Bagaimana rasanya jika salah seorang temanmu memiliki sifat yang unik dan berbeda dari orang lain? Lantas apa itu sebuah keberuntungan karena menjadi temannya atau adalah sebuah musibah karena berteman dengannya? Aku sendiri akan kesulitan menjawab jika ditanyai pertanyaan seperti itu. Namun saat ini aku memilih untuk menjadi seorayang yang beruntung karena bisa mengenal orang seperti itu.
Teman dekatku adalah laki-laki sebaya denganku. Penampilannya juga sama seperti remaja berumur dua puluh tahunan lainnya. Kecuali, dia memiliki rambut hitam yang jarang dimiliki kebanyakan orang barat dan terlebih juga caranya berpikir yang berbeda dari kebanyakan orang seumurannya membuatnya menjadi orang yang sangat berbeda dari kelihatannya.
Memahaminya sama seperti memahami sebuah buku sastra lama yang tebal. Maksudku, dia sangat sulit untuk dipahami untuk ukuran seorang laki-laki muda. Caranya berbicara, berpikir dan lain sebagainya, sangat unik dan berbeda dari kebanyakan orang.
Pada awalnya aku merasa kesulitan namun semua ini mirip seperti saat kita membaca sebuah buku. Jika kita semakin sering membacanya makan kita akan mulai memahaminya sedikit demi sedikit. Itulah yang terjadi padaku, memahami seseorang yang belum sepenuhnya bisa kumengerti.
Hidup sendirian tanpa ada orang didekaatnya mungkin menjadi faktor yang membuatnya menjadi seperti ini. Melalui banyak kesulitan sendirian sejak masih kecil membuatnya tumbuh dan berbeda dari orang kebanyakan. Dia tidak pernah mengeluh mengenai hidupnya, setidaknya tidak kepadaku. Karena itu seringkali aku bersimpati kepadanya.
Hari ini dia membantuku mengantarkan barang pesanan. Kami telah pergi mengantarkan barang ke beberapa lokasi di kota dan yang terakhir kami pergi ke stasiun Rodd. Aku paham dia melakukan ini pasti karena sedang membutuhkan uang. Walau dia tidak pernah mengatakannya secara langsung kepadaku.
Tetapi setelah selesai mengantarkan barang terakhir kami, di stasiun Rodd. Alex mulai bertingkah aneh. Dia menatap kerumunan orang dari depan pintu masuk. Seakan-akan sedang mencari sesuatu. Hal itu membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirnya.
"Alex, kau baik-baik sajakan?" Tanyaku.
"---"
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan?!" Aku menanyainya kembali sambil menaikan suaraku.
"Maaf Jeff, aku hanya sedang bertanya-tanya. Bagaimana nasib dadu yang telah dilemparkan kepadaku." Ungkap Alex dengan ekpresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya itu.
Aku selalu kesulitan untuk mengartikan ucapannya. Mulai dari ungkapan yang digunakan sampai ekspresi wajahnya sangat sulitku mengerti. Meskipun sudah cukup terbiasa mendengarkannya tapi itu masih jauh untuk memahaminya.
"Lalu apa yang terjadi pada dadu itu?" Tanyaku mencoba untuk memahami apa yang sedang dibicarakannya.
"Akupun tidak tahu." Jawab Alex dengan senyuman tipis diwajahnya.
Umumnya orang yang tersenyum dia sedang merasa senang atau bahagia tapi meski Alex seringkali tersenyum namun bagiku itu bukan senyum bahagia. Aku juga tidak bisa memahami arti senyumannya itu. Setidaknya aku berpikir itu bukan hal yang buruk untuk tersenyum sesekali.
"Jadi intinya kau baik-baik sajakan?" Ungkapku untuk memastikan sekali lagi.
"Bagaimana menurutmu? Kau bisa melihatnya dengan matamu sendiri bukan?" Balas Alex sambil menunjukan jari telunjuknya kearah mataku.
"Ya, aku tahu itu. Aku hanya ingin memastikannya saja."
"Aku tidak menyembunyikan apapun darimu. Walau hanya luarnya saja."
"Maksudku, kau bisa mengatakan padaku jika ada sesuatu."
"Apa kau percaya dengan ucapanku? Meskipun kau tahu aku bisa saja berbohong padamu."
"Kau selalu membuat ini menjadi lebih rumit, Alex."
"Jeff, seharusnya kau tahu, kita tidak bisa hidup dari perkataan orang lain. Karena perkataan orang lain itu bisa mencabikmu dilain waktu."
"Aku percaya padamu. Setidaknya kau harus mempercayaiku!" Ungkapku sambil sedikit menaikan suaraku.
"Tapi, Aku belum memenuhi syarat untuk mendapat kepercayaanmu." Balas Alex dengan santainya.
Karena pembicaraan sudah semakin melebar kemana-mana. Aku berusaha mengganti topik pembicaraan.
