webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Interlude 06: Hari yang Cerah

Aroma udara dingin dan basah menyambar lubang hidungnya, kontrasnya berpadu dengan cahaya mentari pagi hangat yang dengan samarnya menembus lembut gorden kamarnya.

Suara kicauan burung dengan samarnya menembus tebalnya tembok. Berbeda dengan ramainya kicauan burung, suasana dalam rumah begitu sunyi dan sepi.

Di dalam kamarnya, perempuan itu sendirian.

Selain dirinya, tak ada orang lain yang mendiami rumah ini. Selama seminggu ini, selepas bekerja Ibunya selalu menginap di kamar dimana adiknya dirawat.

Khususnya jum'at kemarin, selepas memenangkan turnamen Start Point, Leila langsung bergegas mengunjungi adiknya. Ketika ibunya bertanya dari mana saja Leila beberapa jam ini, Leila langsung menjelaskan seluruh kronologis kepada beliau.

Awalnya Ibunya marah karena Leila tidak membicarakan hal ini terlebih dahulu kepadanya, namun karena nasi sudah menjadi bubur, beliau memaafkannya.

Leila sudah melakukan semua yang dia bisa demi membantu adiknya dan menebus "dosa"nya.

Dan berkat hadiah uang turnamen, ibunya mampu mengambil cuti dan memfokuskan dirinya untuk menjaga adiknya.

Sekarang, Leila bisa kembali melakukan itu.

Sebenarnya, bahkan sebelum turnamen sekalipun, ibunya sudah sering memintanya untuk tetap melakukan itu dan berkata untuk menyerahkan urusan Maya kepada beliau.

Jangankan pergi melakukan itu, tiap kali Leila melangkahkan kakinya menjauh dari adiknya, hatinya terasa seperti kaca yang rapuh. Sedikit sentuhan saja sanggup untuk meruntuhkan kaca rapuh yang penuh retakan tersebut. Karena itulah dia memilih untuk berhenti melakukan itu untuk sementara waktu.

Tapi,

Sekarang berbeda. Rantai yang mengikat hatinya telah diangkat. Dan kaca yang rapuh ini, telah berubah kembali menjadi kaca yang kokoh dan kuat.

Dan Adiknya pasti, tentunya tidak ingin kakaknya selalu mengurung dirinya di dalam rasa bersalah.

Sebab itulah...

Dia alihkan bola matanya pada cermin yang memantulkan sosoknya.

Rambutnya yang seperti buah jeruk masih sedikit basah seusai mandi. Pipinya masih terasa kaku, tetapi matanya yang memantulkan cahaya dengan indahnya seperti permata sudah tidak terlihat lelah akibat turnamen tiga hari yang lalu.

Cahaya hangat mentari terserap pada seragam sekolah yang dikenakannya. Perempuan itu bisa merasakan kain seragamnya yang semakin hangat bersentuhan dengan kulitnya yang lembab. Seragam sekolahnya terlihat begitu rapih sehabis digosok, tanpa ada satupun lecak dan kucel, perempuan itu bisa melihat lekukan tubuhnya yang terukir mengikuti seragamnya.

Dia rapatkan bibir tipis dan lembutnya lalu memasang senyuman lembut.

Untuk sesaat benaknya jatuh pada sebuah pemikiran.

Apa yang akan teman-temannya pikirkan ketika melihatnya di sekolah?

Apa mereka akan berpikir bahwa dirinya tidak peduli pada adiknya?

Bagaimana bila mereka tahu bahwa Leila tidak sesempurna yang mereka ketahui?

Namun ketika pemikiran-pemikiran negatif itu berjatuhan satu-persatu. Dia teringat akan apa yang terjadi di akhir turnamen tiga hari yang lalu.

Dia pasti akan baik-baik saja. Lagipula tidak perlu lagi baginya untuk memasang wajah kuat. Habisnya, sekarang ada satu—tidak, tiga orang yang telah menerimanya apa adanya.

Bila mereka bisa menerima Leila yang tidak sempurna, pastinya teman-teman yang lainnya juga bisa melakukan hal yang sama.

Menepis pemikiran negatif itu, dia tepuk pipinya dengan kedua telapak tangannya sebagai bukti ketetapan hatinya.

"Baiklah..."

Leila melirik pada jam dinding yang menggantung di kamarnya. Jarum jam menunjuk tepat setengah tujuh pagi. Dia tarik tasnya—mendorong lengannya memasuki rongga lengan tas lalu memikulnya dengan pundaknya.

Lalu dengan percaya diri dia berjalan keluar dari kamarnya.

Keluar dari kamarnya, seharusnya Leila langsung pergi menuju pintu keluar dan sesegera mungkin berangkat menuju ke sekolah. Tentunya dia tidak ingin terlambat dan memberikan kesan buruk setelah hiatusnya.

Seharusnya begitu, tapi...

Dirinya malah terhenti tepat di depan kamar adiknya.

Kamar itu tidak dikunci. Tidak perlu untuk melakukan hal itu.

Saat perempuan itu menjulurkan telapak tangannya menangkap kenop pintu yang dingin, dirinya teringat.

Dia teringat atas malam itu, malam dimana dirinya mendengar tangisan adiknya dari balik pintu yang sama. Malam dimana mimpi buruknya berawal. Sesaat setelah potongan ingatan itu terbayang di pikirannya, hatinya terasa sesak dan panas. Itu adalah ingatan pahit yang tidak ingin Leila ingat.

Dia tidak ingin mengingatnya. Kalau bisa, dia ingin menghapus perasaan pahit itu dari ingatannya.

Meski dia berpikir seperti itu, Leila sadar betapa berharganya ingatan pahit itu.

