webnovel

28. Bertemu Lagi

Sudah seminggu Yena tinggal di vila Arion. Setiap hari Leon selalu datang mengunjunginya.

Hari-hari yang sungguh damai dan tenang. Yena tidak menyangka kondisinya akan seperti ini, dia kira tinggal dengan Arion akan mencekam dan jauh lebih buruk daripada bersama Lucifer. Namun, siapa sangka naga itu tidak sesangar yang ia kira.

Jika tidak sedang pergi keluar, pria itu setiap hari hanya duduk di gazebo, bersemedi dengan damai atau menikmati secangkir teh.

Yena selalu datang untuk hanya sekadar menyapanya ataupun mengobrol ringan dengannya. Meski Arion ternyata memiliki perangai hangat, tetapi tidak ada yang bisa diobrolkan dengannya lebih banyak karena sebagai mahluk langit, dia sangat tertutup tentang latar belakangnya.

Bahkan, ia juga menolak untuk memberitahu Yena nama aslinya.

Saat ini seperti biasa, di gazebo, Arion tengah khusyuk membaca buku di tangannya ditemani secangkir teh harum. Dia tampak seperti putra bangsawan yang elegan.

Sementara itu, Yena sedang sibuk menelfon dengan Rumi.

"Iya aku tau. Pokoknya aku belum bisa kembali untuk saat ini. Aku tidak memberitahu alasannya. Jangan khawatir, aku sungguh baik-baik saja." Yena berusaha untuk meyakinkan lawan bicaranya di sebrang sana.

Cukup sulit untuk menghadapi ocehan Rumi yang terus meminta Yena pulang. Namun, untuk saat ini jangankan pulang, Arion bahkan melarangnya untuk menemui keluarganya atau siapa pun karena suatu alasan.

Setelah berdebat dengan Rumi cukup lama, Yena akhirnya dapat membujuknya.

"Ibumu sedang sakit. Apa pun urusanmu di sana pokoknya kamu harus kembali secepat mungkin," pungkas Rumi mengakhiri omelannya.

"Ia. Aku tau." Yena menutup telponnya kemudian kembali ke gazebo.

"Ibuku sakit. Apa aku sungguh tidak boleh melihatnya? Meski hanya video call saja?" tanya Yena dengan nada mengeluh.

"Tidak. Simbol Lee Shan pada dirimu sedang dalam keadaan kuat dan tidak stabil. Selama emosi Lee Shan belum reda kau tidak boleh menemui manusia biasa mana pun jika tidak ingin membuat mereka celaka," kata Arion tegas.

Yena menggembungkan pipinya resah. Meski sudah pergi jauh darinya tetapi Yena merasa dirinya masih tetap dikendalikan oleh Lucifer. Pergerakan dan orang-orang yang bisa ia temui sangat terbatas karena simbol ini.

Apa boleh buat?

"Jadi, kapan kamu akan membantuku untuk menyingkirkan tanda terkutuk ini? Kamu tidak sedang menipuku 'kan?" Yena berkata secara gamblang. Jujur saja dia sekarang tidak ingin mudah percaya pada orang lain setelah diperdaya Lucifer, terlebih pada Arion.

Arion lantas membantah kewaspadaan Yena, "Tidak seperti Lee Shan, aku tidak tertarik dengan manusia. Kau tenang saja. Aku sudah menghubungi orang yanga bisa membantu kita menemui mahluk itu. Mahluk yang bisa memutus ikatan perbudakan di antara kalian."

Mendengar itu, Yena merasa sedikit lega.

"Kalau begitu kapan kita pergi?" Ia bertanya dengan tidak sabar.

"Tidak semudah itu. Yang akan kita temui bukan mahluk biasa. Bahkan di bangsa naga dia termasuk yang terkuat," kata Arion.

"Ahh jadi dia naga? Apa kalian saling kenal?" Yena mulai ingin mengulik-ngulik kehidupan Arion lagi. Namun, seperti biasa pria itu menutup diri dengan tegas.

"Kau tidak perlu tau."

"Baiklah, Tuan Misterius." Yena mengerlingkan matanya.

Saat ini, dari jarak yang lumayan jauh suara nyaring Leon terdengar. Burung hitam itu terbang mendekat dan langsung berhambur memeluk Yena. Yah, akhir-akhir ini mereka memang semakin dekat.

"Kwakk!! Aku belum makan!" beo Leon. Persis seperti anak kecil yang baru saja pulang main dan mengadu lapar pada ibunya.

"Baiklah-baiklah, ayo masuk dan makan," ajak Yena dengan senang hati.

Mereka kemudian masuk. Di ruang makan yang terbilang besar, Yena menyajikan permen, cokelat, dan susu untuk Leon. Ya, meski seekor gagak dia tetap seorang anak kecil. Sangat suka makanan manis dan malah tidak menyukai makanan manusia lainnya.

Untung saja, Arion adalah mahluk kaya raya. Dia bahkan punya pegawai dan peternakan sendiri di dunia manusia ini. Jadi Yena tidak kesulitan kalau ingin apa pun. Namun, tetap saja tinggal di rumah orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri. Dia ingin pulang secepatnya.

