webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Langkah Nami (7)

Nistalit terpisah dua seperti rencana semula. Sebagian melintasi Girimba timur, sebagian Girimba barat. Tubuh dipenuhi luka, pakaian terkoyak, terhuyung-huyung berlari.

"Cepat! Cepat!" Dupa berteriak, memerintahkan rombongannya untuk merapikan langkah. Berkumpul. Terus bergerak.

"Lari! Lari! Terus berlari!"

Luka-luka yang ada hanya diberi kunyahan daun dewa, dibalur sobekan kain. Sekedar menghentikan darah dan melawan pembusukan.

Mereka berlari sekuat tenaga. Semampu tubuh berlari. Meninggalkan semua teman-teman mereka yang mati di Giriya, di gua tua tirai air terjun - yang ternyata kediaman para pangeran putra Gayi - , yang tercebur masuk pusaran air, atau yang meregang nyawa di hutan Girimba.

Lari.

Lari.

Terus bergerak.

Kadang terjerembab, bangun lagi. Terjungkal, bangun tertatih, lari lagi. Berjalan perlahan, menarik napas, lari lagi. Mereka masih berada di wilayah yang jauh dari jangkauan Gangika. Mantra Gangika tentu tak dapat menjangkau. Lari adalah satu-satunya langkah yang dapat dipilih.

Bahkan ketika malam, hanya diterangi rembulan, kaki-kaki terus berlari. Untung, hujan tak turun.

"Berhenti!" Dupa menahan langkah.

Suara lenguhan. Geraman. Seperti suara igauan tak jelas.

"Siapa di situ???" Dupa berteriak.

Nistalit bergerak merapat.

"Apa...?"

"Siapa itu, Dupa?"

"Mereka...??!"

Dupa menajamkan mata.

"Nyalakan obor!" perintah Dupa.

"Tapi..."

"Nyalakan obor!!

Ini wilayah Wanawa. Tak ada Giriya atau Vasuki di sini, pikir Dupa cemas.

Ada tubuh-tubuh bergerak dari balik pohon. Seperti mengintai. Menunggu waktu menyergap.

Senyap.

Hanya suara angin mendesah.

"Itu ayahku!" teriak seorang anak Nistalit.

Dupa mengernyitkan dahi.

"Itu ayahku! Kupikir ia mati di gua atas sana," si anak berteriak kegirangan, ingin menghambur memeluk. "Aku mengenalnya. Separuh wajahnya keriput karena cambuk!"

Dupa menahannya.

Tubuh-tubuh terkoyak muncul dari balik pohon. Mata gelap kosong. Bergerak menyerang para Nistalit yang telah kelelahan.

Dupa menghunus senjata.

"Mereka Nistalit juga!" teriak rombongan.

"Bukan!" bentak Dupa. Pikirannya kebingunggan.

Seperti Nistalit, namun menyerang kawan sendiri?

Aaaaarrrrrghhh.

Satu Nistalit terjerembab, menerima pukulan dan hantaman. Tubuhnya tak bernyawa seketika.

"Lawan mereka!" Dupa berteriak.

Pertarungan para Nistalit berlangsung di gelap malam. Satu obor tak cukup untuk menerangi semua arena. Aneh, tubuh Nistalit yang telah terluka itu tampak kuat dan bugar. Walau bau busuk dan langkah lunglai, tenaga mereka berkali lipat.

Dupa bertahan sekuat tenaga.

Bertarung lagi seperti ini jelas tak menguntungkan. Apalagi gelap malam membuat mata tak mampu melihat lawan.

Mereka kelelahan sangat. Bahkan berhari-hari tak makan dalam pelarian. Hanya sempat mengunyah dedaunan sebagai pengganjal lapar. Kemampuan terkuras habis saat berhadapan dengan para pangeran putra Gayi halla Vasuki.

Rombongan terkepung.

"Celaka!" pikir Dupa sengit. "Kami selamat dari Vasuki tapi mati di tangan kawan sendiri?"

Dupa mencoba melawan. Beberapa pemuda Nistalit mengikuti. Tapi Nistalit mati yang bangkit kembali tak mudah dilumpuhkan. Tubuh mereka yang terluka parah dan membusuk tak merasakan sakit walau ditikam berkali-kali.

Terhuyung.

Terjerembab.

Dupa kehabisan tenaga.

Nistalit-mati yang kini memiliki cakar itu memburunya. Mata hitam berkilat dengan ayunan kuku-kuku tajam siap mencabik.

Clap.

Clap.

Rlllaaappp.

Satu kapak menghentikan. Disusul mata tombak dan pisau beterbangan.

