webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Si Penakut (7)

Area penggalian itu tidak lagi mengacu pada rencana pembangunan resor.

Berbagai lubang-lubang menganga terlihat bagai kubangan raksasa, mirip kawah namun berbentuk kotak-kotak dengan sudut-sudut tajam. Ekskavator telah disingkirkan jauh-jauh, berganti alat-alat tradisional yang terkesan kuno : cangkul dan linggis. Rendra dan Silva tiba di tempat itu, ikut tenggelam dalam hiruk pikuk manusia yang lalu lalang bekerja sembari bercakap-cakap penuh gairah.

Seorang gadis terlihat mengukur beberapa batuan besar yang telah diangkut ke permukaan tanah yang lebih rata. Terpal sebagai atap sementara melindungi pekerja dari panas. Ia duduk di atas salah satu bebatuan, terhampar di depannya beberapa kertas-kertas besar. Penggaris dan alat tulis berserakan.

"Aku benar-benar nggak ngerti ini apa," gumamnya penuh gairah. "Tapi jelas, kita berhadapan dengan hal yang luarbiasa."

"Mbak Najma!" teriak seorang pemuda. "Mbak harus lihat apa yang kita temukan!"

Serombongan mahasiswa arkeolog terlihat menggali dengan hati-hati, bersama para pekerja penggalian yang mengikuti perintah. Tanah sedalam dua hingga tiga meter ke bawah permukaan telah digali dengan rapi. Terlihat beberapa bagian dengan pola serupa menonjol.

Najma, mengenakan celana jins usang dengan kaos panjang dan jilbab hitam, melompat ke dalam. Masker yang digunakannya melindungi dari debu yang beterbangan. Jemarinya menelusuri permukaan menonjol yang tampak memanjang rata, dengan ukuran mirip sepanjang tiga meter.

"Apakah itu talud*?" pemuda yang tadi memanggilnya berkata.

"Dugaanku begitu," Najma meminta kuas besar, membersihkan beberapa bagian. "Ah, ini keahliannya mas Ragil. Aku hanya bisa menduga-duga! Bara, yang lain gimana? Apa yang mereka temukan?"

"Kapan mas Ragil bisa datang?" pemuda yang dipanggil Bara terlihat berharap.

"Aku nggak tahu! Semoga dia segera sehat!" Najma berharap. Ia melompat ke luar.

"Mbak Najma!" seorang gadis terengah menjemputnya. "Ayo, Mbak! Kita ke selatan!"

"Kenapa?"

"Ayo!"

Najma mengejar gadis itu, berlari melewati tumpukan tanah galian. Bebatuan. Alat-alat. Lubang galian yang berikut berbeda dengan apa yang telah dilakukan Bara dan timnya. Kedalaman galian sama-sama mencapai tiga meter, dengan temuan yang tak serapih bagian Bara.

"Jangan merusak apapun, Mawar!" teriak Najma, dari tepi lubang galian

"Nggak, Mbak! Kami hati-hati banget!" teriak Mawar penuh semangat, dari bawah lubang.

Sebuah potongan batu atau logam tampak mencuat. Ukiran indah dengan lekuk-lekuk rumit dan halus dapat teraba. Tanah dan lumut tebal menutupi seluruh bagiannya, hingga nyaris tak tampak wujud aslinya.

"Apa itu makara**?" desah Mawar.

Najma melompat masuk lagi. Meminta kuas besar dan pisau pengikir kecil. Membersihkan beberapa bagian, dan merasakan dirinya seolah berpindah dimensi.

"Sepertinya makara," Mawar memastikan.

"Aku nggak tahu," Najma memotong cepat, sama bergairahnya seperti Mawar. Ia kembali ke atas permukaan, membuka masker, mengeluarkan ponsel. Memencet sebuah nomer.

Suara telepon tersambung dengan mode video call.

Setelah mengucap salam, wajah di seberang terlihat menggerutu.

