webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Kekacauan Pesta (4)

Gosha Hitam berdiri tegak, menggenggam tombak. Nami dan Dupa berdiri tenang memasang kuda-kuda, menghunus pedang masing-masing. Bagai gerakan angin, kedua Nistalit mengayunkan pedang Sin di kanan dan pedang Janur di kiri. Menyerang bersamaan. Putaran pedang Akasha bagai angin tajam yang mengancam kedudukan Gosha Hitam. Satu potongan pertarungan berlangsung imbang, ketiganya menarik diri ke belakang, mengatur napas.

"Kau ingin merasakan tombak hitam, seperti temanmu tadi?" bentaknya, mengacaukan perhatian.

"Keparaaat! Aku akan membalas kematian Soma!!" teriak Dupa murka.

"Jangan terpancing, Dupa," pinta Nami. "Ia hanya menggertak! Soma hanya bernasib malang. Kita, akan bernasib baik malam ini!"

Walau hati Nami dipenuhi kepedihan melihat Soma berakhir, ia berusaha menenangkan Dupa.

Putaran kedua pertarungan masih menampilkan kekuatan yang sama.

"Kau tahu, Nistalit? Aku senang bermain-main dengan kalian, karena pedang Akasha di tangan kalian," ujar Gosha Hitam. "Tapi sebentar lagi aku bosan, dan kalian harus tumbang!"

Nami memicingkan mata, terpancing pula ingin menggertak

"Kalau kami tumbang, nama baik Nistalit terpatri melawan Gosha Hitam. Bagaimana denganmu? Jika kalah melawan Nistalit, apakah kau tak malu?!"

Heaaaargggggh!

Gosha Hitam murka mendengarnya. Perang kata-kata bertujuan menimbulkan kemarahan dan membuat pusat perhatian terbelah. Kekuatan terpecah, kemampuan melihat peluang melemah.

"Kau lihat Gosha Hitam? Siapa di sekeliling Panglima Gosha yang sejati? Para panglima membelanya, para hulubalang melindunginya. Para prajurit siap mati untuknya!" Nami mencecar. "Kau? Bagai arwah kesepian, bersembunyi di balik pakaian hitam dan hidup dalam keterasingan! Kasihan sekali!"

"Keparaaaat!" Gosha Hitam tampak murka.

Dua pedang Akasha mengambil kesempatan baik. Ayunan Nami dan Dupa melihat celah kelemahan, menembus pertahanan musuh, mendaratkan tusukan di kedua lengan. Berikutnya ke arah paha dengan telak.

Gosha Hitam terpelanting. Darah kehitaman mengucur dari tubuhnya. Ia memekik kesakitan, menyumpah, berlutut menahan sakit sembari bertelekan pada tombak. Nami dan Dupa merasakan buih kemenangan memenuhi hati. Sesaat berikut, mata keduanya terbelalak, melihat Gosha Hitam menyembuhkan diri dengan cepat.

Bangkit lagi dengan kekuatan berlipat, menyerang telak.

"Kau tahu Nistalit?! Hanya Gosha sejati yang bisa mengalahkanku, hanya tubuhnya yang bisa menyentuhku!" bisik Gosha Hitam di dekat Nami dan Dupa, menghajar keduanya tanpa ampun.

Nami berusaha menjadi perisai Dupa, menahan tombak dengan pedang Sin, Gosha Hitam tertawa keras. Kekuatan Mandhakarma menguatkannya, menciutkan nyali musuh yang ketakutan. Kekhawatiran Nami tak dapat memenangkan pertempuran memangsa kemampuannya untuk bertahan dan melihat peluang. Gosha Hitam berteriak keras sebelum menyasar tubuh Nami.

Arrrrgh.

"Namiii!" teriak Dupa.

Terpelanting, rasa sakit yang panas dan pedih menyerang paha kanan.

Milind terbelalak. Napasnya memburu, sesaat kemudan bergerak ke arah Dupa, memintanya menjadi mata untuk bergerak ke arah Gosha Hitam.

❄️💫❄️

Arumya, memburu Nami tanpa mempedulikan keselamatan diri.

