webnovel

Bara Bertemu Angga

"Jangan bilang Bapak ingat waktu sakit kepala menemui Kinanti?"

Bara melipat tangannya ke dada. Hatinya berbunga-bunga. "Cepat cerita soal ayah Leon." Bara tak lupa tujuannya memanggil Tia.

"Jadi begitu ceritanya? Dino,sepupu Dila ayah biologis Leon. Dunia ini ternyata sempit. Tanpa kami sadari selama ini bertukar tempat." Bara menopang dagu.

"Pak, demi Tuhan jangan katakan pada Rere jika Bapak tahu dari saya." Tanpa sadar Tia memegang lengan sang bos.

Bara mendelik, menatap dingin pada Tia. Gadis itu sadar lalu melepaskan tangannya dari lengan kekar Bara.

"Maafkan saya Pak. Tidak sengaja," cicit Tia memperlihatkan barisan gigi putihnya.

"Saya paham perasaan kamu. Apa mata kanan saya menghubungi kamu?"

"Mata kanan?" Kening Tia berkerut tak mengerti maksud Bara.

"Ya ampun Tia. Kenapa kamu lemot begini? Bukankah kamu regenerasi Dian? Dia yang memilih dan melatih kamu agar cekatan seperti dia." Bara memijit pelipisnya.

"Maaf Pak. Saya memang bodoh." Tia merutuki dirinya. Kenapa tidak bisa berpikir jernih dalam situasi penting seperti ini. Sudah jelas mata kanan yang dimaksud sang bos adalah Dian.

"Sudahlah tidak perlu memaki diri sendiri. Saya paham kondisimu. Satu sisi kamu ingin melindungi sahabatmu, satu sisi kamu harus menjalankan perintah atasanmu."

"Terima kasih Bapak mengerti dengan kondisi saya."

"Kamu jangan anggap saya baik karena tugas yang akan kamu jalankan amat berat."

"Apa?" Dada Tia bergemuruh. Takut mendapatkan tugas yang tak bisa ia kerjakan.

"Rahasiakan dari Dian. Kamu tentu pintar memanipulasi."

"Pak."

"Sudahlah jangan sok lugu. Saya tahu siapa kamu Nur Fristia Hayati," ledek Bara menyebut nama lengkap Tia. "Jangan sampai bilang jika Hayati lelah. Saya tidak suka." Bara menggoda sang sekretaris. Pria itu melengkungkan senyum.

Sudah lama Tia tidak melihat Bara tersenyum seperti hari ini.

"Itu mukanya bisa dikondisikan? Saya tidak akan memukul atau mencekik kamu." Bara menunjuk Tia.

"Hehehehe." Kekeh Tia dengan senyum yang dipaksakan. "Nada bicara Bapak bikin saya ketakutan."

"Oh begitu?" Sarkas Bara mentertawai Tia.

"Tia," panggil Bara dalam mode serius.

"Iya Pak." Tia cepat tanggap.

"Berikan hasil penyelidikanmu tentang Dila dan anak-anakku." Bara mengadahkan tangan.

"Maksud Bapak?"

"Salinan kartu keluarga dan akte kelahiran triplets."

"Baik Pak. Nanti saya minta lagi pada detektif yang saya sewa. Filenya sudah hilang sama saya ketika diterjang tsunami. Filenya ada dalam ponsel saya. Ponsel saya hilang. Bapak selama sepuluh hari terdampar dimana? Kok bisa sama Ibu Dila?" Jiwa kepo Tia meronta-ronta, memberanikan diri bertanya.

"Penting buat kamu?" Balas Bara dingin.

"Kalo Bapak mau cerita," kilah Tia tersenyum lucu. Kelihatan sekali bosnya sangat bucin dengan Dila. Banyak orang yang gila dan bodoh karena cinta termasuk sang bos.

"Minta belikan handphone baru sama Rere! Carikan cepat untuk saya."

"Buat saya Pak? iPhone ya Pak." Tia tersenyum sumringah.

"Bukan, buat bayi. Sudah tahu masih bertanya. Kadang kamu pintar dan bloon di waktu bersamaan. Terserah mau beli iPhone atau sejenisnya. Anggap saja fee atas kerja kamu."

"Ishhh Bapak gitu," cicit Tia manja.

"Nur cepat kerjakan apa yang saya suruh. Handphone buat saya jangan lupa. Perbarui nomor lama saya."