"Kalau aku sudah sampai alam kubur, pasti aku balik lagi denger panggilanmu," umpatnya kesal.

"Mas Ragil! Yakin gak mau ke mari?" Najma memperlihatkan area penggalian dan temuan-temuan mereka. "Kita bakalan kaya raya!"

"Buat gerak aja aku masih susah!"

"Pakai kursi roda? Pakai kurk?" Najma mendesak. "Aku bantu, deh!"

"Kamu keterlaluan, ya! Orang sakit disuruh kerja!"

"Aku butuh bantuanmu banget! Aku bingung, ini bukan keahlianku," Najma mengaku. "Tapi aku benar-benar penasaran."

"Videokan saja semua temuanmu," Ragil memerintahkan. "Nanti aku pelajari."

"Ya, aku udah nyuruh Bara buat ngerekam. Kupikir itu sebuah talud," ungkap Najma. "Melihat kerapihan jalur permukaan dan bebatuan yang tersusun."

"Bagus," kata Ragil. "Kamu udah pengalaman kalau gitu."

"Tapi aku nggak yakin itu talud," Najma terlihat bimbang,"…ada beberapa bagian yang aku ragukan, Mas."

"He?"

"Terus yang ini," Najma memperlihatkan hasil kerja Mawar dan timnya. "Makara?"

"Bersihkan saja. Hati-hati. Batu atau logam?" tanya Ragil.

"Aku masih belum tahu," Najma mengaku.

"Kamu sudah hubungi pihak berwajib?"

"Aku sudah lapor. Ayahku sudah minta izin juga pada pemilik properti di sini supaya penggalian bisa terus berjalan."

"Bukan itu, Naj!" seru Ragil. "Penggalian rawan pencurian. Kamu harus pastikan pihak berwajib mengawal seluruh area. Sudah kamu gambar maket perkiraan penggalian?"

"Sudah," Najma mengangguk.

"Berapa luas area?"

Najma menarik napas sejenak, menekan ledakan gairah, "delapan hektar."

Ragil bersiul.

"Kita berhadapan dengan istana dan peradaban yang luarbiasa," gumamnya.

"Makanya, cepat sembuh, Mas," desak Najma. "Tugas negara memanggil."

"Aku bakalan tambah sakit kalau ketemu kamu," Ragil mencibir. "Ya Tuhan, biarkan sejenak hambaMu ini istirahat. Jauhkan aku dari hambaMu yang sok benar dan paling ingin tahu."

Najma terbahak.

Tawanya terhenti melihat dua tamu di hadapannya.

"Bara!" teriaknya tanpa ampun.

Bara terkesiap.

"Jauhnya dua orang ini dari area kita!" bentaknya. "Artefak kita bisa-bisa hilang tanpa berita!"

🔅🔆🔅

"Mbak, aku minta maaf," Silva berujar, mengejar langkah Najma.

Najma tampak tak peduli, meninggalkan keduanya di belakang punggungnya.

"Mbak Najma!" Silva mengejar, menggamit lengan Najma. "Mbak! Aku mau minta maaf! Aku mau jelaskan semua."

"Nggak usah!" Najma menolak mentah-mentah, menepis tangan Silva. "Toh satu artefak sudah hilang."

"Kasih kesempatan Silva untuk ngomong," Rendra menyeruak.

"Oh, jadi kalian udah baikan?" Najma mengedipkan mata. "Makanya berani datang ke sini."

"Mbak!" mata Silva memerah. "Aku butuh bantuan Mbak Najma!"

Najma terdiam, tak menggubris.

"Kalau aku mau," Silva mencoba menekan, memiliki sedikit keberanian di sisi Rendra, "…aku bisa mengambil artefak perak lagi. Tapi itu nggak aku lakukan."

"Kamu mengancam?" Najma menyindir.

