webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Kekacauan Pesta (5)

"Han! Bantu Nami dan Dupa!" teriak Kavra cepat.

Tunggangan angin Han mengantarkan Nami ke arah Arumya dan lalu bergegas mengantar Dupa ke arah Calya.

Di bilik tamu putri, Arumya tengah dikawal prajurit Akasya Giriya. Ia tampak merenung, duduk di selasar bilik. Rakash tak ada bersamanya. Jantung Nami berdegup kencang. Ia melihat kelebatan bayangan seolah berlari ke arah Arumya!

Prajurit Giriya terpelanting, tewas.

Nami berkejaran dengan waktu.

"Putri Arumyaaa! Lariii!"

Penyerang bertopeng melemparkan senjata ke arah Arumya, tepat ketika Nami berusaha menghalaunya. Arumya terpekik, menjerit kesakitan.

"Putri!!"

Bahu Arumya terluka.

Nami merobek ujung gaunnya, menekan luka Arumya.

Musuh sepertinya tak berlari menjauh, setelah gagal dalam serangan pertama, menyerang kembali.

Pedang beradu sengit. Dentingnya memekakkan telinga.

"Kau bukan pasukan hitam!" teriak Nami tegang.

Penyerang bertopeng cukup tangguh. Tapi Nami, bukan prajurit sembarangan saat ini. Di bawah asuhan Garanggati dan Vanantara, gerakannya jauh lebih gesit dan kuat walau kaki sebelahnya terluka. Nyeri merajam; beruntung, serbuk Wanawa mujarab menahan sakit. Jika hanya prajurit biasa, bukan sekelas Gosha Hitam, Nami mampu menghadapinya dengan baik.

Serangan gencar Nami membuat musuh kelabakan. Nami merasa aneh, jurus yang digunakan musuh seolah pernah dikenalnya. Tapi di mana? Kapan? Tatapan mata musuhnya pun seolah demikian akrab.

Ingin segera menguasai pertarungan, Nami menggulung sedikit lengan. Cap kerajaan berbentuk daun hijau ada di sana. Ia menggosok permukaan pedang Sin dengan simbol Wanawa, pedang itu tampak lebih berkilau dan terlihat memiliki kekuatan berlebih.

Dua genggaman tangan Nami menyerang gencar, membuat musuh kewalahan.

Satu ayunan pedang Sin mendarat cepat di pangkal lengan, menusuknya dengan dalam. Jeritan tertahan terdengar.

"Aku akan membongkar topengmu!" Nami berkata.

Hampir saja serangan Nami berhasil melumpuhkan tubuh yang lain, ketika penyerang memutuskan untuk segera angkat kaki mendengar sebuah teriakan.

"Prajurit Nami!" teriak Han panik. "Putri Calya terluka! Aku akan mengutus yang lain menjemputmu!"

"Hulubalang Han!" Nami balas berteriak. "Bawa semua putri ke bilik panglima!!"

❄️💫❄️

Rakash murka, menghampiri Milind.

"Kau sengaja menjebak kami di perayaan Andarawina?!" Rakash nyaris memukul Milind.

Kavra menahannya, "Tahan amarahmu, Rakash! Semua panik sekarang!"

"Betapa lemah pertahanan Wanawa!" ejek Rakash.

"Kalau selemah dugaanmu, kau dan putri Arumya telah mati," Gosha membela Milind. "Kita semua masih hidup. Kecuali para prajurit Akasha dan prajurit Nistalit yang berkorban untuk kita!"

"Bagaimana mungkin perayaan sebesar ini, diselenggarakan oleh kerajaan kuat Wanawa, dapat disusupi heh?!" Rakash belum puas mengumbar amarah.

Kemarahan Rakash tertahan oleh laporan hulubalang Han dan Wulung. Dupa dan Nami ada di sisi mereka, membawa dua tubuh terluka yang sangat dikenali. Gosha dan Rakash terbelalak, memburu para putri yang dipanggul oleh Han dan Wulung.

