webnovel

BAB 26: JANGAN ANEH-ANEH

Porche menoleh kepada Porchay sebentar sebelum memandang kertas itu sekali lagi. Tulisannya cecoretan, gimmick, seolah-olah Kim sedang gugup dan tidak membawa ponsel? Aneh, memang, tetapi Porche merasa ada yang tidak beres melebihi keanehan itu sendiri.

"Baiklah, aku akan keluar," kata Porche. "Itu pun karena bayinya. Aku harus tahu apa yang terjadi padanya."

Namun, saat baru akan memutar kenop pintu, Thankhun yang duduk-duduk di lounge menghentikannya. "Hei, Adik Ipar! Kau mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. "Ini bukannya sudah jam tidur?"

Porche pun memasukkan lipatan suratnya ke saku. "Hm, cari angin? Aku bosan di dalam saat Kinn sedang sibuk dengan Vegas."

"Huh?" Alis Thankhun naik sebelah. "Jangan aneh-aneh, oke? Cari angin bisa besok. Lagipula sudah hampir larut. Kau tidak bisa sembarangan setelah kejadian tadi siang."

Porche akui, dia tidak bisa membalas apapun kali ini. Apalagi Thankhun yang katanya gila itu, kini juga bisa mengawasi dirinya selidik. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Lagian, kau ini belum diberi bodyguard pribadi oleh Kinn, kan?" kata Tankhun lagi. "Adikmu juga."

Porche pun mengendikkan bahu. "....ya?"

"Aisssh ... sudah kuduga," kata Thankhun. "Memang peraturannya bodyguard pribadi diberikan setelah resmi jadi keluarga, sih. Tapi adikku pasti lupa karena langsung ada masalah tadi pagi. Ckckck ... aku akan memarahinya nanti!"

Entah gila atau kena trauma, yang pasti mengapresiasi seberapa peduli lelaki ini pada orang-orang di sekitarnya. "Terima kasih, tapi kurasa itu bisa besok," katanya dengan senyuman tipis.

"Ya tidak bisa begitu!" kata Thankhun. "Paling tidak--ah ... sini ikut aku dulu. Kalau kau memaksa ingin keluar, biar kubuatkan kode unik untuk akses senjata keluarga ini."

"Ada yang seperti itu juga?" pikir Porche. Namun, dia tetap mengikuti langkah Thankhun.

Untuk membuat kode akses baru, ternyata memang harus ada izin dari pihak keluarga juga. Di depan layar virtual itu, Thankhun harus mengisi beberapa kode rahasia dan sidik jarinya. Bahkan menggunakan pemindai kornea mata dan senyuman.

Cukup rumit, memang. Tahu-tahu Porche disuruh mengisi hal yang sama, berikut scanning telapak tangannya sendiri mulai dari kanan hingga kiri. Dan setelah dia terdaftar, Thankhun menyuruh Porchay menemuinya besok pagi. "Adikmu harus menyusul," katanya.

"Tapi dia belum cukup umur untuk menggunakan senjata," kata Porche.

"Memangnya kita peduli?" kata Thankhun. "Keamanan keluarga jauh lebih penting daripada aturan, paham? Sekarang ambil tipe apa pun yang kau suka. Dan kau harus membawa senjata itu kemana pun bahkan saat tidur."

Awalnya, Porche merasa itu aneh. Dia memandang Thankhun, kemudian kembali ke layar.

"Kenapa, hei?"

"Phi sendiri apa membawanya?"

Dengan bola mata berputar, Thankhun pun menghela napas panjang. "Tentu saja, ya ampuuun~ Kau pikir aku ini siapa?" katanya sambil menepuk dada. "Aku ... ini Thankhun Theerapanyakul! Jadi, tentu saja. Walau itu hanya sebuah pisau yang kecil."

Porche pun berkedip kaget saat Thankhun mengeluarkan pisau lipat dari balik jaketnya. Dan catat, pisau itu katanya tidak boleh dibuka kecuali genting. Karena sudah dilumuri racun yang tentunya hanya keluarga Theerapanyakul yang memiliki penawarnya.