"Cepat ambil senjata-senjata itu lagi!" teriak satu suara.

Terpana.

Terkejut akan pertolongan tiba-tiba.

Suara bentakan memekakkan telinga.

"Tunggu apa lagi??? Lari, Nistaliiiitttt!!! Bawa senjata-senjata ini!"

Para Nistalit berhamburan.

Seseorang menghalangi para Nistalit mati-bercakar yang mencoba memburu mangsa. Lincah tangannya bergerak memainkan pisau dan kapak. Kali ini, kapaknya dililit tali akar pohon yang dapat dilepas dan ditarik kembali.

Dupa menggiring rombongannya yang kembali berkurang jumlah untuk terus berlari. Ia menoleh ke belakang sekali, lalu mengumpulkan tenaga di kaki untuk mengayuh langkah secepat mungkin.

"Nami...?!" bisik Dupa keheranan.

Ya. Gadis itu, Nami.

Dupa menahan langkah.

Apakah akan ia biarkan Nami, untuk yang kedua kalinya, melawan semua sendiri?

"Kalian terus berlari menelusuri Girimba! Jangan berhenti!" teriaknya.

Dupa membalikkan badan. Ia harus membantu Nami.

❄💫❄

"Gila!" ujar Dupa, yang telah tiba di sisi Nami. "Mereka siapa?"

"Mereka??" ujar Nami geram. "Mereka bukan Nistalit!"

"Tapi...tapi mereka..."

"Akasha Giriya merasuki mereka. Atau memantrai. Aku tak tahu pasti!"

"Bagaimana kau tau?"

"Nanti kuceritakan kalau kita selamat dari sini!"

Pertarungan berlangsung kembali.

Berdua bahu membahu, semangat tempur Nami dan Dupa bangkit. Walau tentu, tubuh makin tak berdaya.

"Kau masih punya racun Kuncup Bunga?" tanya Nami.

"Ada di tombakku. Tapi tinggal sedikit!"

Nami mengayunkan pisau dan kapaknya, menghalau serangan para separuh Nistalit - sebutan Nami bagi mereka yang berada di bawah pengaruh Akasha Giriya.

"Gunakan untuk pemimpinnya," teriak Nami. "Ya! Itu! Yang paling tinggi dan separuh lengannya hancur!"

Dupa mengiyakan.

Melemparkan tombaknya ke arah musuh.

Clap.

Eeeeiiiiiighhhh.

Persis lengkingan tinggi Vasuki yang meneriakkan derita.

"Ambil tombakmu!" teriak Nami.

"Tak bisa! Musuh terlalu banyak!"

"Kau masih punya senjata??"

"Hanya pisau kecil! Nami! Aku tak yakin bisa bertahan.....arrrggggh!"

Nami membalikkan badan. Melemparkan kapak ke musuh, menariknya lagi, mencoba menyelamatkan Dupa. Punggung pemuda itu terkena cabikan.

"Mereka hanya mati dengan racun Kuncup Bunga," desis Dupa menahan sakit.

"Ya, aku tahu!" desis Nami.

Hanya beberapa separuh-Nistalit yang mati. Selebihnya bangkit dan bangkit lagi.

"Aku kehabisan racun...," Dupa mencoma mengayunkan pisau kecilnya untuk bertahan.

"Punyaku juga habis!"desis Nami.

Ia selamat dari kematian yang pertama. Apakah Penguasa Langit mempermainkannya? Hanya sebentar waktu hidupnya, selamat dari racun Vasuki, lalu selebihnya mati karena mantra Giriya?

"Nami!"

"Dupa!"

"Kita bertahan habis-habisan!" ujar Dupa.

"Pikiran kita sama," Nami berujar, tersenyum. "Senang berkenalan denganmu, Dupa!"

"Senang mengenalmu, Nami!"

Mereka berdua mengerahkan kemampuan terakhir. Mengayunkan senjata-senjata di tangan. Mencoba menerobos kepungan, melumpuhkan lawan yang punya seribu nyawa.

Hidup memang dipenuhi kejutan. Kabar baik dan buruk beriringan. Kegembiraan dan duka berkejaran.

Dupa jatuh terjungkal.

Nami jatuh terduduk.

Separuh-Nistalit menyeringai penuh kemenangan, mengayunkan lengan-lengan dan kaki yang sekuat batu.

Suara angin bersiut kencang, diikuti pusaran yang membawa dedaunan. Tubuh Nami dan Dupa melengkung aneh ke belakang, berputar membumbung perlahan. Naik dengan tekanan lembut menuju puncak pepohonan.

❄💫❄