"Mbak sudah lihat kan, kejadian waktu aku menyelamatkan Mbak dan mas Rendra," Silva mengingatkan. "Aku benar-benar nggak punya niat buruk sekarang. Aku nggak mau ambil artefak, atau merusak, atau apapun yang buruk. Aku cuma butuh bantuan Mbak Najma."

"Aku gak punya waktu!"

"Mbak! Apa aku harus ke salah satu artefak perak buat membuktikan ucapanku?" Silva setengah putus asa.

"Silakan saja! Kalau kamu sampai berani merusak salah satu benda di sini, kamu bakal jadi musuhku seumur hidup!" ancam Najma.

Silva gemetar. Ia ingin mengangkat tangannya, mencoba meyakinkan Najma. Rendra menahan lengan Silva dan mencoba negosiasi.

"Najma, ayo datang ke hotel sore ini. Aku dan Silva tunggu," Rendra menyebut nama hotel tempatnya menginap.

"Buat apa?"

"Aku punya dana cukup untuk membantu penggalianmu, kalau kamu mau sukses dengan semua urusanmu di sini," jelas Rendra. "Aku yakin, danamu terbatas. Dana pemerintah daerah juga gak akan cukup meng-cover semua ini."

Najma terdiam, menahan napas.

Bara dan Mawar mengelilingi mereka beserta timnya.

"Bagaimana kalau aku bisa menyediakan dana buat kamu dan seluruh timmu?" Rendra memandang berkeliling, wajah-wajah berdebu yang berharap dukungan.

Najma memberikan isyarat anak buahnya untuk bubar.

"Syaratnya, kamu datang sebentar saja. Ada yang mau kubahas."

🔅🔆🔅

Tawaran Rendra lumayan menggiurkan. Ajakannya untuk bertemu sebentar di tempatnya menginap, bukan hal buurk. Toh, ada Silva di sana. Jadi ia tak akan disangka melakukan tindakan asusila di kamar hotel. Penampilan Najma yang berdebu sama sekali tak sesuai dengan kamar hotel mewah yang dilengkapi dengan ruang tamu dan pantry elegan.

"Kamu mau minum apa?" Rendra menawarkan. "Jus? Cola?"

"Mbak Najma paling suka es teh," Silva menyela.

Najma memandangnya sejenak, merasakan kemarahan berkurang sedikit. Gadis itu memandang tangannya yang terbakar matahari, meraba kulit wajahnya yang kering. Hufffttt. Baru dirasakan betapa penampilannya awut-awutan setelah bertemu Rendra dan Silva.

Bel pintu berbunyi.

Sosok cantik yang semalam ditemui Silva masuk. Rok pendek di atas lutut memperlihatkan betis indah yang terawat. Najma menyeruput es teh sembari mengamati Rendra dan perempuan cantik itu saling mendekat. Walau tampak gusar, Rendra menyerahkan beberapa berkas. Tak segera pergi, tamu rupawan itu justru mendekati Najma yang otomatis berdiri, bersiap entah untuk apa.

"Jadi sekarang, Rendra suka model-model kayak gini?" bisiknya. "Yang lugu dan …apa ya…disposable? Sekali pakai?"

"Please," Rendra berkata tajam. "Tinggalkan kami, Luna."

"Jangan berharap banyak pada Rendra, Honey," perempuan bernama Luna menyentuh dagu Najma dengan ujung berkas.

Najma tersenyum.

"Nona Luna," Najma berkata santai, "selera saya barang berusia ratusan tahun. Jadi, pacar anda masih terlalu muda untuk masuk daftar properti pribadi. Tenang saja!"

Rendra menatap Najma sembari mendengus.

🔅🔆🔅

__________

*Talud : semacam dinding penyangga untuh menahan tanah agar tak runtuh, biasanya terdiri dari susunan bebatuan

** Makara : bentuk artefak yang biasanya merupakan gabungan beberapa makhluk mitologi

Vote for Najma! Badass girl!

Love~

lux_aeterna2022creators' thoughts