Menyobek selendang lembayung, berusaha membalut luka di kakinya. Nami menahan tangan Arumya, ia meraih botol kecil di pinggang, menaburkan serbuk obat khusus yang diberikan Vanantara. Lukanya terasa membaik dengan cepat, namun racun Mandhakarma masih menyisakan rasa nyeri luarbiasa. Arumya membebat luka Nami cepat. Belum sempat berkata-kata, Rakash menarik sang putri ke belakang, menjauh.

"Nami," Gosha memburunya, "kau terluka?!"

"Ke mana para putri?" Nami tak menghiraukan diri sendiri.

"Para panglima dan pasukan gabungan menjaga mereka!"

Nami terengah, keringat mengucur deras di tubuhnya. Gosha menariknya menjauhi pertarungan.

"Aku harus masuk arena," bisik Gosha.

"Jangan! Membunuh Tuan adalah tujuan Gosha Hitam! Hamba tak tahu kenapa!" Nami menahan lengannya.

Pertarungan Milind dan Dupa, melawan Gosha Hitam berlangsung dahsyat. Kekuatan Milind tentu bukan tandingan Gosha Hitam, namun pertimbangan agar musuh tak mati benar-benar menguntungkan lawan. Kekuatan Nistalit tak sama seperti Akasha dan Pasyu. Dupa, kelelahan dan mengalami tekanan batin akibat kematian Soma dan kekalahan Nami.

Berpikir! Berpikir!

Suara Sin bergaung di telinga Nami.

Sin Hitam dan Janur Hitam dapat dikalahkan dengan senjata biasa. Semakin tinggi tingkatan prajurit, semakin berbeda kekuatan. Gosha Hitam tak dapat dikalahkan oleh senjata biasa. Bahkan pedang Sin dan pedang Janur pun tak memberikan luka berarti. Tapi pasti ada yang bisa mengalahkannya; mereka makhluk hidup yang memiliki nyawa seperti Akasha, Pasyu dan Nistalit.

"Hanya Gosha sejati yang bisa mengalahkanku, hanya tubuhnya yang bisa menyentuhku!" ancaman Gosha Hitam terngiang.

Nami memandang Gosha di sampingnya, bergantian ke arah arena pertarungan yang menampakkan Dupa kelelahan dan Milind dipenuhi kemarahan tertahan.

"Tuan Gosha, bawa hamba ke tepian arena!" pinta Nami.

"Apa?? Kau gila! Tubuhmu terluka, harus menjauh!" bentak Gosha.

Nami memegang lengan Gosha, "Percayalah!"

Gosha memapahnya. Satu sosok menahan mereka.

"Kalian akan cari mati?!"

Nami menatap penghadang mereka.

"Panglima Kavra…kita harus membantu Panglima Milind dan Dupa," bisik Nami.

"Bunuh Gosha Hitam, Nami!" tegas Gosha. "Apapun yang bisa membunuhnya, harus kita lakukan!"

Kavra menarik napas, terlihat khawatir melihat luka Nami.

"Hamba butuh tunggangan angin," pinta Nami.

"Lukamu?"

"Serbuk Wanawa menyembuhkannya," Nami meyakinkan.

"Kalau begitu, jangan melibatkan Gosha!" tegas Kavra.

"Hamba membutuhkan bantuan Tuan Gosha hingga tepi arena. Hamba mohon!" Nami mengatupkan tangan, penuh kesungguhan.

Gosha, tak peduli bahaya dan peringatan Kavra, menarik Nami.

Pertarungan yang melibatkan tiga sosok seharusnya dapat cepat dimenangkan, andaikata tak terdapat kendala yang tak dimengerti hingga kini oleh Akasha dan Pasyu. Mengapa setiap kali sosok penting pasukan hitam terbunuh, sosok kembarannya di dunia nyata pun ikut melemah dan pada akhirnya mati? Apakah mereka memiliki keterikatan? Wajar Milind mengkhawatirkan Gosha, namun keadaan demikian genting, hingga mereka tak mungkin menolak kematian Gosha Hitam.

Satu putaran pertarungan kembali membuat Gosha Hitam di atas angin. Ia menendang tubuh Dupa yang kelelahan, menghadiahinya dengan sebuah tikaman tombak yang untung hanya mengenai sedikit bagian pinggang karena tertahan pedang Dahat Milind. Tak urung, Dupa terpelanting ke tepi arena.