Karena tanpa itu, dirinya takkan berada di sini.

Disaat ingatan itu menyisakan perasaan pahit di mulutnya. Leila kembali teringat.

Ya, dalam kurun waktu satu minggu ini, bukan hanya ingatan pahit yang diterimanya.

Dalam satu minggu ini, dia mengambil sebuah harapan.

Dalam satu minggu ini, dia mengemban tanggung jawab yang diterimanya di hari itu.

Air mata yang mengalir malam itu tidaklah terbuang sia-sia. Leila takkan mengijinkannya terbuang sia-sia.

Keinginannya untuk kembali melihat adiknya tersenyum dan tertawa akan terus mendorongnya untuk mencegah air mata itu terbuang sia-sia.

Leila mengingatnya, semua itu.

Ingatan-ingatan yang telah membentuk dirinya yang sekarang.

Creek...

Suara decitan pintu yang terbuka menggema memenuhi ruangan berbentuk kubus di hadapannya. Dari balik pintu, cahaya matahari langsung menyambut kehadirannya.

Terpantul melalui jendela yang tak tertutup gorden, cahayanya tersebar ke seluruh penjuru ruangan. Leila mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari silaunya cahaya, sampai matanya terbiasa dengan terangnya ruangan. Bersama dengan silau cahaya itu, aroma parfum adiknya yang semerbak langsung menembak hidungnya seperti anak panah terhadap target praktisnya.

Menurunkan tangannya, pemandangan kamar adiknya terpantul pada bola matanya.

Ruangan itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali Leila mengunjunginya.

Partikel-partikel debu yang nampak berkat cahaya mentari menari-nari di udara. Kasur lebar yang hampir memenuhi seperempat ruangan masih berantakan, meja belajar dengan alat tulis dan buku catatan yang masih berserakan dan yang paling penting...

....Sebuah smartphone dengan layar penuh retakan milik adiknya yang tertidur di atas meja belajarnya dan sebuah tas penuh noda darah yang ditaruh di sisi meja.

Melihat kedua benda itu, Leila membeku. Matanya melebar, alisnya terangkat.

Smartphone itu, tas itu, pesan itu, dan hal nahas yang telah menimpa adiknya....

Semua keputusasaan itu, semua penderitaan itu, memiliki harapan di dalamnya—Bak kotak pandora yang berisikan penderitaan, di dalamnya juga terdapat harapan.

Seperti dua sisi di koin yang sama. Kedua benda itu mengingatkan Leila pada kesalahan dan keputusannya.

Dan, hal terakhir yang terbayang di potongan-potongan film ingatannya adalah...

Sosok wajah seorang pemuda—Sosok kesatria yang telah membuka kandang burungnya.

Senyuman tulus yang terlukis di wajah pemuda itu, hanya dengan membayangkan wajahnya saja, anehnya membuat hati Leila terasa hangat dan jantungnya berdebar-debar. Semakin wajah itu terbayang, semakin kencang detak jantungnya dan rasa bahagia mekar di dalam hatinya.

Bahkan dinginnya pagi itu bukanlah lawan perasaan hangat yang menggebu-gebu dari hati Leila. Saat itu, seperti listrik yang konslet, pikirannya langsung kosong. Perasaan aneh yang dia alami sejak tiga hari yang lalu ini—tidak kunjung hilang.

Ini adalah pertama kalinya bagi perempuan itu untuk merasakan perasaan seperti ini. Perasaan ini—afeksi ini, berbeda dengan afeksinya terhadap keluarganya, dan tentunya berbeda dengan afeksinya terhadap teman-temannya.

Ini, rasanya seperti sesuatu yang spesial dan unik.

Ini adalah perasaan yang nyata dan murni.

Perasaan yang membuat Leila merasa begitu bahagia.

Tanpa disadarinya, wajahnya jatuh merona. Kedua matanya melembut, senyuman yang dilukiskan bibirnya tak kalah lembut dan tulus.

Bila adiknya berada di hadapannya saat ini juga, dia pasti sudah menjahili kakaknya dengan pertanyaan-pertanyaan iseng seputar wajahnya yang merona.

Tetapi tidak apa-apa. Leila akan menerima tindak jahil adiknya dengan penuh harga diri. Tidak ada alasan baginya untuk malu. Habisnya, perasaan ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya.

Demi menghargai perasaan ini dan mencintai tiap detik yang dirasakan hatinya.

Karena dirinya adalah seorang gadis yang sedang jatuh hati.

Dengan perasaan hangat itu, perempuan itu melangkah keluar dari kamar adiknya.

Helaian rambut oranyenya adalah hal terakhir yang bisa dilihat sebelum pintu tertutup.

Sosoknya sekali lagi pergi meninggalkan ruangan itu.

Dengan kedua sisi koin yang masih tertidur di atas meja belajar. Bermandikan cahaya matahari dengan indahnya.

Dan dengan begitu, dari luar ruangan terdapat sebuah suara memanggil.

Seolah meminta ijin dan doa selamat menuju sekolah.

Meninggalkan rumahnya, perempuan itu membuka mulutnya dan berkata;

"Aku berangkat...."

Interlude terakhir. Ga kerasa udah berjalan sekitar tiga-empat bulan sejak gw ngerilis Arc 1 ini. Tapi tenang aja, cerita Dimo dkk. masih belum selesai. Ini hanyalah prolog, cerita sebenernya mulai dari sini. Arc 2 akan dirilis setelah sepenuhnya selesai ditulis. Chapter berikutnya adalah epilog, chapter terakhir untuk mengakhiri Arc 1.

Mungkin gw udah nyebutin ini sebelumnya, tapi totalnya ada 3 Arc.

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts