Gelas yang dibawa Khaibar terlolos begitu saja dari tangannya dan pecah menjadi bagian sangat kecil berceceran di lantai, karena syok melihat ibunya yang kejang-kejang. Khaibar menangis mendekat ke arah ibunya dan menggoyangkan badan ibunya.
"Bu, Ibu, bangun! Ibu berjanji kan tadi gak akan meninggalkanku, bangun Ibu, banguuuun!" Dengan cepat Khaibar memencet alat pemanggil dokter.
Dokter pun datang bersama suster dengan membawa banyak alat. Ia akhirnya melakukan CPR juga, karena jantung Khazanah sangat lemah.
"Dok, apa Ibu saya bisa disembuhkan?" Dokter tak menanggapi ucapan Khaibar. Ia hanya mengibaskan tangannya agar Khaibar sedikit menjauh.
"Pak, tolong, anda menjauh dulu, kami akan melakukan yang terbaik, saat ini detak pasien lemah, jadi harus melakukan CPR."
Khaibar mengangguk. Air matanya terus menerus membasahi pipinya. Mulutnya berkomat-kamit merapal doa dengan tangan yang dikatupkan ke atas.
'Izinkanlah Ibuku hidup Tuhan, izinkahlah aku mohon, aku ingin membahagiakannya, atau kalau enggak ganti saja dengan nyawaku.' Batin Khaibar. Ia tak kuasa melihat ibunya yang disiksa dengan alat itu.
Bagi Khaibar itu alat penyiksa dan menyetrum hingga menembus alam mimpi. Pasti sakit apabila terkena alat itu. Akhirnya Khaibar ke luar dari ruangan ibunya dan duduk di kursi tunggu saja.
Tangannya saling menggenggam satu sama lain dengan keringat dingin yang membasahinya. Sungguh tubuhnya gemeteran membayangkan yang tidak-tidak akan terjadi kepada ibunya.
Tak lama kemudian. Dokter pun keluar dengan wajah yang tak bisa ditebak. Khaibar langsung berdiri dan menghampiri dokternya.
"Bagaimana, keadaan ibuku, Dok?" tanya Khaibar.
"Kamu harus sabar ya, Pak, ibumu dia— dia saat ini kritis," balas dokter yang membuat Khaibar melemas seketika.
"La—lalu, apa yang bisa saya lakukan, Dok? Apa ada cara lain?" Suara Khaibar saat ini benar-benar sangat lirih, seperti tak bersemangat lagi dan separuh hatinya pergi.
"Mungkin dengan jalan operasi bisa membantu menambal kebocorannya, karena disamping batu empedu dan ginjal, ibu kamu juga punya riwayat penyakit jantung, jantungnya sedikit bocor, jadi penyakitnya sungguh menyiksanya karena komplikasi," terang dokter yang tak tega juga kepada Khaibar.
"Operasi? Apa dengan jalan operasi bisa berhasil, Dok?" tanya Khaibar terus dan terus.
"Sepertinya operasi itu hanya menyembuhkan jantungnya saja dan bisa bertahan hidup, tapi sakitnya yang lain sudah tak bisa diobati lagi karena sudah parah, yang kita lakukan hanya bisa pasrah dan semoga ada keajaiban, jadi terserah anda saja kalau mau operasi silahkan kalau tidak silahkan, tapi kalau tidak operasi mungkin tak lama dia akan meninggal, karena manusia tak bisa bertahan lama dengan jantung yang bocor, kalau ginjal bisa bertahan dengan cuci darah meskipun juga gak bisa menjadi jaminan," jelas dokter panjang lebar. Khaibar hanya menghela nafasnya dan menatap dokter dengan nanar.
"Baiklah, Dok, tolong jaga ibuku dulu ya, saya akan mencari uangnya terlebih dahulu," pamit Khaibar dengan meminta pertolongan kepada dokter. Dokter mengangguk. Tersenyum dan Khaibar pun berlari dengan kencang.
Dia mengendarai motornya setelah sampai di parkir depan. Lalu melaju dengan kencang untuk menuju ke rumahnya.
Sesampainya di rumah. Khaibar menoleh kian ke mari dan membuka lemari tua untuk mencari surat rumah yang akan digadaikannya, beserta BPKB sepeda bututnya. Rasanya Khaibar sudah kehabisan akal karena tak punya uang sebanyak itu.
Khaibar mengendarai motornya dengan surat-surat berharga itu menuju Kodrun sang bos rentenir yang terkenal sangat kaya dan sangat jahat itu. Dia tak ada pilihan lain.
"Assalamu'alaikum, Pak Run, Pak!" panggil Khaibar dengan tergesa-gesa.
