webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

Bisikan Lembut

"Aku?" Sonna menunjuk hidungnya.

"Ya, kamu Dek!" tegas Rendra. "Silva bilang, kamu bisa diandalkan untuk situasi seperti ini."

Sonna menatap Bhumi dengan ketakutan dan kecemasan, keraguan dan kekhawatiran terbayang jelas di wajahnya.

"Ayo, Son, kamu pasti bisa," Rasi menguatkan. "Kamu selama ini tangguh menghadapi banyak hal."

Bhumi meletakkan telapak tangan di bahu adiknya, "Sana, cepetan bantu Pak Rendra menyelamatkan Mbak Najma."

🔅🔆🔅

Setelah kekerasan dan kekuatan dikerahkan ternyata tak membuahkan hasil, maka sesungguhnya itu bukan inti dari perlawanan. Ada hal lain yang bisa diupayakan. Sesuatu yang justru berkebalikan dengan hal sebelumnya : ketenangan dan kelembutan.

Itu yang dipesankan Silva.

Setidaknya, itu yang ditangkap Rendra.

Tubuh Najma berdiri tegak, nyaris tak terlihat gerakan apapun. Kaku. Menatap lurus ke depan. Matanya sedikit terbelalak, tak tampak ketakutan, hanya terlihat sorot mata kosong. Seluruh bagian tubuhnya bagai patung yang tak dapat dilemaskan sama sekali.

Sonna memeluk Najma dari belakang, memijit lembut pundak dan lengannya. Berbisik di telinganya dengan intonasi jelas dan tegas, namun tetap tenang. Setelah mengucapkan nama-nama Tuhan yang Maha Mulia, Sonna memulai berkata.

"Mbak Najma, ini kami. Aku, Sonna," Sonna menyebutkan diri. "Bersamaku ada Mas Ragil dan Pak Rendra. Rasi dan Bhumi juga ikut."

Jemari Sonna terus mengelus lengan Najma.

"Mbak…ayo, kita kembali. Tempat Mbak bukan di sini," tegas Sonna.

Tubuh Najma kaku. Jemari Sonna meraba dadanya. Masih ada detak jantung di situ, detak jantung yang sangat cepat. Seolah pemiliknya berkejaran dengan sesuatu atau tengah terlibat dengan sesuatu yang sangat menegangkan. Sonna menepuk-nepuk lembut dada Najma, tepat di areal jantungnya. Mengucapkan kalimat-kalimat yang memohon perlindungan pada Yang Maha Kuasa.

Bibir Sonna terus memanggil nama Najma. Pelan. Lembut. Tegas. Berulang-ulang.

Napas Najma mulai terdengar memburu. Ada tekanan naik turun di dada dan perutnya.

"Mbak Najma, ayo kita ke luar dari sini," bisik Sonna. "Mbak orang baik. Tuhan pasti melindungi hambaNya yang baik."

Sonna mengucap nama Tuhan berkali-kali. Mengucapkan kalimat-kalimat yang kemungkinan dapat segera mengembalikan Najma pada kesadaran awalnya.

Detak jantung yang cepat, napas memburu, tubuh berkeringat menandakan Najma sedang berjuang juga untuk dapat kembali ke tempat asalnya berpijak. Lutut Sonna yang menempel pada bagian belakang kaki Najma, mulai merasakan kelenturan sendi gadis di depannya.

"Mas Bhumi!" teriak Sonna. "Tariiiikkkk!"

Seperti permainan ular naga.

Sonna menarik Najma. Bhumi menarik Sonna.

Ragil menarik Bhumi, sementara Rendra menarik Ragil dan Rasi berjaga di simpul utama tali.

🔅🔆🔅

Tempat nyaman yang terdekat adalah warung makan sederhana, milik warga desa. Tak ada café atau resto ala anak muda. Mereka butuh sekedar tempat untuk menghela napas sembari meneguk minuman hangat. Ragil memesan makan siang yang telah mulai habis lauk pauknya. Masakan sederhana yang sama sekali jauh dari standar seorang Rendra. Lelaki muda itu hanya memesan sebotol air mineral.

