webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Bertahan

Rasi lari sekuat tenaga.

Menubruk dua temannya yang mencoba untuk menjemput dan baru turun di bibir sumur dengan dinding tanah berbatu berukuran persegi empat. Walau dinding sumur itu berukuran pendek, tingginya lebih dari dua meter. Lumayan tinggi untuk sebuah lompatan.

Melihat Rasi yang pucat pasi sembari lari, Sonna dan Bhumi berteriak heboh sembari merangkak menaiki tangga alami. Bagai dikejar hantu, ketiganya sekuat tenaga menjauhi lokasi.

🔅🔆🔅

Tiga tubuh berlari menjauhi sumur. Terantuk-antuk menghantam akar pohon, tergores cabang, tejerembab. Jatuh dan bangun lagi. Mencari jalan setapak yang tadi dilalui bersama-sama. Hampir saja tertumbuk mobil yang tampak tengah mencari jalan untuk parkir.

Teriakan Ragil terdengar memekakkan telinga.

"Kalian gakpapa?! Lari kayak dikejar setan!"

Rasa mau muntah.

Tercekik.

Kehabisan napas.

Terengah-engah.

Nyawa terasa setengah hidup.

"Mana Najma??"

Dua suara bersamaan berteriak. Rendra dan Ragil mencari-cari satu sosok lagi yang tak ada bersama rombongan.

Bhumi menatap Rasi, mereka sama-sama terbelalak.

"Mana Najma, Guys??!" bentak Ragil keras.

"Ya, Tuhan!" Sonna berseru, setengah menangis. "Kita ninggalin Mbak Najma sendirian di belakang."

Ragil berlari menembus rapatnya pepohonan, diikuti Rendra di belakang. Keduanya meneriakkan nama Najma sekeras-kerasnya, padahal jelas-jelas gadis itu bukannya menghilang tak tentu rimba. Bagai mendapat kekuatan dan keberanian kembali, Rasi berserta Bhumi dan Sonna berlari mengikuti.

Ketika sampai di bibir sumur, Ragil dan Rendra saling menatap sesaat, bersiap untuk masuk.

"Mas Ragil, tunggu!" seru Rasi.

Ragil menghentikan gerakan, "Kenapa?"

"Gimana…gimana bisa sampai sini?" tanya Rasi terengah.

"Begitu dengar kamu sama Najma masuk sumur ini, aku sama Rendra langsung memacu mobil ke mari," ujar Ragil.

"Kok…kok cepat banget?"

"Apa maksudmu?"

"Kan aku nelpon baru beberapa menit yang lalu…Mas Ragil waktu itu kalau gak salah lagi nungguin Silva. Gitu kata Mbak Najma," Rasi kebingungan.

"Beberapa menit lalu?" sanggah Bhumi. "Apa kamu gak liat jam?"

Rasi meraba sakunya. Ia tak suka bawa jam tangan, lebih sering menggunakan jam yang ada di gawai.

"Baru jam sembilanan kan, lewat berapa menit," ujar Rasi.

"Coba liat lagi ponselmu!" ujar Sonna, sedikit gusar. "Kamu tuh udah berjam-jam di bawah sana."

Rasi mengambil gawainya, mencoba menajamkan mata. Terhenyak melihat angka di sana.

"Najma mungkin berada di dimensi yang berbeda. Kita bisa gak percaya, tapi di dunia ini banyak hal yang mustahil terjadi," Ragil berkata cemas. Ia menurunkan ransel, membongkar isinya. "Rasi, Bhumi, kalian ikatkan kuat-kuat ujung tali ini ke batu atau akar pohon. Cepetan!"

"Kita mau ngapain?" tanya Rendra.

"Menyusuri tali ini," Ragil menatap Rasi tajam. "Rasi, kamu gerakkan tali ini secara periodik. Supaya aku tetap terhubung dengan pemikiran logis. Di bawah sana mungkin kekurangan oksigen, sehingga pikiran kita lepas kendali."

Rasi mengangguk.

"Aku ikut!" Rendra berkata tegas.

"Ren, kamu di sini aja, bantuin anak-anak ini."

"Aku bukan anak-anak yang bisa kamu suruh-suruh!" gerutu Rendra ketus.

"Rasi, lorong yang mana?" tanya Ragil.

Rasi meraba kameranya yang menyimpan video.

"Baterainya habis!" gumam Rasi kesal. "Aku coba liat kamera hapeku."

Tak banyak yang bisa terekam di gawai selain bayangan suram dengan gambar-gambar yang tampak seperti guratan. Benar kata Najma, pikir Rasi, bisa jadi rekaman menghilang semua.

"Ada yang kamu ingat? Tanda, simbol, hal unik atau apa aja?" desak Ragil.

Rasi memejamkan mata.

"Cepat, Ras!" bentak Ragil.

"Iya, Mas! Aku lagi ingat-ingat ini!" teriak Rasi kalut. Ia mencoba memusatkan perhatian, menuju ingatan memori jangka pendek yang akan menghantarkannya pada Najma.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Seperti berhari-hari menunggu jawaban Rasi.

"Segitiga," sahut Rasi. "Ada simbol-simbol segitiga di dinding."

"Segitiga kayak apa?"

"Pokoknya segitiga! Mana aku tahu segitiga kayak apa? Segitiga ya segitiga!"

Ragil menarik napas pendek, melempar pandang ke arah Rendra yang tampak waspada. Mereka berdua segera melompat turun, sementara Rasi dan Bhumi membuat simpul kuat tali tambang ke akar pohon terdekat.