"Aku baik-baik saja,"Arumya menenangkan semua panglima, sembari menatap ke arah Nami penuh terima kasih. "Hanya bahuku yang terluka."

"Putri Calya!" Gosha memburunya.

Sang putri kehilangan kesadaran, sebuah luka di perutnya tampak dalam. Nami berusaha ikut membantu walau tak tahu harus berbuat apa. Luka di perut Calya menarik perhatiannya, walau ia hanya dapat melihat sekilas.

"Cepat bawa ke hadapan Paduka Vanantara," Milind berkata tegas. "Hanya beliau yang bisa menyembuhkannya!"

Milind dan Gosha, diikuti sebagian hulubalang dan panglima menuju bilik putri tempat Vanantara bersemayam sepanjang perayaan.

Nami tetap tinggal di bilik pertemuan milik Milind, sembari berusaha membantu Arumya.

Rakash tak beranjak dari dekat sang putri Giriya yang tampak pucat.

"Izinkan hamba mengobati luka Putri," pinta Nami.

Serbuk obat Wanawa disiapkan. Nami tertegun melihat pola luka di bahu Arumya.

❄️💫❄️

Malam itu adalah salah satu malam paling melelahkan dalam hidup Nami.

Ia tiba di bilik peristirahatannya untuk berbaring sejenak. Bilik putri sedang diramaikan oleh para hulubalang dan panglima, tak membutuhkan bantuannya. Bahkan, Nami masih tertidur dengan gaunnya yang dipenuhi darah di kaki. Belati dan pedang masih terselip di pinggang.

Satu sosok menerobos pintu bilik, membangunkannya.

"Prajurit Nami, ikut aku," pintanya penuh rahasia.

Nami harus memaksa diri untuk bangun, melihat wajah Wulung di sana, menatapnya bersungguh. Wulung, tidak hanya menunggang angin, mantra khusus melindungi mereka hingga tak terlihat mata Nistalit atau Akasha. Sejenak Nami merasa asing dengan arah tujuan, namun pada akhirnya mengerti. Gerbang Aswa adalah sudut yang aman tersembunyi.

Di sana, beberapa sosok telah menunggu. Kantuk Nami hilang seketika. Milind, Gosha dan Kavra duduk tegang menanti. Dupa ada di antara mereka. Nami memberi hormat yang dalam kepada tiga panglima, juga pada Dupa, rekannya.

Gosha menarik kursi bagi Nami, mempersilakannya duduk. Ia menyodorkan minuman, air dengan campuran kristal Aswa yang akan membantunya menyembuhkan luka. Rasa segar mengaliri mulut hingga ke lambung, menjernihkan pikiran.

"Bagaimana lukamu?" Kavra bertanya.

"Hamba baik-baik saja, Panglima," Nami menjawab sopan.

Pertemuan ini jelas bukan acara ramah tamah.

"Putri Calya terluka cukup parah," Milind berkata sembari menarik napas, "Paduka Vanantara sangat marah."

Nami mengangkat wajah cepat, beradu pandang dengan Milind yang seolah mencoba melihat tanggapannya.

"Bagi Paduka Vanantara, Putri Calya sudah seperti putri sendiri. Semenjak Raja Shunka wafat, Paduka menumpahkan perhatian kepada Putri Calya, selain pada Putri Yami dan Putri Nisha," Milind melanjutkan. "Seluruh jajaran prajurit Wanawa dan Nistalit akan menerima kemarahan beliau."

Ketiga panglima menatap Nami dan Dupa bergantian.

"Kalian perlu memberi tahu kami secara rinci kejadian penyerangan," Kavra berkata. "Jangan khawatir, Dupa. Aku tak menghakimimu. Itulah mengapa aku berada di sini, untuk membelamu. Bagaimanapun, kalian adalah Nistalit prajurit Gangika pada awalnya."