"Bapak jangan panggil saya Nur." Tia tidak terima dipanggil Nur. Namanya sering jadi bahan olokan. Nur dan Hayati. Nama yang sering diplesetkan orang buat bercanda.

"Kenapa?" Bara angkat bahu."Bukannya Nur nama kamu. Nur, Tia, Hayati. Suka-suka saya panggil. Kamu jangan malu pakai nama itu. Orang tua sudah potong kambing buat kasih kamu nama."

"Bapak," gerutu Tia menghentakkan kakinya ke lantai.

"Kenapa dengan saya?" Bara berpangku tangan. Ia tertawa melihat sekretarisnya marah-marah. Kapan lagi mengusili Tia. Bara bahagia Rere menemukan teman yang tepat.

"Janji ya Pak. Jangan sakiti ayah Leon. Dia tidak tahu jika Rere hamil." Tia mengingatkan Bara sekali.

"Sudah jangan bawel. Pergi sana." Bara mengibaskan tangannya.

Tia pergi dari kamar Bara dengan perasaan campur aduk. Takut jika Bara bertindak kejam pada Dino. Selama ini Dino tidak tahu kelahiran Leon wajas saja pria itu tak bertanggung jawab.

Selepas Tia pergi. Bara mandi. Pria itu bersenandung dibawah guyuran air. Bahagia, ingatannya telah kembali.

"Sayang tunggu aku. Aku akan menjemput kalian. Tidak pernah aku sia-siakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan."

Bara menyudahi sesi mandinya. Pria itu langsung sholat. Bara mengadahkan tangan pada Sang Pencipta. Meminta ampunan dan petunjuk tentang rumah tangganya.

Doa Bara terganggu karena mendengar suara ribut-ribut. Pria itu menyudahi doanya. Bara melepas peci, lalu pergi keluar. Ia sangat kenal dengan suara wanita yang marah tersebut.

"Lepaskan aku Angga." Rere berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Angga.

"Rere kita harus bicara. Ijinkan aku mempertanggungjawabkan perbuatanku."

"Aku tidak ingin menikah. Berapa kali aku bilang. Aku dan Leon sudah bahagia." Rere teguh dengan pendiriannya. Meski Angga memaksa untuk bertangga jawab, ia tak mau melakukannya karena anak. Rasa cinta Rere telah pudar di malam Angga melecehkannya.

"Ada apa ini?" Suara bariton Bara terdengar menakutkan. Rere bergidik ngeri melihat kemarahan di mata sang kakak

"Kamu jangan ikut campur." Angga malah menghardik Bara.

Bara mendekati Angga lalu menarik kerah baju pria itu. Angga bahkan sampai terangkat ke atas. Ia berdiri di awang-awang. Wajah Angga pucat melihat kemarahan dan kebencian di mata Bara.

"Siapa kamu?" Angga bicara terbata-bata.

"Aku yang harus tanya siapa kamu?" Bara menurunkan Angga dan menghempaskan tubuh pria itu. "Berani sekali kami memaksa adikku. Singkirkan tanganmu dari tubuh adikku jika tidak mau aku patahkan."

"Adik?" Angga kebingungan. Setahunya Rere anak tunggal. Kakak darimana?"

"Bang please.…" Rere menggeleng agar Bara tidak menyakiti Angga.

"Pergilah." Rere meminta Angga pergi sebelum mendapat murka Bara

"Aku enggak akan pergi Rere sebelum urusan kita selesai."

"Apa urusanmu dengan Rere?" Bara menatap tajam pada Angga.

"Aku pria yang menghamili Rere."

Ucapan Angga mendapatkan bogem mentah dari Bara. Rere menjerit-jerit melihat Angga dipukul Bara. Darah segar mengalir dari hidung dan bibir Angga. Bara tersenyum kecut.

Besar juga nyali pria ini mengaku sebagai ayah biologis. Dasar laki-laki bucin! Bara memaki dalam hati.

"Bajingan kamu."

"Beraninya kamu datang setelah menodai adikku dan membuatnya menanggung malu. Kamu bukan laki-laki. Pengecut. Hanya pengecut yang melarikan diri dari tanggung jawab."

"Aku bisa jelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kamu duga. Ada kesalahpahaman disini. Aku akan menjelaskan masalah ini."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah jelas. Lo banci!" Bara emosi sehingga memukul Angga lagi. Pria itu melepaskan emosinya pada Angga meski ia tahu kenyataan yang sebenarnya. Setidaknya memberi pelajaran pada Angga karena telah berusaha menodai Rere ketika itu.

Next chapter