Najma, dengan tangan gemetar, menghabiskan sepiring nasi jagung dengan taburan sayur urap dan ikan asin. Sebotol air mineral dan satu gelas besar teh hangat telah masuk ke tenggorokan. Penjaga warung, seorang perempuan paruh baya dengan kain jarik dan kebaya menyapa ramah menggunakan bahasa Jawa medhok.

"Masnya anak-anak mahasiswa yang lagi KKN? Mau bangun sumur atau ngecat kantor kelurahan?" tanyanya.

Ragil menggeleng.

"Bukan, Bu," ujarnya sopan, berusaha mempersedikit komunikasi agar kedatangan mereka dapat tetap dirahasiakan maksudnya.

"Kalian pelancong? Soalnya ada yang suka naik gunung lewat sini," ibu itu bertanya, masih dengan nada ramah.

"Kami bukan pelancong," Rasi, yang suka to the point menjawab.

Ragil menatapnya tajam. Kepalang basah, ibu itu menatap mereka satu persatu.

"Trus kalian ngapain, Mas, Mbak?"

Ragil menatap Rendra, memberikan isyarat untuk diam.

"Kami ke sumur Wiswa," suara parau Najma terdengar.

Terdengar teko dan gelas seng berjatuhan. Tampaknya tak disengaja.

"Sumur Wiswa?" suara si ibu menggema aneh. "Siapa saja yang ke sana?"

"Kami semua," sahut Najma.

Ibu penjual mendekati Najma.

"Apa kalian tahu, ndak sembarangan orang boleh masuk sumur itu?"

Semua membeku di tempat.

"Tapi…," Najma meneguk lagi air dari botol mineral kedua. "Tapi nggak ada larangan tertulis di sekitar wilayah sumur Wiswa."

"Penduduk desa sepakat untuk tidak mengusik tempat itu!" tegas ibu penjual.

"Kami hanya sebentar ke sana," Najma bersikeras.

Ragil menendang kakinya, menuruh gadis itu diam.

"Sebentar?" ibu penjual bertanya tajam. "Sebentar itu berapa jam, Nduk?"

Najma menelan ludah. Mereka dari pagi dan keluar menjelang sore. Hampir seharian di sana!

"Apakah tempat itu…"

"Najma!" tegur Ragil. "Sudah. Cepetan habiskan makanmu. Kita pulang segera!"

"Apakah tempat itu punya penunggu jahat?" tanya Najma langsung.

Gebrakan gelas seng mengejutkan semua. Sonna merapat ke arah Bhumi. Ragil menatap Najma kesal luar biasa. Energinya telah terkuras untuk menyelamatkannya. Apakah belum cukup membuat repot begitu banyak orang?

"Penunggu jahat?" ulang perempuan itu dengan intonasi tinggi.

"Y-ya…," Najma merasa kepalang tanggung. Ia telah tercebur, merasakan kekacauan di sana, harus ada yang dituntaskan.

"Maksudmu, Nduk?"

"Semacam…semacam…entahlah, Bu. Tukang tenung? Tukang sihir? Jin penunggu? Makhluk jahat? Arwah penasaran?"

Ibu itu menatap Najma keheranan.

"Kamu dengar cerita itu dari mana, Nduk?"

"Saya hanya dengar selentingan kabar. Menebak-nebak juga," Najma jujur menjawab.

"Jangan percaya kabar burung!"

Najma terdiam. Semua tampak mempercepat makan, sementara Najma jelas-jelas berusaha memperlambatnya.

"Ibu," tanya Najma lembut dan memohon, "Ibu pernah ke sana?"

Penjual itu terdiam, tak menjawab. Justru melemparkan kalimat lain, "Kalau kalian sudah selesai, segera bayar. Hari sudah sore. Ndak bagus kalau kemalaman di jalan. Rumah kalian jauh kan dari sini?"

"Ya, Bu," Ragil mengangguk cepat. Melempar pandangan tajam sekaligus memohon ke arah Najma.

"Ibu…," Najma meminta sangat,"…saya sangat butuh jawaban terkait sumur Wiswa."

"Kenapa?"

"Belum banyak yang tahu tentang sejarah sumur itu. Padahal, sepertinya punya sejarah yang penting."

