5 Sebuah Kesepakatan

Cucu? Apa ia tidak salah dengar? Ayahnya meminta cucu pada mereka? Tapi bagaimana mungkin mereka bisa memberikan cucu jika keadaan Darrel tidak memungkinkan untuk itu.

Ilene hanya terdiam, ia kebingungan menanggapi perkataan Ayahnya, begitu pula dengan Darrel. Suaminya hanya tertunduk selama beberapa saat.

"Kenapa? Apa permintaan Ayah berlebihan?" Tanya Ayahnya lagi.

Ilene menarik nafasnya, lebih baik ia menolak permintaan Beliau daripada nanti ayahnya semakin berharap pada mereka, "Tidak, bukan begitu. Kami tidak..."

Kata-katanya tergantung saat tiba-tiba Darrel menyenggol lengannya, mata Ilene mengerjap, ia menatap Darrel bingung. Ada apa sih? Kenapa pria itu malah menghentikan perkataannya, bukankah dia sendiri yang bermasalah akan hubungan ini?

"Kami akan berusaha mewujudkannya," sanggah Darrel cepat. Mulut Ilene ternganga mendengar ucapan Darrel pada ayahnya. Apa Darrel sudah tidak waras? Bagaimana mungkin mereka memiliki anak jika pria itu sama sekali tidak ada hasrat untuk menyentuhnya. Itu sama saja meminta hal yang tidak mungkin.

"Kami akan berusaha asal Ayah juga berusaha untuk cepat sembuh," Tambah Darrel lagi.

"Ayah jadi lega mendengarnya," balas ayahnya dengan senyuman lebar. Ilene hanya bisa diam melihat pancaran kebahagiaan tercetak jelas di wajah ayahnya. Darrel sendiri tidak berkata apapun lagi dan hanya terdiam, entah apa yang pria itu pikirkan. Ilene menghela nafasnya berat, keadaannya menjadi lebih rumit dari yang ia kira.

****

"Apa maksud kamu berkata seperti itu pada Ayah, Mas?" Tanya Ilene cepat saat mereka telah kembali ke rumah sore harinya.

Awalnya Ilene enggan kembali ke rumah dan ingin menemani ayahnya saja di rumah sakit. Namun, ibunya memaksa, menurutnya tidak baik jika Ilene menelantarkan kebutuhan suaminya saat ini. Melinda hanya bisa pasrah lalu mengajak Darrel untuk pulang. Ibunya tidak tahu saja bahwa suami yang harus ia turuti ini adalah penipu ulung.

Darrel menghela nafasnya mendengar omelan Ilene, "Tidak bisakah kamu membiarkan aku istirahat dulu?" keluh Darrel sambil melemparkan tubuhnya ke sofa.

Ilene berdecak lalu ikut duduk di samping Darrel, "Kita harus membicarakan ini Darrel, kamu tidak bisa menghindar terus," tekan Ilene jengah. Rasa hormatnya kepada Darrel sebagai istri terkikis akibat kebohongannya. Kepalanya terasa akan pecah karena terlalu banyak masalah yang ia terima secara bersamaan. Tidak ada jeda baginya untuk sekedar bernafas, ia merasa sangat sesak.

"Lalu menurutmu aku harus menjawab apa pada Ayahmu? Bilang bahwa aku memiliki kelainan dan tidak bisa memberimu anak? Ayahmu pasti terkena serangan jantung susulan jika aku berkata seperti itu," Tukas Darrel membela diri.

Ilene kembali menghela nafasnya berat, Darrel memang benar, mereka tidak memiliki pilihan lain selain menuruti permintaan Beliau.

"Baik, kita buat perjanjian saja,"

Darrel mendongakkan wajahnya mendengar perkataan Ilene, ia menegakkan tubuhnya untuk mendengarkan perkataan istrinya lebih seksama, "Maksud kamu? Perjanjian apa?"

"Aku ingin kamu berusaha sungguh-sungguh menjalani kewajibanmu sebagai suami, aku juga akan melakukan hal sebaliknya. Kita lakukan pernikahan ini selama satu tahun dan juga kita akan berusaha untuk memiliki anak seperti permintaan Ayah," Jelas Ilene.

Darrel menatap Ilene seolah-olah perkataan Ilene adalah hal terkonyol yang pernah ia dengar. "Are you serious? Bagaimana kita memiliki anak jika menyentuhmu saja aku tak mampu," Tanya Darrel sinis.

Ilene menepuk kepalanya keras, "Itu yang aku maksud, kamu berbohong dan bilang kepada Ayah kalau kamu akan berusaha mewujudkan keinginannya memberinya cucu. Tapi, kamu sendiri tidak yakin dengan ucapanmu. Lihat aku Mas, kamu harus bertanggung jawab atas semua kata-katamu tadi, kamu harus memberiku anak," tekan Ilene kesal.