"Halo Khaibar? Ada apa? Tumben kamu datang ke mari, biasanya kamu enggan dengan sombongnya gak akan meminjam ke mari, tapi sekarang untuk apa kamu ke mari haha," seru Kodrun dengan bangganya dan tertawa senang, karena kali ini Khaibar kalah dan dia yang menang.
"Maafkan saya, Pak Run, telah mengganggu waktu, Bapak, saya ke sini hanya menggadaikan rumah dan motor saya, saya gak berniat berhutang, hanya saja kalau nanti saya ada uang pasti kok langsung saya kembalikan, dan aku tebus lagi surat-surat itu," sangkal Khaibar. Dia memang tak suka berhutang, jadi dia menggadaikan saja, tapi bagi Kodrun itu sama saja, yang penting adalah uang dan uang.
"Oke, boleh, kamu mau berapa?" tawar Kodrun yang sudah bersiap mengambil uang atas bantuan anak buahnya yang ada di sampingnya dan mengibaskan tangannya.
"Bisakah Anda memberi saya uang 1 milyar?" ucap Khaibar dengan ragu. Karena ia takut ditolak mentah-mentah. Uang 1 milyar itu sangat banyak, jika dilihat dari rumah yang sempit dan motor butut itu tidak akan mampu menutupi gadainya.
"1 milyar? Apa aku gak salah dengar! Bahkan misal ada yang membeli rumahmu dan motor butut itu pasti hanya dihargai cuma 100 juta, jelek begitu, mana ada yang mau orang membayar 1 milyar, enggak-enggak, aku akan memberimu uang 500 juta saja, kalau kamu tidak mau, kamu bisa pergi!" ucap Kodrun disertai usirannya yang ganas. Ia sedari tadi merokok hingga asapnya mengepul dan tertelan Khaibar sampai Khaibar batuk-batuk saja.
Khaibar berfikir sejenak, kalau begitu dia berarti akan mencari sisa setengahnya lagi, mungkin dia bisa membayar biaya operasi sementara waktu dengan setengah itu.
"Jangan berfikiran lama! Aku tak punya banyak waktu dan tak suka menunggu!" sentak Kodrun membuat Khaibar gelagapan.
"Ba—baiklah, aku setuju, deal." Khaibar akhirnya menyetujuinya dengan memberikan surat-surat berharganya. Ia menandatangani secarik kertas yang disodorkan oleh Kodrun yang ada di atas meja itu.
Setelah itu Kodrun pun memberikan sekoper uang itu atas bantuan anak buahnya. "Ingat ya dalam jangka waktu 5 bulan, kalau kau tak bisa menebusnya semua akan menjadi milikku."
"Oke, hmmm baiklah, terima kasih Pak Run, saya permisi dulu." Khaibar pun berjalan cepat. Ia mengendarai motornya kembali menuju ke rumah sakit.
Dalam perjalanan ia berfikir dan membatin. 'Bagaimana aku bisa melunasi dalam waktu sesingkat itu? Maafkan aku, ibu, aku terpaksa, aku tak mau ibu meninggalkanku.'
Akhirnya Khaibar sampai juga di rumah sakit. Ia berlari menghampiri tempat administrasi.
"Selamat siang, Mbak, maaf saya mau membayar biaya operasi atas nama ibu Khazanah, berapa?" tanya Khaibar dengan nafas yang terengah-engah karena capek mondar-mandir.
"Sebentar, Pak, saya cek dulu," balas suster yang menunggu bagian administrasi itu. Ia mencari tulisan nama di komputer yang ada di depannya. Saat sudah menemukannya suster itu menatap Khaibar kembali.
"Totalnya 500 juta, Pak."
"Alhamdulillah uangnya pas, ini Mbak." Khaibar bisa bernafas lega. Ia lalu berfikir mencari kelanjutannya untuk cuci darah ibunya, pengobatan lainnya dan penebus gadainya.
"Terima kasih, Mbak, saya permisi dulu," pamit Khaibar setelah menyelesaikan pembayarannya.
"Sama-sama, Pak."
Khaibar pun pergi ke tempat ruang tunggu di mana ibunya akan di operasi. Ia duduk dengan mencengkeram kepalanya erat.
"Aaaaaaaaa."
Oh ya kenapa Khaibar tidak punya BPJS? Karena dia orangnya kuper dan tidak mau mengaktifkannya, dia polos dan cuek, sama halnya di dunia nyata, banyak yang seperti itu. Jadi bukan berarti kantoran punya BPJS semua, tidak? Kalau tidak mau mengaktifkan pastinya tidak punya, terimakasih sudah mampir, unch selalu