webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Langkah Nami (6)

Hening yang tenang.

Senyap menggenang.

Air.

Udara.

Alam.

Sendirian.

Seperti inikah kematian?

❄💫❄

Terbatuk-batuk.

Berkeringat.

Napas tersengal satu-satu.

O, jadi seperti ini maut datang?

Tanpa teman, tanpa kawan. Hanya berdua dengan kenangan. Ayah, ibu, Jalma. Nami menyandarkan tubuh ke dinding gua. Lantai dingin dan basah. Dari tempatnya duduk, percikan deras air terjun menghunjamkan tetes-tetes air.

Matanya menangkap tubuh-tubuh bergelimpangan. Sebagian melotot ke arahnya, sebagian telungkup. Darah berceceran di mana-mana. Satu dua Nistalit meregang nyawa, menatap ke arahnya dengan pandangan penuh harap agar kehidupan masih berpihak.

Nami mencoba mendekat.

Menggenggam tangan.

"Na...mi...?"

Nami mengangguk, mengelus kulitnya.

"Anak...ku...mana?"

Oh, jadi lelaki ini membawa anaknya, pikir Nami. Bagaimana menjawabnya? Bolehkah ia memberi kabar gembira, walau tak tahu itu benar ataukah dusta?

"Dia ...baik-baik saja. Kemungkinan ...bersama Dupa atau... Suta," jawab Nami terengah.

Atau tidak bersama keduanya, batin Nami sedih.

"Temu...kan anakku..."

Nami mengangguk pelan.

Ia menyumpahi diri sendiri, mengapa menjanjikan sesuatu disaat dirinya pun tak mampu?

Aku terpaksa berjanji, batin Nami sendu. Aku menjanjikan sesuatu yang mustahil kupenuhi.

Bahkan nyawa Nami saat ini terancam bahaya. Napasnya memburu, bercampur pikiran bertahan hidup serta keinginan untuk selamat.

Lelaki itu membisu kemudian, setelah satu cegukan mengakhiri tarikan napas. Leher, dada, lengan, kaki dan nyaris seluruh tubuh lelaki itu terkoyak. Tak ada yang bisa diingat dari dirinya kecuali separuh wajah keriput memerah, hasil sentuhan cambuk Kuncup Bunga.

Ia masih cukup muda, pikir Nami. Mungkin seusia kakak Jalma, bila abangnya memiliki kakak. Anaknya pasti masih kecil.

Nami mengamati sekeliling. Sekarang semuanya benar-benar membisu. Tak ada napas lagi, kecuali miliknya.

Baiklah.

Mungkin ia menjadi peserta terakhir pesta kematian Vasuki. Gadis itu kembali merayap ke dinding gua. Menyandarkan tubuhnya yang gemetar oleh rasa sakit. Racun keparat itu seolah menyebarkan duri ke seluruh pembuluh darah. Bahkan ia dapat mencium bau busuk luka-luka yang menganga di lengannya.

"Ayah, ibu," bisik Nami.

Dua bulir air jatuh dari ujung mata.

"Jalma?" bisik Nami lagi.

Ia menghela napas panjang. Tiap tarikan, seolah pisau mengiris kerongkongan.

"Aji, Usha...maafkan," Nami berbisik. "Aku...tak dapat...melindungi kalian."

Nami mencoba tenang.

Pedih membakar. Nyeri menghunjam. Kaki-kakinya sulit bergerak. Seluruh tubuh membeku dan membusuk bersama racun.

Ia menikmati rasa sakit tapi membenci hidupnya. Mengapa harus kalah dari Vasuki? Tidak adakah cerita lain yang lebih bisa dipilih?

Mata Nami menyapu mayat-mayat Nistalit yang sedemikian cepat membusuk. Lembab gua bercampur aroma bangkai. Melihat mereka, hampa hatinya. Ada yang sama sekali tak dapat mencapai Gangika. Memakan umbi lebih banyak, mengenal buah-buahan. Masih beruntung dirinya yang sempat menikmati pesona dunia.

Nami memejamkan mata. Mencoba tersenyum pada diri sendiri.

Ia mencium gelang manik jali-jali miliknya dan milik Jalma yang senantiasa membuatnya merasa mereka selalu berdua. Gelang itu memberinya kekuatan yang dibutuhkan, sampai sekarang. Pedih dan malu, tak dapat memenuhi permintaan Jalma dengan baik. Andaikan masih berumur panjang, ia berjanji akan berjuang lebih baik lagi. Bukankah demikian keinginan bila diambang kematian?

Sebelah tangan yang masih dapat digerakkan dengan lemah, gemetar, mencoba meraba kantung tas. Mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai kebahagiaan terakhir.

Jemari Nami menyentuh benda lembut dan halus. Matanya berbinar sesaat.

"Indah sekali," benak Nami mulai kacau. "Aku mungkin mengenakannya di kehidupan Nirvana nanti."

Secarik kain hijau bersulam.

Bahkan wanginya masih tercium. Aroma dedaunan, buah, bebungaan mekar. Nami mengangkat helai kecil kain yang disobeknya dari jubah panglima Akasha. Ia membawa benda itu ke dekat mata, dilambaikan ke atas, ke arah matahari redup yang mulai lingsir.

Sulamannya berkilauan.

Cahaya lembut berpendar.

Demi kebahagiaan terakhirnya, Nami meletakkan carik kain itu ke atas lengannya yang terluka.

Sesaat kemudian kepalanya terkulai.

❄💫❄

"Jalma! Buatkan aku boneka jerami!"

"Aku sudah membuatkanmu kemarin. Hilang lagi?"

"Kuberikan temanku. Kasihan. Ayahnya barusan mati, dihukum Akasha Giriya."

"Oh, kasihan sekali dia. Kau mau boneka seperti apa?"

"Berambut panjang. Rambutnya dipenuhi bunga. Bisa?"

"Haha! Apa yang tak bisa dilakukan Jalma?"

"Kau abangku yang terbaik!"

Nami memeluknya.

Merasakan dekapan kokoh Jalma. Tubuh jangkung dan perkasanya selalu berusaha melindungi. Pekerjaan berat, diambil alih Jalma. Pekerjaan berbahaya, diambil alih Jalma. Jalma pula yang mengajarinya berhitung, membaca dan berbagai hal yang tak diketahuinya.

"Aku akan menjadi seperti Ogmar dan Yamar, " itu cita-cita Jalma.

Nistalit Ogya, yang berani melawan kekejaman walau mati mengenaskan.

"Nami, jangan menangis," hibur Jalma. Memeluk adiknya yang menangis sesenggukan ketika kedua orangrua mereka wafat. Nami memeluk erat boneka jeraminya.

"Nami, aku ada di sini. Aku akan selalu melindungimu. Aku lebih hebat dari Akasha manapun," janji Jalma.

Jalma selalu memeluknya erat.

Mengepang rambutnya.

Membantu menjahitkan baju.

Memetikkan bunga.

Membuat boneka jerami.

Jalma memeluknya erat.

Jalmakah itu?

Tapi, mengapa ia berjubah hijau?

❄💫❄