Gosha hitam tetawa. Milind, merasakan keterkejutan dan kekhawatiran. Tak mungkin mempertahankan Gosha Hitam tetap hidup! Tapi membunuhnya juga berbahaya.

Nami menahan napas melihatnya.

Ia berbalik, menghadap Gosha, menatapnya lekat.

"Panglima Gosha, maafkan hamba!" ujar Nami bergetar.

Pedang Sin di tangan Nami, menghunjam bahu kiri Gosha yang menatapnya terkejut.

"Nami??" bisik Gosha tak percaya.

"Apa yang kau lakukan?!" desis Kavra menahan amarah.

"Goshaaa!" teriak Milind murka.

"Sekarang, Panglima Kavra! Bawa hamba ke arena!" perintah Nami tak mempedulikan kemarahan di sekelilingnya.

Walau tak mengerti, Kavra terpaksa menuruti permintaan Nami yang tampak tak masuk akal.

Di hadapan mereka Gosha Hitam tampak membungkukkan badan. Seolah menahan rasa sakit.

Nami dan Kavra melayang di belakangnya.

Pedang Sin, dalam lumuran darah Gosha sejati, diayunkan Nami menuju jantung Gosha Hitam. Dari arah punggung, pedang itu menembus telak menuju bagian depan.

❄️💫❄️

Bilik prajurit Girimba, dipenuhi pasukan yang terluka.

Nami dan Dupa dipenuhi rasa duka mengurus prajurit Nistalit yang tewas, termasuk Soma. Belum sempat mengurus diri sendiri, Nami dan Dupa harus berhadapan dengan para panglima. Milind tampak sangat marah di biliknya. Gosha, Kavra dan Han hadir di sana.

"Apa yang kau lakukan, Nistalit?! Perintahku adalah melumpuhkan Gosha Hitam! Bukan membunuhnya, apalagi melukai Gosha!!" bentak Milind keras.

Gosha menahan lengan Milind, "Aku tak mengerti mengapa Nami melukaiku. Tapi yang pasti, ia berhasil membunuh musuh. Milind, kau lihat aku masih berdiri tegak sekarang. Kematian Gosha Hitam tak memengaruhiku! Biarkan Nistalit beristirahat!"

Nami dan Dupa berlutut, memberi hormat dengan susah payah. Nami, memohon pengampunan karena melanggar beberapa perintah, termasuk melukai Gosha.

"Milind," Kavra menenangkannya. "Jangan terlalu keras pada mereka. Soma baru saja meninggal. Nami dan Dupa terluka. Bagaimanapun, Gosha Hitam tak akan tumbang tanpa Nistalit."

"Apa maksudmu menikam Gosha?!" Milind mendekati Nami, menatapnya dengan mata menyala.

Nami mencoba bangkit, dipapah Dupa yang juga melemah karena luka di pinggangnya. Ia baru akan membuka mulut, ketika didengarnya satu sosok membela.

"Gosha Hitam memang tangguh!" desis Kavra. "Kita tak mampu melihatnya tanpa bantuan Nistalit. Kita harus bisa memecahkan masalah ini, agar tak terus dilibas mereka. Bahkan kudengar Gosha Hitam masih mengeluarkan ancaman di saat kematiannya."

Nami tertegun.

"Panglima Kavra," suara Nami bergetar, "…apa yang diucapkan Gosha Hitam?"

Kavra menggumam tak mengerti, "Walau aku mati, Aswa dan Giriya berikut keturunannya juga akan mati malam ini! Dasar keparat! Disaat mati pun masih menyumpah!"

"Itu diucapkannya berulang-ulang," Nami berpikir, memejamkan mata sebentar, mengabaikan kemarahan Milind.

Simbol Akasha. Simbol Pasyu. Tangannya mencengkram kuat lengan Dupa.

"Dupa, bawa aku ke bilik para putri!"

"Nami, kau terluka!" Dupa mendesis khawatir.

"Musuh mengincar Putri Calya dan Putri Arumya!"

❄️💫❄️