senaif itu. Dia terlalu bodoh atau terlalu baik. Bagaimana pun Leon harus mendapatkan pengakuan secara hukum. Aku tidak mau anak itu dihina orang ketika sudah dewasa. Rere tidak mau berinteraksi dengan orang lain karena malu. Beban mental bagi saya sebagai seorang kakak. Jadi saya harus menyelesaikan PR ini sebelum menyelesaikan urusan saya dengan istri saya."
"Istri Bapak? Sejak kapan Bapak punya istri?"
"Apa kamu bilang?"
"Maaf Pak hanya bercanda?" Tia mengacungkan jari membentuk huruf V.
"Dila masih istri saya sampai sekarang secara hukum. Terima kasih telah menyelidiki Dila hingga kamu mendapatkan salinan akte kelahiran si kembar. Itu bisa menjadi alat untuk saya mendapatkan Dila kembali."
"Bapak mau rujuk sama Ibu Dila."
"Tentu saja." Bara melengkungkan senyum. Ia teringat manjanya Dila dan pelukannya ketika mereka tidur bersama. Rindu menyentuh kalbunya. Sang pecinta merindukan kekasih hati. Ada rasa yang selama ini hilang telah kembali. Bara bahagia telah menemukan cintanya. Hidupnya telah kembali pasca ingatannya kembali. "Aku ingin berterima kasih pada Kinanti. Jika tidak ada wanita itu mungkin ingatanku tidak akan kembali."