3 Gelisah

"Auw. Punya mata gak siiih!" ucap seorang gadis bertubuh gemulai dan berbaju ketat saat Khaibar menabraknya di Koridor rumah sakit. Matanya sungguh melotot karena geram dengan Khaibar. Bajunya diusap-usapnya seperti jijik apabila tersentuh orang lain. Ia terjerembab dengan kaki sedikit terkilir karena high heelsnya berukuran 10 sentimeter patah sebelah.

Khaibar pun menunduk dan menatapnya, mencoba membangunkannya dengan tangan yang diulurkan. "Mari, Mbak, saya bantu." Namun, dia menepis tangannya dengan sangat kasar.

Keluarlah makian pedas dari mulutnya. "Gak usah sok baik padaku! Kamu mau apa hah tabrak-tabrak aku? Mau modus? Mau kenalan sama aku? Terus minta uang? Hih menjijikkan, dasar gembel!"

Rasanya Khaibar ingin menjotosnya bahkan menyumpal mulut dia saja. Padahal kan Khaibar tidak sengaja menabraknya kok sampai segitunya, dasar orang kaya, kenapa apes sekali hidup Khaibar itu, gak ada mulus-mulusnya rasanya.

"Ya sudah kalau tak mau dibantu, sekali lagi saya minta maaf, saya permisi, Mbak, ada keperluan lain." Khaibar berpamitan, seraya menganggukkan kepalanya tanda sopan santun. Baru beberapa kali melangkah. gadis itu berteriak kembali.

"Heeey kau! Tidak sopan! Bantuin dong, gendong aku atau bagimana? Kamu gak punya rasa tanggung jawab sekali sih ... cowok apaan main pergi begitu saja!" sentak gadis itu. Khaibar berbalik kembali dan berjalan mendekati gadis itu dengan lesu.

Tangannya terulur dan menunduk. Ia pun akhirnya menggendong gadis gak jelas itu dengan sangat hati-hati. Nafas Khaibar begitu kasar karena menahan kemarahan yang bergejolak di hatinya.

"Apa kamu ikhlas? Kenapa nafasmu seperti mengumpatiku dengan ganasnya?"

"Hmmmm, iya, Mbak, saya sangat ikhlas, mau dibawa ke mana nih Mbaknya? Apa mau saya anter ke rumah atau bagaimana?" tanya Khaibar dengan lembut. Khaibar tak mau berdebat. Dia membenci itu, karena ibunya mengajarkan dengan orang asing siapa pun itu harus lembut biar gak menjadi musuh, begitu pesan dari ibunya.

"Antar aku ke mobilku saja, mobilku ada di ujung sana, ngomong-ngomong kamu mau ke mana kok tergesa-gesa?" Gadis itu benar-benar penasaran dengan Khaibar, awalnya emang dia jijik, tapi melihat Khaibar yang penurut ia suka sekali mengganggunya.

"Ibuku sakit," balas Khaibar singkat. Khaibar semakin mempercepat langkahnya. Dan sampailah di mobil gadis itu. Khaibar pun memasukkan gadis itu ke dalam mobil dengan lembut, dengan bantuan supirnya yang membukakan pintunya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, maaf sekali lagi, Mbak," pamit Khaibar begitu saja tanpae memandang gadis itu sedikit pun. Pikirannya sungguh kacau jadi Khaibar tak tergoda dengan gadis itu sedikit pun.

"Heeey gembeeel, nama kamu siapa? Heeeey," teriak gadis itu dengan sekuat tenaga, tapi sudah tak didengar oleh Khaibar karena sudah sangat jauh.

"Menjengkelkan! Siapa sih dia, sepertinya dari kalangan gembel, tapi dia cakep juga sih, meskipun sederhana begitu, ahhh, tapi masih cakep Kevin menurutku," celoteh gadis itu yang masih menatapi Khaibar yang sudah tak nampak di pelupuk mata.

"Jalan, Pak!" Gadis itu pun pergi menjalankan mobilnya, setelah memerintahkan supirnya.

Sementara Khaibar. Setelah dia membayar administrasi. Dia gelisah menunggu ibunya yang masih berada di ruang pemeriksaan. Dan beberapa menit kemudian. Dokter pun keluar dengan helaan nafasnya.

"Keluarga ibu Khazanah?" tanya dokter kepada Khaibar yang tepat di depan pintu.

"Iya, Dok, saya, bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" balas Khaibar seraya melirik ke dalam melihati ibunya yang berbaring dan berwajah pucat.

"Begini, Ibu Khazanah mengalami kerusakan batu empedu, sehingga mengakibatkan ginjalnya rusak, sedangkan ginjal yang satunya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi," terang dokter dengan mengusap-usap bahu Khaibar. Karena dokter melihat wajah Khaibar yang sudah berubah mendung.

"Separah itu kah, Dok? Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok? Apa harus melakukan pencangkokan ginjal? Kalau iya ambil ginjalku saja, Dok," ucap Khaibar dengan kepanikan dan sudah bersiap meraih tangan dokter dan menariknya.

"Ginjal tak semua cocok, Pak, meskipun kadang anaknya sekali pun, meskipun juga kalau sudah pencangkokan ginjal sepertinya akan sama, karena mengingat kondisinya sudah sangat lemah, yang bisa dilakukan hanyalah berdoa dan menunda hidupnya hanya 1% saja, dengan mencuci darahnya," lanjut dokter menjelaskan dengan serius. Dokter sangat menyesal dengan yang ia ucapkan, tapi bagaimana lagi ini adalah tugas dan semua juga kembali kepada-Nya.