Leon makan dengan lahap. Yena duduk di dan memperhatikan bocah tampan itu dari samping. Melihat Leon dia jadi teringat dengan adiknya yang juga sangat tampan dan menggemaskan. Jika saja Rafael masih hidup dia pasti sudah sebesar Leon sekarang.

Saat sedang asyik memperhatikan Leon begitu, Yena tiba-tiba menyadari ada yang salah dengan cara makan Leon.

Anak itu makan hanya dengan tangan kiri, biasanya juga menggunakan kedua tangan. Yena melihat tangan kanannya hanya tergantung dan tak bergerak.

Dia mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Leon pelan. Sangat pelan tetapi berhasil membuat Leon meringis.

"A-a--hh jangan sentuh itu ...."

"Tanganmu kenapa?" Yena mengerutkan keningnya serius. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak.

"Apakah Lucifer yang melakukan ini padamu?"

"Bukan!" Leon segera membantah. Ia tersenyum masam, "Aku tidak sengaja berpapasan dengan mahluk aneh, dia menabrak lenganku dan seketika membuatnya patah."

"Hanya begitu saja tanganmu langsung patah? Leon, aku tidak percaya kalau kau tidak mengatakan mahluk aneh itu terbuat dari baja." Yena berkata skeptis.

"Sepertinya begitu. Aku tidak pernah bertemu mahluk dengan tubuh sekeras itu. Aku juga tidak sempat melihat wujudnya karena dia sangat cepat." Leon berucap dengan wajah berkerut.

Meski dia tidak terlihat sedang bohong, tetapi Yena tidak bisa mempercayainya seratus persen. Anak ini selalu berusaha menutup-nutupi kejahatan Lucifer.

"Baiklah. Habiskan makananmu. Setelah itu pergilah ke rumah sakit," kata Yena.

"Aku tidak butuh rumah sakit. Lucifer akan menyembuhkanku. Setelah makan aku akan mengobrol denganmu sebentar lalu pulang."

Seminggu ini Yena cukup kesepian, jadi ketika Leon datang dia akan sangat senang karena punya teman mengobrol.

Sore itu, setelah makan Yena dan Leon kembali ke gazebo. Arion sudah tidak ada. Keduanya main catur sembari mengobrol. Sebenarnya Leon sama seperti yang lain, sangat tertutup dan tidak sembarangan menceritakan kehidupannya. Tapi Yena nyaman karena dia adalah pendengar yang baik dan menyenangkan.

Hanya saat setelah hari menggelap, mereka mengakhiri permainan dan Leon pun pulang.

Melihat burung itu terbang menjauh, Yena buru-buru mengambil ponselnya dan mengikutinya.

Terpaksa, ia harus memastikan bahwa Leon benar-benar tidak sedang digertak oleh Lucifer. Yena merasa dirinya agak gegabah, ini sama saja dengan menyerahkan dirinya utuh utuh pada Lucifer, namun ia tidak punya pilihan lain.

Meski matahari sudah mulai tenggelam sepenuhnya, tetapi Soul sama sekali tidak meredup. Yena cukup kewalahan mengejar Leon.

Untungnya, burung itu mengambil jalur yang tidak terlalu ramai di bawahnya, jadi Yena bisa menghindari orang-orang agar tidak terluka oleh simbolnya. Dan juga sepertinya, Yena merasakan simbol ini sudah melemah dan hampir kembali normal.

Sebenarnya jarak dari villa Arion ke tempat itu cukup jauh, namun tidak terasa karena Yena terlalu bersemangat.

Yena masih tidak dapat menangkap di mana letak dan berbatasan dengan mana tempat itu persisnya, perbatasan antara dua wilayah ini sangat kabur. Padahal keduanya masih berada di dimensi manusia. Hanya saja, mungkin karena tempat itu banyak dihuni mahluk halus maka keberadaanya juga menjadi abstrak.

Tepat sebelum memasuki area dingin dan gelap itu, Yena berhenti karena di depan sana Leon juga telah memperlambat kepakan sayapnya, perlahan menukik turun dan hinggap di tangan dari siluet seorang pria.

Yena membeku. Melihat siluet di depan ia merasakan ketakutan dan perasaan lain yang tidak dapat dijelaskan. Sudah hampir dua minggu yah ....

Gadis itu menahan napasnya, berusaha untuk tidak menciptakan suara sehembus pun. Bahkan, jika memungkinkan dia ingin menghentikan detak jantungnya sejenak agar pria itu tidak menyadari keberadaanya.

Namun, mana mungkin tidak? Bahkan suara aliran darah dan napasnya saja Lucifer menghapalnya dengan baik.

Siluet pria rupawan itu mengelus burung yang hinggap di tangannya beberapa kali kemudian membiarkannya terbang pergi, lantas memutar kepalanya dan memamerkan kedua mata merah tajamnya.

Karena ketakutan Yena sampai sedikit menggigil, namun hanya setelah satu kedipan mata sosok itu tiba-tiba menghilang.

"Ke mana dia?" Yena celingukan, sampai suatu hembusan napas dingin yang tidak asing menyapu pundaknya lembut.

"Kau ... merindukanku?"