webnovel

Surga Kecil

Alexandrite, seorang gadis remaja, dijual oleh bibinya ke tempat prostitusi. Demi membayar utang bibinya, Alexa harus menjual dirinya pada para lelaki hidung belang. Namun satu bulan berlalu, Alexa tiba-tiba ditebus dan dibeli oleh seorang pengusaha muda, lalu dipekerjakan sebagai pelayan di kediamannya. “Kenapa Tuan menjadikan saya pelayan di tempat ini?” “Apa kau berharap lebih baik ada orang lain yang menggantikan posisimu sekarang? Lalu kau tetap ada di sana, di tempat pelacuran itu?” Alexa tampak bisa melihat masa depannya yang samar di tempat ini. Tapi apakah dia akan bisa bertahan menghadapi perlakuan dingin dari tuannya? Berapa tahun yang dia butuhkan untuk melunasi semua utangnya? ---- Cover by Kyp005

Mischaevous · perkotaan
Peringkat tidak cukup
493 Chs

Tunggu Sampai Aku Kembali

Ditatapnya sang pelayan lekat-lekat, meskipun pandangan matanya tidak bertemu dengan mata milik sang gadis. Piringnya hanya digenggam, belum melanjutkan untuk melahap potongan kue lainnya.

Tidak perlu seseorang yang kelewat peka untuk tahu bahwa gadis itu tidak sedang bicara jujur. Intonasi suara dan gelagat yang terlihat amat panik seakan hanya menambah kecurigaan yang semakin kuat, cukup untuknya menarik satu kesimpulan.

"Kau sedang ulang tahun hari ini, Alexa."

Meski sesungguhnya Skylar sama sekali tidak ada hak untuk terus mendesak gadis itu soal apakah benar dia sedang berulang tahun atau tidak. Adalah hak dari Alexa apabila ingin tetap bungkam dan tidak memberitahunya apa-apa, sayang saja dia terlanjur penasaran. Terlebih dengan sikap gadis itu yang jelas-jelas terlihat bagai orang yang rahasia besarnya sedang dibongkar oleh penyelidik. Entah mengapa sebuah ulang tahun saja menjadi hal yang harus dirahasiakan darinya.

"Benar?"

Alexa terdiam di tempat, tak langsung menjawab. Jantungnya berdebar keras, entah mengapa. Namun, lama-lama dia merasa tidak sopan karena terus menghindari tatapan sang pemuda. Dia pun menggigit bibir bawahnya.

"… Iya…" jawab Alexa lirih, dibarengi dengan ekspresi seolah dirinya adalah anak kecil yang baru saja ketahuan memecahkan vas kesayangan ibunya.

Alexa memiliki alasannya sendiri mengapa merahasiakan hal sederhana semacam ulang tahun. Itu bukanlah hal besar, dan mengakuinya pun tidak seperti mengakui sebuah kejahatan besar. Tapi bagi Alexa, dia lebih senang jika tak ada yang tahu kapan dirinya bertambah usia.

Saat tinggal bersama sang bibi dan Alexa memberikan satu potong kue padanya, yang dia dapatkan adalah tampikan keras, disusul piring pecah, serta kue yang terjatuh di atas lantai. Bibinya sama sekali tidak senang ketika dia membuat kue hanya karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Wanita itu berdalih jika yang Alexa lakukan hanyalah menghabiskan uang dengan membuat makanan tidak berguna.

Bukan pengalaman menyenangkan, tentu saja. Alexa membuatkan kue hanya karena ingin membagi berkahnya pada orang lain, bukan untuk dicerca dan disalahkan karena menghabiskan uang untuk hal tidak berguna. Memang benar saat itu dia tidak ikut bekerja, tapi bibinya bahkan lebih sering membeli alkohol—yang mana juga merupakan hal paling tidak berguna ketimbang sekadar dibuatkan kue bolu.

"A-ah, tapi saya tidak berharap diberi kado, sungguh! Saya juga tidak memaksa Tuan dengan halus untuk mengucapkan selamat. Sa-saya membuatnya karena ingin saja..." Alexa menggantung kalimatnya. Matanya berkedip cepat, masih menghindari bertemu mata dengan tuannya karena dia akui, dia sedikit takut sekarang.

"… Tapi kalau Tuan keberatan saya membuat makanan seperti ini … saya tidak akan mengulanginya lagi," lanjut Alexa lirih. Rasa takut yang tersisa saat tinggal bersama bibinya masih ada.

"Bukan itu, hanya saja…"

—kenapa tidak bilang?

Skylar sama sekali tidak mempermasalahkan fakta bahwa gadis itu membuat kue atau makanan mewah. Bukan juga karena masakan itu tidak sesuai dengan seleranya. Hanya saja, dia merasa kebingungan, terutama setelah Alexa mengiakan bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. Sebelumnya, Skylar hanya penasaran. Tapi ketika gadis itu telah mengaku, sang pemuda justru tidak tahu harus berkata maupun berbuat apa. Bukankah seharusnya dia bicara sesuatu?

Mendadak isi pikirannya kosong. Apa yang biasanya orang lakukan pada hari ulang tahun? Dia tidak begitu ingat, karena Skylar selalu memperlakukan hari ulang tahunnya seperti hari kerja pada umumnya dan tidak menganggap istrimewa. Tapi bukankah dia harus mengucapkan selamat ulang tahun? Mungkin memberi sesuatu sebagai—

....!!!

