"Aku cuma punya waktu satu jam di sini, paling lama," Najma menekankan.
Silva menelan ludah. Walau kemarahan Najma terlihat mulai reda, ia masih menjaga jarak dan tak bisa bicara lepas seperti dulu. Silva mengeluarkan beberapa barang dari ranselnya.
"Aku nggak tahu dari mana harus memulai," Silva mengungkapkan. "Sekilas aku udah pernah cerita, kan? Semakin ke mari, keadaan semakin aku nggak ngerti."
Silva bercerita sekilas tentang Candina. Tentang Salaka. Tentang permintaan Vlad dan Cristoph yang membutuhkan perak untuk membasmi kekuatan gelap di negara mereka, permintaan yang tak bisa disanggah oleh Silva. Salaka meminta bantuannya, namun Silva belum yakin dengan apa yang dapat dilakukannya. Sementara Najma menyimak kisah Silva, Rendra sibuk dengan laptop dan ponselnya.
"Pertanyaanku : kenapa kamu, Sil?" tanya Najma.
Silva membuang napas pendek, angkat bahu perlahan.
"Bukan maksudku untuk meremehkanmu, tapi aku betul-betul ingin tahu. Kenapa kamu yang terpilih untuk membantu Salaka?"
"Itulah yang aku coba cari jawabannya di Kotagede," jelas Silva. "Tapi aku belum menemukan jawabannya."
"Kamu bilang sudah ketemu dengan seorang lelaki tua yang memberimu cincin perak," Najma mengingatkan.
"Aku sebetulnya nggak yakin, karena nggak terlalu ingat wajahnya," Silva berkata jujur. Ia menyodorkan sebuah gambar, "Tapi ia bisa merespon cepat apa yang kugambar."
"Huruf 'sa'," Najma menyebutkan.
"Ya."
"Orang Jawa tahu kalau ini huruf 'sa'," Najma menolak anggapan Silva.
"Tapi dia tidak hanya berkata 'sa'," Silva bersikukuh. "Dia langsung berkata tentang Salaka. Padahal ada banyak kata yang berawalan 'sa' , kan?"
Najma mengangguk, "Jawabanmu masuk akal."
"Salaka bilang nasib manusia dan sejarah kita dalam bahaya," Silva berkata hati-hati. "Hanya prajurit perak yang tahu untuk menahan laju kekuatan gelap yang saat ini mulai muncul."
"Aku belum pernah dengar tentang prajurit perak," Najma mengaku. "Tapi dalam setiap kerajaan dan sebuah negara, pasti ada pasukan khusus yang tak terdengar."
"Apakah mas Ragil tahu?" Silva bertanya.
"Kamu benar," Najma mengangguk. Ia mengangkat telepon.
Terdengar suara omelan di seberang begitu sambungan terhubung.
"Kamu nyuruh-nyuruh orang sakit ke mari, tapi kamunya malah nggak ada??" bentak Ragil.
"Aku lagi ada perlu banget sama Silva. Kamu ingat kan?" Najma menjelaskan.
"Oh, ingat," Ragil menggerutu. "Kamu juga sama abangnya yang kayak Samurai X itu?"
"Ssst, jangan keras-keras," bisik Najma. "Nanti orangnya dengar."
Silva menahan diri untuk tak tersenyum, suara keras Ragil lumayan bocor ke tengah ruangan.
"Aku mau nanya tentang pasukan khusus, entah kerajaan apa," Najma bertanya. "Mas Ragil tahu pasukan perak?"
Sebagaimana pada umumnya orang yang tengah menelepon, Najma mengganti posisi duduknya menjadi berdiri. Berjalan mondar mandir, lalu mendekat ke arah jendela, menyibakkan sedikit tirai. Memandang ke luar. Tampak pepohonan menjulang, seekor burung bertengger di dahan kuat. Mengawasinya.
Dari seberang ruangan, Rendra menatapnya sekilas.
"Aku sedang di area penggalian," Ragil menjelaskan. "Sayangnya kakiku belum bisa buat masuk ke lubang. Ini sepertinya bukan talud, Naj. Tapi memang mirip dinding-dinding. Aku akan coba ajukan segera ke balai cagar budaya agar tempat ini jadi fokus utama."
"Mas Ragil sudah ke lubang penggalian Mawar?"
"Ya, aku tadi ke sana dulu. Kenapa?"
"Makara yang dia temukan itu…"
"Itu bukan makara."
"Hmh? Bukan makara?"
"Bukan."
"Trus …apa?" Najma bertanya, sembari kembali ke meja, tempat Silva menghamparkan beberapa barang. Najma mengambil salah satu kertas sketchbook milik Silva dan memberi isyarat meminta pensil.
Terdengar suara orang bercakap-cakap di seberang, saling membantah, saling memotong, saling bicara cepat.
"Mas? Mas Ragil?" panggil Najma. Najma menjauhkan ponsel, memandangi nama yang tertera di layar ponsel. "Mas?!"
"Astaga, Naj! Suaramu itu bisa bikin seluruh mummy bangun!"
Najma tertawa, matanya sekilas menatap Rendra yang menyeringai, seolah setuju dengan pendapat Ragil. Seketika gadis itu menghentikan tawanya.
"Jelaskan tentang makaranya. Atau apapun itu…"
"Aku lagi megang potongannya," Ragil terdiam sesaat. "Seperti sebongkah perhiasan. Atau…"
"Atau apa?"
Ragil terdiam sesaat, "…mahkota?"
Najma meletakkan pensil hati-hati, seolah takut mematahkannya. Ia mengulang kata-kata itu, "Mahkota. Maksudmu…maksudmu…kita menemukan areal para bangsawan?"