"Lalu, tadi didepan Menara Weimer kau bertemu dengan siapa? Aku melihat sepertinya ada orang yang memanggilmu sambil melambaikan tangannya." Aku cukup kenal dengan Alex, rasanya mustahil jika dia punya kenalan lain.
"Entahlah, kau telah melihatnya dengan matamu sendiri." Balas Alex yang dengan mudahnya menghindar dari pertanyaanku.
Aku sudah cukup lelah untuk berbicara pada orang ini. Meski sudah bertahun-tahun lamanya kami berdua saling kenal. Namun dimatanya aku masih seperti orang asing saja. Walau ini membuatku sedikit merasa kesal, aku tidak bisa membenci Alex karena sifatnya itu.
Setelahnya aku tidak melanjutkan percakapan dengan Alex lagi. Karena itu bisa saja menjadi percakapan tanpa akhir nantinya.
"Aku akan pergi ke gereja. Kau bisa pulang lebih dahulu." Ucap Alex memecah keheningan dalam perjalanan.
"Apa kau ingin pergi ke makam di belakang gereja?" Tanyaku.
Alex membalasnya hanya dengan anggukan kepala.
"Aku akan ikut denganmu. Lagi pula, ibuku bisa marah jika aku tidak pergi menemanimu nanti."
"Baiklah." Balas Alex dengan singkat.
Karena itu kami merubah rute perjalanan kali dan berjalan ke arah Gereja Parmos, St. Martell yang merupakan tempat tujuan kami. Dibelakang Gereja itu ada makam umum untuk mereka yang tidak sanggup membeli tempat di makam umum lain. Alex kehilangan ibunya saat usianya masih tujuh tahun dan ibunya dimakamkan ditempat itu.
Aku selalu teringat ucapan Alex saat dia berkata, 'Di dunia ini bahkan orang mati masih perlu membayar untuk liang lahatnya sendiri.' Dia mengatakan hal seperti itu saat pemakaman ibunya, wajah dan ekspresinya pada waktu itu tidak bisa terhapus dari ingatanku. Dan saat itu juga hanya keluargaku saja yang hadir pada saat pemakamannya.
Keluargaku sudah lama membuka pintu untuk Alex dan membantunya hidup selama ini. Aku sendiri tidak keberatan dengan itu dan mendukungnya. Tapi dia sendiri memilih untuk hidup sendirian. Meskipun waktu itu dia masih berumur tujuh tahun.
Oleh karena itu, bagiku dia seperti seorang laki-laki yang membuang dirinya sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sebelum datang ke makam ibunya, Alex menyempatkan dirinya untuk membeli beberapa bunga mawar merah untuk ditaruh di makam ibunya. Dia mengatakan jika sang ibu sangat menyukai bunga mawar yang berwarna merah.
Aku menyadarinya jika Alex beberapa hari terakhir membantuku pasti karena ingin membeli bunga itu yang memang harganya tidaklah murah. Upah dari mengantar barang sendiri memang tidak banyak dan terlebih lagi harus dibagi menjadi dua. Untuk itu kurasa lain kali aku ingin memberinya uang lebih.
"Jeff, ada apa?" Tukas Alex yang membuatku terhentak dan tersadar dari lamunanku.
"Ehh… tidak ada." Balasku.
"Kau memikirkan sesuatu?" Tanya Alex yang sepertinya menyadariku.
"Em… Tidak kok." Aku berusaha mengelak tapi Alex mempunyai intuisi perasaan yang tajam. Hal itu membuat sulit mengelak darinya setiap kali hal seperti ini terjadi.
"Meskipun kau tidak ingin mengatakannya. Aku tahu apa yang ada dikepalamu itu. Jadi, jangan khawatirkan diriku ini." Alex mengatakan hal itu dengan santai dan juga senyuman menempel diwajahnya.
Aku sulit mengartikan apa yang dimaksudkannya. Namun, itu yang membuatnya berbeda dari kebanyakan orang. Menjadi sulit ditebak dan diprediksi, dia adalah orang yang akan selalu bertingkah diluar perkiraan.
"Baiklah, kita lanjutkan perjalanan menuju gereja saja." Ungkapku dengan tujuan menghindari percakapan yang lebih jauh lagi.
Beruntung Alex tidak membahas percakapan itu lebih jauh dan kami berdua melanjutkan perjalanan menuju gereja parmos, St. Martell. Gereja itu adalah gereja yang dipunyai Sekte Parmos, pemuja dewa cahaya. Mayoritas rakyat yang ada di kerajaan ini adalah pengikut Parmos dan karena itu para petinggi di gereja Parmos punya pengaruh tersendiri di negara ini.
Sesampainya di depan gereja ada seorang penjaga gereja yang terus menatap tajam ke arah Alex sepanjang kami masuk kedalam gereja. Tatapannya itu membuatku merasa tidak nyaman sekaligus merasa aneh.
Sesampainya di depan pintu besar gereja, ada pendeta yang keluar dari dalam gereja. Pendeta itu berpakaian serba putih lengkap dengan kalung lingkaran dengan lambang cahaya parmos.