"Semua bangunan tua punya sejarah penting bagi yang berkaitan dengannya."

"Ibu punya kaitan dengan sumur Wiswa?"

"Penduduk desa ini punya kaitan dengannya."

"Ibu pernah masuk ke sana? Pernah masuk ke sumur atau salah satu lorongnya?"

Ibu penjual menatap tajam ke arah Najma, "Kenapa kamu nanya begitu, Nduk? Jangan coba-coab masuk ke sana!"

Semua menahan napas.

"Seperti yang sudah kami sampaikan tadi," Najam mengulang, "kami habis dari sana."

"Celaka!"

"Kenapa?" Sonna bertanya gemetaran. "Apa…apa kami kena kutukan? Apa kami bakal mati?"

Ibu penjual menatap Sonna lembut. Sonna tampak yang paling muda dan paling innocent dari semuanya. Ia jatuh iba melihat wajah polos Sonna.

"Ndak, Nduk. Kalian ndak akan mati atau celaka gara-gara masuk sumur Wiswa."

Najma terlihat bingung.

"Kalau gitu, andai sumur itu tidak membawa pengaruh buruk atau berbahaya…kenapa orang-orang dilarang ke sana? Ibu juga marah karena kami ke sana," tanya Najma ingin tahu.

Ibu penjual menatap gusar, menahan diri sekuat tenaga.

"Karena kami ndak ingin kalian orang-orang kota ganggu kehidupan kami yang damai tentram di sini. Sumur Wiswa sama sekali bukan ancaman. Ndak ada penunggu yang jahat atau apapun seperti yang sering disebutkan orang-orang : hantu, setan, genderuwo, penunggu dan seterusnya."

"Saya bertemu satu sosok di dalam lorong," Najma mengguman pelan.

Mata si ibu penjual terbelalak.

Ia melangkahkah kaki ke belakang tanpa sadar, tubuhnya terantuk tepian meja.

"Kamu bertemu…Sang Tumenggung*?" bisik ibu penjual.

"Tu…Tumenggung?"

Semua terdiam. Menahan napas. Tak berkedip. Tertuju seluruhnya ke satu titik : Najma dan ibu penjual.

"Kau bertemu Sang Tumenggung, Nduk?" ibu penjual mengulang tanya.

"Saya nggak tau ketemu siapa, Bu. Tapi…saya berhadapan dengan satu sosok di dalam lorong…dan…"

"Najma –teman kami ini –hampir celaka di sana," Rendra tetiba angkat bicara dengan tegas, "kalau Ibu ingin tahu kejelasannya. Pastinya, lorong itu berbahaya buat pengunjung. Dan nggak semua orang bebas ke sana. Apapun yang ada di dalam lorong, membahayakan jiwa manusia."

Ragil menatap aneh ke arah Rendra, merasa ganjil dengan caranya mengucapkan 'teman kami'.

Ibu menatap Rendra dan Najma bergantian.

"Apa..dia mengancammu, Nduk?"

Najma menatap dalam ke mata ibu penjual. Ada kejujuran terpancar di sana. Kebaikan hati. Ketulusan ala penduduk desa yang sering didengar orang-orang.

"Sebetulmya…saya nggak merasa ia… siapa itu?...Ahya, sang Tumenggung mengancam. Hanya saja tubuh saya rasanya remuk redam di dalam sana. "

Ibu penjual tersenyum, mengangguk-anggukan kepala.

"Sang Tumenggung bukan sosok jahat. Ia baik, hanya berasal dari kehidupan yang jangat jauh dari masa sekarang. Tak sembarang orang bisa menemuinya. Dan karena kamu mengganggunya, kehidupan kami ndak akan sama lagi," gumamnya pelan.

Suara ibu penjual terdengar sedih.

"Maafkan…," Najma tampak menyesal.

Ibu menggelengkan kepala, "Yah, bagaimanapun, hari ini akhirnya akan tiba juga. Bahwa sumur Wiswa takkan bertahan selamanya."

Najma merasa serba salah.

"Apa yang disampaikan Sang Tumenggung padamu, Nduk?"

Najma menatap perempuan di depannya keheranan.

🔅🔆🔅

_______________________________

*tumenggung (bahasa Jawa) : panglima