Ragil berbicara dengan teman-temannya yang lain, hingga rasanya Najma ingin terbang ke sana.
"Ya ampun, Mas Ragil! Kalau ngobrol fokus sama aku dulu!" celetuk Najma.
"Ini aku sambil koordinasi, Naj," gerutu Ragil. "Lagian siapa yang ninggalin aku kayak gini? Cepetan tinggalin Samurai X-mu dan langsung ke sini!"
"Heh, ini aku lagi ada urusan sama Si Sam…," Najma terdiam, memandang Silva. Sekilas melemparkan pandangan ke arah Rendra yang masih sibuk dengan laptop dan berkas-berkasnya. "Ohya, Mas Ragil. Tentang mahkota itu. Udah pasti mahkota?"
"Melihat bentuk dan ukirannya yang lumayan rumit, sepertinya iya."
"Batu, ya. Bukan logam?"
"Bukan."
Hening sesaat.
"Naj? Najma?" panggil Ragil.
"Ya, ya. Aku masih di sini."
"Aku ngalami mimpi aneh pas sempat gak sadarkan diri kemarin di rumah sakit," Ragil terdengar berbisik.
Najma menegakkan leher.
"Mimpi apa, Mas Ragil?"
"Aku kayak de javu, gitu. Kayak berada di areal penggalian artefak yang luas kayak gini. Aku seperti melihat dinding-dinding dan juga mahkota yang kupegang. Hanya saja, mahkota yang kupegang bukan batu."
Najma menyimak tegang dan bergairah.
"Naj? Kamu masih dengerin?" seru Ragil tertahan.
"Ya, aku malah mencatatnya," Najma menjawab sembari mencoret-coret.
"Aku seperti melihat sekilas pemilik mahkota ini, di dalam mimpiku," Ragil mendesah.
"Seperti apa dia?" Najma menahan napas. "Sosok yang mengenakan mahkota? Seorang putri, seorang ratu? Dia pasti sangat rupawan."
"Matanya terpejam," gumam Ragil. "Kurasa…ia seorang pangeran. Wajahnya …aku masih ingat walau sekilas hadir di benakku."
Najma tak berani bernapas.
Silva menatapnya tajam.
Di seberang, Rendra pun tampaknya mencuri dengar.
"Naj, udah dulu, ya! Aku beneran mau koordinasi."
Klik. Najma menatap ponselnya dengan kesal. Silva meminta izin padanya untuk ke kamar kecil, membuang ketegangan yang menyiksa areal perutnya.
🔅🔆🔅
"Aku harap kamu nggak sepenuhnya percaya cerita Silva," Rendra mendekat, berucap mengingatkan."Jangan percaya Silva 100%. Dia punya banyak masalah sejak kecil."
"Aku tahu," Najma membenarkan. "Dia punya banyak masalah. Tapi aku percaya sama dia, meski gak 100%."
"Tentang prajurit perak, tentang menyelamatkan dunia...," Rendra tertawa kecil, meremehkan. "Itu hanya halusinasi dia supaya dianggap penting."
Najma menatapnya tajam.
"Pak Rendra orang yang sangat rasional, ya," pujinya.
"Aku nggak suka hal-hal berbau irrasional," tukas Rendra.
"Mungkin karena terlalu banyak berurusan dengan uang," Najma menyimpulkan. "Coba sesekali bergeser sedikit : ke sungai, ke gunung, ke museum."
"Bukan seleraku," potong Rendra.
"Memang," sela Najma. "Tapi otak itu harus diseimbangkan dengan instink juga. Ada yang gak bisa dijelaskan dengan akal sehat, terutama kalau kita bicara tentang sejarah dan peninggalannya."
"Maksudmu, sejarah kita berisi hal-hal gak masuk akal?"
"Fifty-fifty. Semua sejarah manusia, separuhnya hal masuk akal. Separuhnya hal yang seperti Bapak bilang tadi : irrasional."
Silva ke luar dari kamar mandi.
Najma menoleh ke arahnya.
"Aku harus segera ke penggalian. Apa kau bisa mempertemukanku dengan Salaka?"
Alis Silva naik.
"Aku gak tahu, Mbak. Dia murid Javadiva, tapi dia tertutup. Gak mudah bicara dengan sembarang orang."
"Oke. Pastikan dia mau ketemu denganku. Aku mau lihat ukiran di mahkota yang ditemukan mas Ragil. Kalau memang semua berkaitan, harus ada pertalian antara semua yang sedang kita alami."
Silva terlihat ingin mencegah.
Najma meraih ranselnya, berniat segera pamit. Ia melangkah ke arah pintu, berbalik lagi sembari menekankan, "Dan...Silva! Jangan coba-coba mencuri artefakku kali ini!"
Silva mengangguk.
"Eh, tunggu!" serunya, mengeluarkan sebuah bingkisan yang hampir terlupa. "Ini untuk Mbak Najma."
Najma terbelalak, matanya terlihat tersenyum.
"Aku inget Mbak Najma pas beli cincin itu," Silva berkata pelan, sedikit malu.
Rendra mengamati keduanya.
"Tampaknya Silva membeli cincin sejenis untuk semuanya," ia menyindir.
Najma mengambil cincin itu dari kotak beludru, mengenakannya. Cukup melingkar di jari manis.
"Cantik. Makasih, ya," pujinya, menitipkan sedikit sindiran." Setidaknya, pemberian itu lebih berharga dari tuduhan. "
Rendra tersenyum masam.
🔅🔆🔅