Darrel menggeleng kuat mendengar ide konyol dari Ilene. Memiliki anak? Itu mustahil bagi orang yang memiliki kelainan sepertinya, "Tidak, aku tidak bisa memaksakan diri untuk menyentuhmu,"

Emosi Ilene terpancing, ia terpaksa mencekal kerah baju Darrel. Pria itu yang telah membawanya ke neraka ini, bagaimana mungkin dia mencuci tangannya begitu saja setelah perbuatan jahatnya ini?

"Aku jatuh kemari karena dirimu, setidaknya kamu harus membalas atas semua bantuanku ini, Mas!" ucap Ilene geram.

Ilene kembali menarik tangannya, ia menghela nafas panjang, mencoba mengontrol emosinya yang kembali naik. Berkali-kali ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa Darrel masih berstatus sebagai suami yang harus ia hormati.

Darrel terlihat terkejut dengan aksi Ilene yang emosional, ia mengangkat tangannya meminta Ilene untuk tenang, "Baiklah, tenang. Aku mengerti. Tapi, bagaimana jika kita tidak berhasil menjalani hubungan selama satu tahun ini? Bagaimana jika aku tidak juga sembuh?"

Ilene menundukkan kepalanya, kemungkinan buruk yang dikatakan Darrel memang bisa saja terjadi, "Maka aku akan meminta kamu menceraikanku, mana mungkin aku bertahan dengan pria yang sama sekali tidak bisa memberikan aku nafkah batin," Tukas Ilene yakin. Ia mengulurkan sebelah tangannya kepada Darrel sebagai tanda kesepakatan mereka, "Kita sepakat?" Tanyanya untuk ke sekian kali.

Darrel terlihat masih ragu, namun ia tidak bisa memiliki pilihan saat melihat tatapan Ilene yang mengancam. Dengan enggan, ia membalas jabatan tangan Melinda.

"Terserah kamu saja," ucap Darrel akhirnya menyerah.

Ilene mendesah lega setelah Darrel terlihat setuju dengan usulnya. Meski ia sendiri tidak yakin bahwa rencananya akan berhasil, tapi setidaknya mereka harus berusaha. Pantang baginya jika menyerah begitu saja disaat ia terjebak dalam pernikahan ini. Saat ini ayahnya dalam keadaan tidak stabil, ia tidak mungkin memberikan kabar perceraian begitu saja. Jika ia tidak berhasil membuat Darrel sembuh, setidaknya ia memiliki waktu yang cukup sampai ayahnya pulih. Ayahnya akan lebih kuat saat ia bertekad untuk bercerai nanti.

"Kamu harus menjalankan terapimu secara rutin, akan aku jadwalkan pertemuanmu dengan Dokter Daniel nanti," terang Ilene.

Darrel hanya bisa menganggukkan kepalanya pasrah. Sepertinya ia sudah salah memilih Ilene sebagai pasangan sandiwaranya. Seharusnya ia memikirkan hal ini lebih panjang lagi sebelum ia menikahi wanita itu. Ia pikir ia bisa meminta bantuan pada Ilene seiring berjalannya waktu, namun ternyata ia salah. Ilene malah memaksanya menjadi pria normal yang akan memberinya anak.

Darrel terkesiap saat ponselnya bergetar tiba-tiba. "Aku harus ke kamar mandi," dalihnya lalu pergi ke samping ruangan untuk menjauh dari Ilene. Ia segera mengeluarkan ponselnya dengan cepat, matanya melebar saat melihat siapa yang memanggilnya kali ini.

Ia melirik ke arah Ilene yang tengah menundukkan kepalanya. Aman, sepertinya Ilene sedang pusing sendiri dengan rencananya dan tidak memperhatikan sekitar.

Ia segera menggeser layar sentuhnya ke arah tanda diall. Dengan senyuman lebar, ia mengangkat benda itu ke arah telinga lalu berkata dengan nada lembut, "Hallo Kak Mel, Ah, makan malam kita? Aku ada urusan darurat hari ini, bagaimana jika kita jadwalkan ulang esok hari? Ya, baiklah, aku juga sangat menantikannya,"

Darrel menutup panggilan itu sambil masih memasang senyuman lebar. Ilene tidak mengetahuinya, tidak semua perempuan ia hindari dan ia benci. Hanya Melinda, satu-satunya perempuan yang bisa membuatnya nyaman dan tidak merasa terancam. Ya, hanya dia, tidak ada yang lain.

avataravatar
Next chapter