"Ada urusan apa kau datang kemari?" Ungkap Pendeta itu dengan nada ucapan yang sinis.
"Aku ingin mengunjungi makam yang ada dibelakang gereja." Balas Alex yang menghiraukan ucapan sinis yang dia terima.
Sejujurnya aku melihat jika pendeta itu cukup arogan. Memang tidak semua pendeta yang kukenal seperti itu. Tapi bukan berarti semua pendeta adalah orang baik dan suci, beberapa dari mereka ada yang terkena skandal atau masalah yang cukup berat.
"Kalau begitu kau harus membayar uang sumbangan kepada gereja terlebih dahulu." Balas Pendeta angkuh itu.
Aku tidak bisa diam saat melihat pemerasaan seperti ini. Karena ini sudah termasuk penyalah gunaan wewenang. Sumbangan tidak pernah dimintai seperti ini, selama ini gereja parmos selalu menyediakan tempat sendiri bagi mereka yang ini menyumbangkan uang.
"Kenapa harus membayar uang terlebih dahulu? Apa memang ketentuannya seperti itu?" Ungkapku bertanya kepada pendeta yang menyebalkan itu.
"Apa kau tidak ingin menyisihkan uangmu untuk kebaikanmu sendiri?" Balas pendeta itu dengan mata dan tatapan sinisnya.
Aku sudah muak dan ingin rasanya memukul wajah pendeta kurang ajar itu. Tapi Alex menahanku dengan tangannya.
"Sudahlah, Jeff. Aku akan membayar sumbangannya." Balas Alex yang sepertinya tahu batas kesabaranku sudah menipis. Setelahnya Alex mengulurkan tangannya dan memberikan beberapa koin sisa dari pembelian bunga sebelumnya.
"Hanya segini? Kau tidak menghormati para dewa?" Ungkap pendeta itu dengan kesal kepada Alex. Namun Alex sepertinya tidak terganggu dengan ucapan itu. Lagi pula aku tahu dia bukan orang yang peduli dengan pandangan orang lain terhadap dirinya itu.
"Jadi saat ini para dewa sungguh mementingkan jumlah uang yang diberikan? Apa ajaran yang selama ini kudengar di gereja Parmos itu salah?" Balas Alex dengan santainya.
Gereja Parmos cukup ketat dengan kritikan. Setiap orang yang mengkritik tindakan gereja, maka orang itu akan dibawa pergi untuk 'disucikan'. Tentu aku yakin orang yang terlibat dengan hal semacam ini akan hilang untuk selamanya.
Namun sepertinya Alex tidak khawatir akan hal itu. Aku selalu berpikir kenapa dia begitu berani 'bermain api?'
"Apa maksudmu nak? Kau baru saja menghujat para dewa." Balas pendeta itu dengan nada suara yang berbeda.
"Aku ini hanya orang miskin. Jika dewa tidak puas dengan apa yang kuberikan hari ini. Seharusnya dewa membuatku menjadi orang yang kaya!" Balas Alex dengan ucapan yang cukup masuk akal sebenarnya.
"Kau telah-"
"Aku tahu apa yang kukatakan berlebihan. Tapi lebih berbahaya jika seorang pendeta yang melakukan tindakan lebih dari apa yang seharusnya. Para dewa akan selalu memberikan keadilan bagi mereka yang pantas bukan?" Balas Alex dengan mudahnya memberikan balasan yang tajam ke arah pendeta yang memuakan itu.
"Kau! Lihat saja, kau akan dikutuk oleh para dewa!" Ungkap pendeta itu sambil pergi meninggalkan aku dan Alex.
"Kau yakin mengucapkan hal kasar pada pendeta seperti itu? Gereja Parmos bukanlah sesuatu yang bisa kau lawan." Ucapku karena merasa khawatir pada Alex.
"Jeff, apa menurutmu. Kebenaran harus selalu dipendam? Aku selalu mendengar kebenaran akan selalu menang. Tapi nyatanya banyak orang yang memilih berbohong hanya untuk menghindar dari hal buruk. Karena itu lah, manusia akan terus tenggelam dalam kebohongan dan akan kehilangan arah saat mereka tidak bisa mengucapkan kebenaran!" Balas Alex dengan ucapannya yang cukup menusuk tajam kedalam wajahku itu.
Aku telah banyak belajar darinya selama ini. Namun aku sendiri tidak tahu darimana dia bisa memikirkan banyak hal itu sendiri. Rasanya, dia seperti orang yang paham apa itu hidup dan bagaimana harus menjalaninya.
Yohoo! Update untuk Act 02!
Kali ini kita melihat sudut pandang Jefferson Cohen. Sahabat dekat dari tokoh utama kita ini.
Act 02 ini akan ada Extras jadi jangan kewatkan Extras untuk Act 02 ini ya...!
Karena kita akan melihat Hanna dan keluarganya! *Spoiler dikit