"Kamu siap, Ren?"

"Aku oke aja!"

"Kamu di belakangku. Kalau ada yang menurutmu aneh dan membahayakan, tarik aku dan Najma segera. Paham?"

"Oke."

Ragil sampai di dasar sumur, menatap ke sekeliling lorong. Ia menengadahkan kepala, mencari wajah Rasi di atas.

"Yang mana, Ras?"

"Sepertinya yang tengah!" sahut Rasi tak yakin. Ia pun mengutuk diri sendiri, mengapa bisa lupa pintu masuk padahal baru beberapa waktu yang lalu?

"Sepertinya?? Kan kamu yang nemanin dia!! Gimana sih??"

Sesuatu melintas di benak Rasi tetiba, tak menggubris kemarahan Ragil. Kalau terus berkelahi dan saling menyalahkan, mereka tak akan menemukan Najma.

"Mas Ragil!" teriaknya. "Sepertinya segitiga warna hijau!"

Ragil meneliti ke sekeliling. Sepertinya, sepertinya, sepertinya! Ia menggerutu dalam hati. Semua dinding ini berlumut. Simbol-simbol yang muncul nyaris berwarna hijau seluruhnya. Bagaimana ia bisa memastikan lorong yang tepat?

"Semuanya hijau! Semuanya berlumut!" teriak Ragil gusar.

Rasi hanya mampu menghela napas. Ia ingin yakin, tapi tak bisa.

Rendra mengamati dengan teliti.

"Gil, aku rasa yang ini," Rendra menunjuk ke sebuah pintu lorong.

"Kamu yakin?"

"Ya."

"Kok bisa?"

"Akhir-akhir ini aku mengamati simbol-simbol mamaku dengan teliti. Jadi, mataku mulai awas terhadap goresan, lekukan dan warna. Coba kamu perhatikan," Rendra berkata. "Semua ditutupi lumut. Tapi warna hijau yang ini beda. Kalau lumutnya kita keruk pakai kuku, masih tersisa warna hijau yang jelas dan terang. Ada pendar cahaya juga di sekeliling simbolnya."

Ragil mengamati seksama.

Mengapa ia bisa teledor kali ini? Apakah karena terlalu mengkhawatirkan Najma, maka pikiran logisnya menghilang?

"Kalau salah masuk, kita tarik talinya, biar Rasi dan semuanya narik kita balik," saran Rendra.

Ragil mengangguk, kali ini mencoba patuh. Berdua, beriringan dengan Ragil sebagai penunjuk jalan mencoba menyusuri lorong di depan.

Satu langkah.

Dua langkah.

Udara makin lembab. Dingin. Lorong itu termasuk besar dan masih tersisa ruang lapang di atas kepala serta di sebelah kanan kiri. Menyebabkan gerak tubuh masih bisa leluasa, bahkan berlari pun dapat dilakukan. Berjajar dua orang tidak terasa kesempitan, walau bila berlama-lama mulai akan kesulitan bernapas.

Senter Ragil cukup kuat untuk menerangi dinding-dinding lorong. Berharap baterainya tak habis ketika mereka masih harus bergerak ke depan.

"Najma!"

"Najmaaa!"

Suara gaung. Memantul-mantul. Bergema berulang.

Mereka terus berjalan, hingga sampai di ujung tali. Hampir saja Ragil memutuskan untuk kembali kalau tidak terantuk sesuatu yang tampaknya tubuh manusia dengan ukuran lebih kecil dari dirinya.

"Najma?" teriak Ragil.

Senter menerangi sosok di depannya dengan kerudung, celana khaki bersaku banyak dan baju lengan panjang warna hitam.

"Ya Tuhan syukurlah!" Ragil berseru lega. "Ayo ke luar!"

Tak ada respon.

"Naj?" ujar Ragil keras.

Tak ada jawaban.

Menyadari sesuatu tak beres, Rendra meremas bahu Ragil di depannya, "Tarik saja dia ke luar, Gil! Sekarang!"

Ragil mencoba menarik tubuh Najma.

Kaku.

Berat. Tak dapat digerakkan.

"Belitkan tali ke perutnya!" perintah Rendra.

Walau sudah sekuat tenaga menarik, tubuh Najma tampak mematung kaku.

"Gila! Anak ini kuat banget!" ujar Ragil kewalahan menarik tubuh Najma.

Rendra menggerakkan tali, meminta pertolongan kekuatan dari tiga orang yang menunggu mereka di pintu gua. Semakin kuat mereka menarik, semakin tertolak kekuatan kokoh.

"Kita gak bisa narik dia!" Ragil berkeringat dan terengah.

"Kekuatan kita gak ada apa-apanya sama sekali!" Rendra basah kuyup.

"Berhenti, Ren!" teriak Ragil. "Kalau kita paksakan, bisa fatal akibatnya!"

Ragil dan Rendra berdiri bersisian, tak mengerti apa yang harus dilakukan. Namun mereka tahu, tak mungkin meninggalkan Najma sendirian di situ. Keduanya berpikir keras, mencari jalan mengatasi keadaan yang sama sekali tak masuk akal.

"Ragil, kau di sini sebentar! Aku ke luar, cari sinyal!"

"Kamu mau nelpon siapa, heh?!"

Rendra tak menggubris, melangkah mundur menggunakan tali. Saat tiba di mulut gua dan mendapatkan sinyal kuat, segera memencet nomer seseorang yang saat ini dipercayainya dapat memberikan nasihat tepat.

🔅🔆🔅

Rendra...kamu nelpon siapa?

lux_aeterna2022creators' thoughts