"Meski aku akan memberikannya kepada bodyguard-ku, kecuali kepepet," kata Thankhun. "Seseorang bisa sendirian kapan saja, dan di situasi yang tak terduga. Paling tidak, aku bisa buka borgol dengan ini, atau melukai satu orang."

Porche pun mengangguk-angguk sebelum memilih senjata yang dia mau. Senyumnya muncul, mungkin karena tak pernah menemukan hal yang seperti itu dalam seluruh hidupnya, kecuali di dalam film.

"Senang?"

"Iya, Phi."

"Tapi buat jaga-jaga saja," tegas Thankhun. "Kau jangan asal tarik pelatuknya karena Kinn belum mengajarimu."

Porche mengangguk dengan senyuman girang. "Oke."

"Benar-benar si Kinn itu. Dia melewatkan hal sepenting ini!" omel Thankhun dalam hati. "Kusumpahi dia mau bersujud di kakiku kapan-kapan. Ah ... astaga ....!"

Tapi Thankhun agak tenang setelah membiarkan Porche membawa senjata di tangannya.

"Jangan lupa cepat masuk!" kata Thankhun. "Angin malam itu tidak baik."

Seperti bocah, Porche hanya melambaikan tangan kepada Thankhun sebelum pergi. Di kepalanya, sudah tergambar suasana pantai malam yang indah. Karena itulah, dia tersenyum lebar, tetapi tidak lagi saat bertabrakan dengan seseorang di depan pintu.

BRUGH!

"Phii!" Refleks, Kim pun memegang tulang hidungnya yang baru terbentur dagu Porche. "Asssh ...." keluhnya pelan, tapi kemudian segera memperbaiki ekspresi. "Phi ... mau kemana memangnya? Aku sedikit terkejut." Kening adik ipar Porche itu berkerut-kerut, tetapi tersamarkan oleh gelapnya malam di belakang sana.

Porche pun menelengkan kepala. "Bukankah kau yang memanggilku?"

"Apa?" Kim pun melirik ke kunci mobil di tangannya. "Tidak. Aku saja baru datang. Dan kapal yang mengangkut kendaraanku sudah pergi."

"Eiii, benarkah?"

"Tentu. Karena jadwal pulang kita baru besok pagi."

"Sudah kuduga ada yang aneh ...." Porche pun mendongak ke belakang Kim, tetapi ternyata bodyguard pribadi sang adik ipar lah yang sedang ribut. "Apa ini berarti bayinya dalam bahaya? Karena Kim bukan pengirim pesannya."

Lelaki bernama Kew itu turun dari mobil lain, lalu memasukkan pistolnya ke saku belakang celana.

"Sudah kuamankan semua barangnya, Tuan," kata Kew sambil berlari menghampiri tuannya.

Kim pun mengangguk pelan pada Kew. "Bagus, sekarang istirahatlah," katanya. "Besok siang kita berangkat akhiran untuk mengantarkannya."

"Baik--"

DORRRRRRR!!!

Secepat peluru pertama meluncur, secepat itu juga lah tubuh Kew ambruk di depan mata Kim. Dadanya bocor. Tembus, dan darah pun merembes bertumpah dari bajunya.

BRUGH!

DORRRRR!! DORRR! DORR!!

DEG!

"PHI, AWASSSSSSSSSSSS!!"

Kim yang instingnya lebih terlatih pun refleks memeluk Porche. Mereka terguling di depan pintu depan kondominium, menabrak pot batu gigantis, sebelum kemudian jatuh di rerumputan.

"Bangsat!" maki Kim dalam hati. Sambil menahan sakit di punggung, dia segera bangkit dari atas tubuh Porche dan berteriak di wajah syok sang kakak ipar. "Buka mata yang lebar, The Phoenix! Aku jadi ingin menghajarmu!"

"Fuck!" maki Porche tak kalah jengkel, tetapi lebih kepada dirinya sendiri. "Maaf!" Namun, dia tetap membiarkan Kim menyeret mereka untuk bersembunyi bersama di balik pot-pot batu itu.

"Ada seseorang yang datang! Ikut aku!" tegas Kim.

Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr! Dorrr! Dorr! Dorrr! Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr! Dorrr! Dorr!

