webnovel

Saran Gila dari Diandra

Pagi hari menjelang, Ilene kembali memegang kepalanya yang makin berputar. Helaan nafasnya terdengar berat dan penuh beban, namun ia memilih bangkit berdiri dibanding terus menerus menyesali nasibnya. Tidak akan ada yang berubah meski ia terus merutuki seluruh kesialan yang menimpanya.

Ilene melangkah rapuh, dipandangnya ranjang sebelahnya yang kembali kosong. Mungkin Darrel telah pergi berangkat ke kantornya pagi sekali seperti yang biasa ia lakukan. Pria itu bahkan tidak mau repot-repot untuk memberikan kecupan selamat pagi untuk istrinya. Ilene mendesah berat, apa yang ia harapkan dari seorang pria yang abnormal seperti itu?

Ilene menggeleng cepat, ia tidak boleh terus terpuruk, diambilnya benda mungil yang berada di samping nakas. Ia harus melarikan diri sejenak dari semua beban ini. Ilene segera mengetik sesuatu di kontaknya lalu menempelkan benda itu ke arah telinga.

"Hallo Len? Tumben telepon? Bukannya lagi sibuk honeymoon?"

Suara melengking khas Diandra segera menyambutnya saat nada panggilan itu baru berbunyi. Ilene mendengus mendengar candaan sahabatnya yang asal. Ia menggigit bibir kuat, menahan seluruh kesakitan yang kembali menyergapnya. Honeymoon? Darrel pasti akan kabur terlebih dulu sebelum ia merencanakan suatu honeymoon.

"Ra, gue butuh loe. Ketemu bisa?" Suara Ilene yang gemetar menandakan seluruh kerapuhan yang ia miliki saat ini. Seluruh beban di benaknya membuncah, memaksa untuk keluar. Ia butuh melepaskan seluruh kesakitan ini, ia butuh seseorang mendengarkan seluruh kepahitan nasibnya.

"Hei, Len. Are you okay?" Diandra mendesah cemas.

Ilene kembali menghela nafasnya panjang, dalam kehampaan kamar pengantinnya, ia terisak dalam lalu memukul seluruh dadanya yang terasa perih. Sesulit inikah menerima takdir buruk yang menimpanya?

"Len? Loe gapapa kan?" Diandra kembali menyuarakan rasa cemasnya.

"I'm not okay, Ra." Ilene kembali terisak, memberi tahu seluruh dunia bahwa ia memang sedang kacau. Dunianya hancur kemarin dan entah itu bisa diperbaiki atau tidak.

"Loe ada waktu kan?" Ilene kembali bertanya, takut-takut sahabatnya itu memang banyak kegiatan yang tidak bisa ditunda.

"Ada, ada banyak. Mau ketemu dimana?" Diandra menyambung pertanyaan Ilene dengan cepat, seolah-olah takut Ilene merubah pikirannya.

"Kita ketemu di tempat biasa aja, Ra." sahut Ilene pasrah.

"Oke, gue siap-siap dulu sekarang,"

Ilene mengangguk kecil lalu mengakhiri panggilan itu. Ia kembali berdiri, mendoktrin dirinya sendiri berkali-kali bahwa ia bisa melewati ini semua. Dengan gontai, ia memaksakan kakinya melangkah menuju kamar mandi. Ayo, Len. Kau harus kuat, kau bisa. ucapnya lebih kepada dirinya sendiri.

****

Ilene akhirnya sampai di cafe Georgius, tempat favoritnya bersama Diandra. Biasanya, ia akan memesan minuman Carramel Machiato kesukaannya, namun kali ini seleranya menyeruput minuman itu hilang. Ia lebih memilih minuman yang lebih simple, lemon juice yang asam, layaknya hidup yang ia rasakan.

"Udah nunggu lama?"

Ilene tersentak, ia mendongakkan wajahnya dari gelas minuman yang ia aduk-aduk tidak karuan. Ilene segera menebar senyum tipis, saking kalut pikirannya ia sampai tidak sadar bahwa Diandra sudah datang.

"Kusut banget muka loe,"

Komentar Diandra memang tidak sepenuhnya salah, wajah Ilene sama sekali tidak menarik hari ini.

"Jadi ada apa, Sayang?" Diandra mulai bertanya dengan lembut, ia menatap Ilene lurus seolah mencari alasan dari seluruh duka yang gadis itu rasakan.

Ilene membuka mulutnya yang setengah kering dengan ragu. Bukannya ia tidak mempercayai sahabatnya, tapi ia belum siap menerima tatapan kasihan yang ditampakkan oleh orang-orang.

"Len, loe bisa cerita apapun ke gue, loe tau itu," Seluruh sikap konyol yang sering ditunjukkan Diandra lenyap hari itu, ia menggamit tangan sahabatnya lalu mengusapnya lembut.