"Apa, Dok? Tidak, Dok, jangan Dok, saya mohon sembuhkan Ibuku, berapa pun biayanya, saya tak mau menjadi sebatangkara, Dok, hanya Ibu saya yang saya punya." Ucapan Khaibar sungguh terdengar hingga ke ruang ibunya.

"Baiklah, Pak, saya akan berusaha semaksimal mungkin, semoga ada keajaiban."

"Lantas butuh uang seberapa banyak, Dok?" tanya Khaibar yang penasaran, karena deposito dan uang pesangonnya hanya beberapa saja dan belum banyak.

"Sekitar 1 milyar, Pak." Mendengar itu seketika Khaibar langsung lemas dan terduduk dengan melongo.

"Bapak gak apa-apa?" tanya dokter dengan mengulurkan tangannya, mencoba membantu Khaibar untuk berdiri.

"Apa, Dok? Sa—satu milyar?" Dokter mengangguk. Khaibar pun menerima uluran tangan dokter. "Terima kasih, Dok."

"Kalau begitu, saya permisi." Khaibar hanya mengangguk dan mematung menatapi kepergian dokter. Namun Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah uang dan uang, bagaimana caranya mengumpulkan uang dan cepat terkumpul banyak.

Khazanah yang mendengarnya sedari tadi karena sudah tersadar, ia pun menangis pilu, sambil memegangi dadanya yang sakit juga tercekat meratapi penyakitnya dan juga kehidupan anaknya. Ia sungguh iba kepada Khaibar apabila ia meninggalkan Khaibar untuk selamanya.

'Ya Allah, apabila aku mati, tolong izinkan aku melihat Khaibar menikah terlebih dahulu, itu saja keinginanku, aku ingin melihatnya tersenyum bahagia. Setelah itu aku ikhlas apabila meninggalkannya.' Batin Khazanah dengan mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.

Khaibar pun akhirnya mengerjap setelah lama mematung. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan berusaha tenang. Nafasnya diatur agar tak terlihat kacau saat menemui ibunya. Ia pun akhirnya masuk ke dalam ruangan Khazanah dengan senyuman yang dipaksakan.

"Halo, ibu? Ibu kenapa gak bilang sih kalau sakit? Khaibar kan sayang Ibu tau," sapa Khaibar dengan ceria. Ia memang selalu begitu, sejak kecil hingga dewasa selalu manja kepada ibunya, tak pernah ada yang ditutup-tutupi, Khaibar begitu sangat menyayangi ibunya.

"Maafkan Ibu, Nak, maaf Ibu sungguh merepotkanmu." Khaibar menggeleng, lalu memeluk ibunya yang terbaring lemah itu. Matanya dipejamkan dan meresapi pelukan hangat ibunya.

'Bisakah aku merasakan pelukan ini hingga aku menua? Apakah bisa? Tuhaaan berikanlah Ibuku umur yang panjang, agar aku bisa membahagiakannya, aku belum pernah membahagiakan Ibuku.' Batin Khaibar. Nafasnya berubah tercekat dan memberat. Khazanah yang merasakannya ia meneteskan air matanya, lalu secepat kilat ia tersenyum kembali.

"Heeey, apa jagoan Ibu menangis? Kenapa kamu menangis Khai? Apa ada masalah?" tanya Khazanah berpura-pura tak tau, karena ia tak mau Khaibar terus bersedih kalau dia sudah mendengarnya, ia hanya ingin Khaibar senang dan tiada beban.

Mulai sekarang tekad Khazanah akan berusaha kuat demi anaknya, dia tak akan menampakkan sakitnya.

"Apa Ibu akan menemaniku hingga menjadi ayah kelak?" tanya Khaibar yang sudah melepaskan pelukannya dan menatap ibunya. Air matanya yang sedari tadi menetes tiba-tiba luntur begitu saja di pelukan ibunya tadi.

"Iya dong, pasti, jangan khawatir, Ibu akan merawatmu jagoanku, bayi besarku, aduh manjanya."

Khaibar mengembangkan senyumannya. Ia sedikit lega mendengar semangat ibunya. Ia akan bertekad mencari uang bagaimana pun caranya.

'Aaaa rasanya badanku sakit sekali, tapi aku harus kuat, aku gak boleh membuat Khaibar khawatir, aku gak boleh pingsan.' Batin Khazanah.

Tangan Khazanah mengulur ke arah Khaibar yang hanya berjarak beberapa senti saja. Khaibar duduk kali ini dan memainkan ponselnya karena letih tak beristirahat sekali pun, bahkan bajunya lusuh belum berganti juga, makan juga tak sempat.

"Khai, I—Ibu, haus, Nak."

"Ibu haus?" Khazanah mengangguk. Wajahnya sungguh pucat. Saat Khaibar berdiri dan mengambilkan air minum yang ada di atas meja. Khazanah memejamkan matanya dan mencengkram selimutnya. Karena penyakitnya semakin menyakitinya.

Ia akhirnya drop dan pingsan. Alat monitor pun berbunyi dengan sangat keras hingga memekikkan telinga.

"I—Ibuuuu!"

Pyar.

avataravatar
Next chapter