Dupa menceritakan segala yang dilihat dan dialami. Nami mengamatinya, segala yang diceritakan oleh Dupa terlihat sama. Kalau ada sedikit perbedaan, wajar saja. Ketika Dupa selesai bercerita, semua menghela napas panjang.

"Nami, bagaimana kau bisa tahu, Putri Calya dan Putri Arumya yang akan menjadi sasaran?" Gosha bertanya penuh selidik.

Nami menarik napas panjang, menunduk dalam. Semua menunggu, mencoba bersabar.

"Nistalit," Milind menegur tegas, "kami tak punya waktu sepanjang malam!"

Ada yang ingin disampaikan, tapi tak bisa terkatakan. Waktu berjalan, hingga Dupa ikut mengingatkan.

"Nami? Kau harus cepat menjawab!" ujarnya.

Nami mengangguk perlahan.

"Apakah…hamba bisa bertemu…Paduka Vanantara terlebih dahulu?" Nami berkata pelan.

Milind menatapnya tajam. Gosha dan Kavra bertukar pandang.

"Gosha," pinta Milind, "bisakah aku meminjam bilik pribadimu?"

Nami merasakan perutnya melilit, dahinya berpeluh, ketika Milind memintanya berbicara empat mata di bilik khusus Gosha. Milind menarik dua buah kursi, menyuruh Nami duduk, sementara ia tetap berdiri.

"Letakkan kakimu yang terluka di kursi satunya. Menggantung seperti itu akan terasa sangat sakit," Milind berkata datar.

Ia mengeluarkan sebuah lencana, lingkaran logam dengan hiasan pohon dan lima dahan kuat, lambang tertinggi Wanawa.

"Paduka Vanantara mengizinkanku untuk banyak bertanya padamu, Nistalit!" Milind berkata. "Kau pasti sangat mengenal lambang ini."

Nami menarik napas panjang dan dalam.

"Apa yang ingin Panglima ketahui?" perlahan keluar perkataan Nami.

"Semua tentang penyerangan malam hari ini."

Nami mengangkat wajahnya, terkejut sesaat.

"Apa yang hamba ketahui sama seperti Dupa," jelas Nami terbata.

"Tapi kau tahu persis bagaimana Putri Calya dan Putri Arumya akan diserang," Milind berkata penuh selidik. "Kau juga tahu cara membunuh Gosha Hitam."

Nami menelan ludah, kering, "Hanya firasat, Panglima."

"Satu firasat bisa dibenarkan. Dua firasat, harus dijelaskan. Tiga firasat, saling berhubungan," Milind menegaskan. "Kau pasti tahu sesuatu."

Nami, tanpa sadar memijat kedua pelipisnya.

Aksara Akasha. Aksara Pasyu. Simbol-simbol mereka.

"Panglima Milind," Nami berkata, sekelebat lintasan berjalan di benak, "mengapa Akasha Jaladhi dan Pasyu Mina tak memiliki pasukan Nistalit?"

Milind mengerutkan kening.

"Wilayah mereka di perairan," jelas Milind pendek. "Sangat sulit memiliki prajurit Nistalit di sana."

"Apakah mereka dalam pengawasan Panglima saat ini?" tanya Nami.

Milind menarik napas pendek, "Jaladhi dan Mina baru saja memohon diri untuk kembali. Mereka merasa tak aman di sini."

Nami tercekat mendengarnya. Ia bangkit berdiri, sedikit terhuyung.

"Perintahkan Hulubalang Panglima untuk membawa hamba dan Dupa mendampingi mereka!"

Milind menatapnya tajam, seolah tak percaya. Hampir saja Milind memanggil para hulubalangnya ketika Nami berkata lagi.

"Adakah yang benar-benar Panglima percaya?" tanya Nami.

"Aku mempercayai semua hulubalangku, Nistalit!"

Nami sejenak ragu sebelum berkata, "Penyerang Putri Arumya adalah prajurit Akasha Wanawa, Panglima."

❄️💫❄️