Ilene kembali mengulas senyum tipis, ia menghela nafasnya berat lalu kembali membuka mulutnya.

"Ada masalah di pernikahan gue Ra, karena loe sahabat gue dan loe udah nikah lebih lama dari gue, gue pikir loe punya solusinya." terang Ilene.

Diandra terlihat mengangkat alis, mungkin heran. Bagaimana mungkin pernikahan yang baru dijalani beberapa hari sudah mengalami permasalahan yang begitu pelik?

"Oke, gue bisa jadi pendengar yang baik meski gue belum yakin gue bisa ngasih solusi seperti yang loe pikirkan," Sahut Diandra lembut.

Ilene kembali mengangguk menjawab kekhawatiran yang dipikirkan sahabatnya. Sebenarnya ia juga tidak terlalu berharap banyak jika seseorang dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ia miliki, namun hatinya terasa sesak memintanya untuk mengeluarkan seluruh unek-unek yang ia rasakan. Setidaknya dengan berbincang dengan Diandra, ia bisa mengurangi sesak itu.

"Loe jangan kaget ya Ra," Ilene kembali memperingatkan. Ia menatap lurus pada sahabatnya yang kini mencodongkan tubuh, menunggu perkataan Ilene selanjutnya.

Ilene kembali menarik nafasnya lalu menghembuskannya kasar, "Ra, Darrel punya penyakit."

Kening Diandra tertaut mendengar perkataannya, "Penyakit? Parah?"

Ilene menggeleng kecil, "Gue gak tahu. Tapi, penyakit ini bukan penyakit biasa. Loe tahu penyakit Genophobia?"

Diandra kembali mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Ilene, "Geno- apa?"

"Genophobia, Ra. Loe gak tahu?"

Diandra menampilkan cengiran kecil lalu menggaruk-garuk tengkuknya, "Sorry Len, gue gak tahu. Penyakit apaan sih?"

Ilene kembali menghela nafasnya panjang, terpaksa ia harus menjelaskan kembali tentang penyakit itu pada sahabatnya.

"Apa? Jadi dia gak bisa ngasih nafkah batin ke loe gitu?" Diandra terlihat sangat terkejut dengan penuturan Ilene. Ia menaikkan suara melengkingnya hingga ke level paling tinggi membuat Ilene refleks membekap mulut Diandra panik.

"Jangan keras-keras Ra, malu!"

Peringatan Ilene membuat Diandra akhirnya kembali memberikan cengiran khasnya. Merasa menyesal karena telah bertindak ceroboh di tempat umum.

Ilene menggelengkan kepalanya berkali-kali melihat tingkah Diandra yang selalu mengejutkan.

"Terus gimana? Loe mau mempertahankan pernikahan kaya gitu? Loe yakin, Len?" Tanya Diandra. Kali ini nada suaranya dibuat sepelan mungkin.

"Ya, terpaksa." desah Ilene pasrah, "Bokap minta cucu dan gue sama Darrel sepakat untuk melanjutkan pernikahan ini selama setahun."

"Gila!" Tidak ada lagi perkataan yang bisa diucapkan Diandra selain ini. Ia terlalu bingung menggambarkan bagaimana kondisi pernikahan Ilene yang gawat.

"Makanya gue mau minta saran dari loe. Mungkin loe sama Ikbal pernah mengalami semacam ini, Ra. Maksud gue bukan soal penyakitnya, mungkin Ikbal pernah gak mood ngelakuin "itu", loe ngerti kan?"

Diandra mengangguk kecil, sepenuhnya paham atas pertanyaan yang diajukan Ilene. Ia menopang dagunya di atas tangan, terlihat berpikir keras.

"Udah pernah pakai baju lingerie yang gue kasih?" Tanya Diandra langsung.

Wajah Ilene langsung memerah mendengar pertanyaan Diandra. Ia teringat kejadian kemarin malam dimana penolakan itu terjadi.

"Udah, gue udah coba pakai, tapi loe tau sendiri lah gimana akhirnya," ucap Ilene, enggan menjelaskan secara detail kejadian memalukan itu.

Diandra kembali menganggukkan kepalanya, "Darrel udah gak ketolong. Biasanya Ikbal langsung nyosor begitu gue pake baju sexy,"

Ilene bersungut-sungut mendengar komentar Diandra. Tentu saja Ikbal adalah pria dewasa yang normal berbeda dengan suaminya.

"Kalau gitu, gimana dengan obat perangsang? Loe pernah nyoba?"

Mata Ilene terperangah mendengar perkataan Diandra. Obat perangsang? Apa Diandra sudah gila menyarankannya memakai obat perangsang pada suaminya sendiri?