Tiba-tiba saja Skylar berdiri dari duduknya, begitu cepat hingga Sophie di sebelahnya ikut melompat dengan siaga dan menyalak keras. Alexa juga kaget, sehingga dia memekik pelan dan bergerak defensif, menghalangi wajahnya dengan kedua tangan yang dinaikkan sebatas kepala.

Namun sang pemuda tidak mempedulikan hal itu dan langsung meletakkan piring berisi kuenya di atas meja. Kuenya masih tersisa banyak, hanya satu potongan kecil yang baru dinikmatinya ketika dia tiba-tiba terlonjak, seakan baru teringat suatu hal yang amat penting, namun kemudian terdiam bagai orang kebingungan.

Jantung Alexa berdetak hebat. Dia mengira akan dipukul atau semacamnya, namun pemuda itu malah diam. Dengan takut, Alexa menurunkan tangannya dan mengintip.

Selang dua detik, barulah Skylar melirik ke arah jam di tangan kirinya. Waktu masih menunjukkan pukul tiga, yang mana membuatnya langsung menyadari bahwa waktunya tidak tersisa banyak. Disambarnya ponsel yang tadi diletakkan dengan asal di atas sofa, juga dompet dan kunci kamar miliknya. Kemudian dia menatap sang pelayan, berjalan mendekat ke arah gadis itu dan menepuk kedua bahunya dengan perlahan. Iris keemasannya masih berusaha menatap mata Alexa.

"T-Tuan, ada apa…"

"Tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Kalimatnya lugas, namun sama sekali tidak menanggapi kata-kata dari gadis itu sebelumnya, bahkan menyela. Tidak juga untuk mengucapkan selamat, meski menyadari dengan penuh bahwa sang pelayan sedang berulang tahun. Tidak pula membahas soal kue maupun memberi konfirmasi mengenai boleh tidaknya gadis itu membuat lagi dessert semacam ini. Hanya satu kalimat tegas yang keluar.

Gadis itu digiring menuju ke sofa dan memaksanya untuk duduk dengan kedua tangannya yang menahan bahu Alexa. Kedua matanya masih menatap wajah sang pelayan dari jarak dekat. "Jangan bereskan kuenya, biarkan tetap di meja. Aku akan memakannya nanti. Kau, diam dulu di situ. Jangan bergerak dan tunggu sampai aku kembali."

Tidak lama setelah berkata dengan nada suara yang meninggi, pemuda itu lantas melepaskan tangannya dan berlari keluar ruangan untuk menuju ke lift. Ditekannya tombol yang mengarah ke bawah, dan pintu itu langsung membuka dengan cepat. Skylar masuk ke dalam lift, menekan tombol ke lantai GF berkali-kali. Kembali dia mengecek jam tangannya dan mengetukkan sepatunya dengan cepat, seolah tidak sabar menunggu sesuatu.

Dan Skylar Fitzroy menghilang di balik pintu lift yang menutup, meninggalkan Alexa yang duduk diam di sofa dengan ekspresi sangat kebingungan.

Beberapa saat setelah pintu lift menutup, Alexa berpandang-pandangan dengan Sophie. Anjing itu malah memiringkan kepalanya dan menyalak pelan.

Alexa tidak tahu kenapa pemuda itu sangat buru-buru, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. Mungkinkah ada panggilan mendadak mengenai pekerjaan? Gadis itu hanya bisa mengangkat bahu dan menghela napas. Percuma, dia tidak bisa membaca pikiran orang.

Dia pun bermaksud kembali bersantai dan menyamankan diri di sofa sambil menunggu. Tapi melihat Sophie yang mendekat ke arah piring kue milik tuannya, Alexa langsung melonjak kaget.

"Sophie, jangan! Ini bukan punyamu!" Hampir saja Alexa melihat kue yang nyaris utuh itu dijilat oleh anjing putih di sana jika tidak cepat-cepat diselamatkan. Dia diperintahkan untuk menunggu dan menjaga kuenya karena akan dihabiskan setelah kembali. Meski di kulkas masih tersisa banyak, dia tetap tidak akan membiarkan seandainya kue di meja malah berhias sisa gigitan dari Sophie, atau malah tidak tersisa sama sekali.

Hewan berbulu putih itu lantas menyalak, seolah mengajukan protes padanya. "Tidak," balas Alexa, dan kembali disahut dengan salakan. Ekor Sophie bergoyang cepat, menandakan ia tengah berharap diberi apa yang Alexa pegang sekarang. Bahkan dua kaki depannya kini sudah bertumpu pada lututnya.

"Sophie, duduk!"

Sebuah hal yang melegakan karena anjing itu mau menurut padanya. Hela napas lega meluncur dari bibirnya, dan Alexa kembali menyandarkan punggungnya. Entah dia harus menunggu berapa lama. Dia juga tidak tahu tuannya pergi kemana. Yang bisa dilakukannya hanya duduk dan menunggu.

Kepalanya menoleh pada jam dinding tak jauh dari sana. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Belum lewat lima menit sejak tuannya pergi dari sana. Perkiraan waktu 30 menit mungkin terlalu cepat.

Sembari menonton televisi, Alexa terus mengira-ngira kapan pemuda itu akan kembali. Tanpa sadar, rasa lelahnya karena bekerja keras seharian pun menumpuk kembali karena merasa nyaman duduk di sofa.

Entah sejak kapan, Alexa memejamkan matanya dan jatuh ke alam bawah sadar.