Barusan itu merupakan rentetan tembakan yang tidak wajar. Terbukti semua pelurunya hanya mengenai benda-benda di sekitar, seolah-olah memang hanya ingin menghabiskan isi pistol demi membuat Kim dan Porche dipermainkan.

"Orang ini sengaja! Sengaja!" batin Kim. "Kau pikir anggota keluargaku hanya kelinci buruan, huh? Awas saja kutemukan kalian nantinya--"

Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr! Dorrr! Dorr! Dorrr! Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr! Dorrr! Dorr!

Rentetan peluru gaib kedua.

"KIIMMMM!"

Kali ini gantian Porche lah yang memeluk sang adik ipar. Dia ingin agar kepala Kim lebih merunduk lagi, lalu menahan kepingan kerikil batu yang berjatuhan dari atas mereka.

"Shit!" Namun, bukannya nyaman, Kim justru mendorong Porche sekuat tenaga. "MINGGIR!" bentaknya, lalu menekan suatu benda bersensor dari saku celananya. "Kutanya, apa Phi benar-benar bisa berkelahi?!"

"Kalau jarak dekat, YA!" jawab Porche.

"BRENGSEK! SUDAHLAH!" bentak Kim lagi. Dia balas menembak beberapa kali dari sisi pot, tetapi masih gemas memuntahkan amarah. "SEMENTARA DI BELAKANGKU!"

"APA?!"

"AKU TIDAK MAU DIHAJAR KINN KARENA ISTRINYA KENAPA-KENAPA!"

Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr!

Sementara Kim menggunakan insting liarnya untuk membalas tembakan, Porche pun mengepalkan tangan. "Istri, huh? Siapa yang istri di keluarga ini?"

Apa gunanya pistol di tangan? Pikirnya. Meski sudah sejak tadi Porche menahan diri, kali ini dia benar-benar merasa dilumpuhkan situasi, dan itu seperti bukan dirinya.

"PERSETAN!" maki Porche sebelum berguling demi mengambil kunci mobil Kew.

"HEI, PHI! JANGAN!" teriak Kim hingga napasnya tersengal-sengal.

Mengabaikan Kim, Porsche tetap berlindung dari tembakan, lalu memungut benda yang terjatuh di sisi mayat Kew dengan mulutnya.

"PHIIIIIIII--"

"BILANG PADA KINN AKU AKAN MEMBAWAKANNYA DAGING BURUAN!"

"APA?!"

BRAKH!

Porche pun tetap masuk ke mobil dengan membanting pintu. Dia menyetir mundur benda itu tak sabaran, dan hanya merunduk sesekali saat tembakan-tembakan mengenai badan besinya.

Dorrr!! Dorr! Dorr!! Dor!! Dorrr! Dorrr! Dorr! Dorrr! Dorrr!

Dia benar-benar pergi. Tak peduli dengan gerombolan bodyguard yang baru berhamburan dari pintu di belakang tubuh Kim untuk melindungi sang pewaris ketiga itu.

"Phi ...."

Dari kaca spion, terlihat jelas memang. Bagaimana Kim tampak kecewa padanya, tetapi kecemasan juga terbias di mata itu.

"Maafkan aku, Kinn," batin Porche sembari berpaling. Meski ragu, dia tetap menginjak pedal gasnya lebih kencang lagi. "Tapi, seperti kataku dulu. Kau takkan bisa mengaturku sepenuhnya hanya karena setuju untuk hadir di sini."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Bagus, target sudah keluar dari kandangnya," kata seseorang dari kejauhan. Dia memegang walkie talkie dari balik bebatuan tebing, lalu melambaikan tangan untuk memberi isyarat khusus pada pasukannya. "Sekarang hentikan tembakannya dan pulang. Tugas kita selesai sementara ini."

"Baik!"

Bersambung ...

Cis dulu yang mikir keras.

Kelihatan kan sekarang? Siapa target sebenarnya sejak awal pengeboman?

Tapi kenapa main-main doang?

Kenapa malah enggak dibunuh?

Kalian akan tahu nantinya.

(Sebenarnya adegan ini sudah ada spoilernya di bab 16. Pas CP Massimo-Laura ketemu Kinn dan Porche barengan pertama kali. Di bar Che Yok dan Porche abis dihajar Jom. Itu pun kalau kalian detail bacanya)