webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Bongkahan Berlian Surga

Sungai. Arus yang menghanyutkan.

Hutan. Dedaunan yang menenangkan.

Tenggelam, kehabisan napas, terbawa arus. Sepasang tangan menariknya ke atas. Menggigil, tubuhnya basah kuyup.

"Nami?" sebuah suara cemas membangunkan. Mengganti kain basah di dahinya yang telah kering.

Tersadar susah payah.

Setiap bagian tubuhnya seakan dirajam jarum beracun.

"Nami? Bangunlah. Kau membuatku takut," suara lembut itu membelai telinga.

Mata Nami terbuka, menatap sekeliling dengan bingung. Wajah yang dikenalnya dengan baik ada di sana.

"Dupa…?"

"Kau pingsan tiga hari. Lukamu…," Dupa mengalihkan perhatian ke kaki Nami, "aku mencoba mengobatimu."

"Kau tak melaporkan pada siapapun?" Nami memegangi kepalanya yang pening luarbiasa.

"Tidak," bisik Dupa.

Nami terduduk, menarik napas panjang. Tiga hari? pikirnya panik.

"Aku harus ke Giriwana!"

Bahkan Nami tak teringat harus bertugas menjaga bilik putri di Girimba. Seluruh perhatiannya tertumpah pada Garanggati, Vanantara dan Giriwana.

❄️💫❄️

Giriwana, dalam kemegahan hijau yang tenang dan menakjubkan, dipenuhi kesibukan seperti biasa. Rakyat Wanawa tampak tak menyadari bahaya yang mengancam kerajaan mereka. Istana Vanantara dan para prajurit, yang memahami betapa keadaan di bawah ancaman Mandhakarma sewaktu-waktu dapat berubah mencekam menakutkan.

Vanantara dan Garanggati tampak tegang di balairung utama. Pertemuan dengan para pandhita dan pejabat kerajaan ditangguhkan.

Yami ada di sana, bersama Milind. Keduanya tampak tenang, walau terlihat menyimpan banyak kegelisahan dan pertanyaan. Ketiga sosok duduk di atas kursi kayu berukir keemasan, di sekeliling sang raja. Jubah hijau kebesaran tak dapat menyembunyikan gejolak hati Vanantara yang sesekali gelisah di singasana, bangkit berdiri, berjalan.

"Ayahanda," Yami membuka perbincangan, "bila memang Giriwana membutuhkan prajurit Nami, hamba akan mencari pengganti yang lain."

Vanantara menarik napas panjang.

"Asalkan Ayahanda bahagia," Yami menambahkan dengan suara sendu.

Raja Wanawa memandang putrinya sembari mengerutkan kening.

"Sebelum hamba melepas Nami, bolehkan hamba menemuinya?" tanya Yami.

Vanantara menatap Garanggati sejenak, tampak gundah gulana keduanya berbagi isyarat.

"Aku khawatir kau tak bisa menemuinya, Yami," Vanantara berkata pelan.

Yami mengangguk, mencoba memahami.

"Tampaknya Ayahanda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di Giriwana bersama Nami, daripada bersama hamba dan Nisha," Yami mengungkapkan isi hatinya.

Milind menoleh ke arah Yami, mencoba menenangkan diri. Kemarahannya pun telah berakar bertunas, namun tak ditampakkan. Terbayang wajah Janur yang sekian lama melatih Nami. Pengorbanan besar para prajurit dan hulubalang Wanawa demi kerajaan serta kemurahan hati bagi Nistalit. Bagaimana pula bila Kavra mengetahuinya?

"Apakah Putri Yami ingin tinggal di sini untuk menemani Paduka Vanantara?" Milind bertanya, juga menyarankan.

"Tidak," Yami menggeleng. "Ayahanda tampaknya lebih memilih sendiri."

Vanantara tak menjawab, tak mengiyakan atau menolak. Pikirannya dipenuhi kemelut saat memandang Garanggati yang juga terlihat risau. Yami dan Milind melihat kedua wajah di hadapan mereka seolah tak memusatkan perhatian pada laporan dan keluh kesah. Milind menatap wajah Yami sejenak, mencoba tersenyum menguatkan, mengangguk kemudian. Mungkin, ada baiknya mereka tak banyak berhubungan dengan Giriwana dan mengganggu Vanantara. Sang raja telah banyak bermuram durja. Bila ingin mendapatkan sedikit kegembiraan, bukankah itu tak salah?

Milind tak sempat mengutarakan permasalahan yang tengah dihadapai pasukannya, ketika satu sosok menerobos tetiba.

Hulubalang Sindu terlihat tergesa, menatap tak berkedip ke arah Milind dan Yami. Mendekat ke arah Vanantara, memberi hormat dan berbisik. Garanggati mengamati Sindu dengan penuh selidik.

Tetiba Vanantara berdiri tegang, menghadap lurus ke arah Garanggati.

"Hamba undur pamit, Paduka Vanantara dan Pandhita Garanggati," Milind berujar sopan.

Vanantara mengangkat tangannya, menahan Milind dan Yami.

"Sudah waktunya kalian tahu," ujar Vanantara.

Garanggati menatapnya tajam, seolah tak setuju. Vanantara mengangguk, memberikan perintah yang tak dapat dibantah.

"Rahasia yang ada di balairung ini, tak boleh ke luar," tegas Vanantara.

❄️💫❄️

Dua prajurit Nistalit dalam pakaian biru, menghadap.

Milind dan Yami sama sekali tak ingin memandang wajah keduanya, terutama Nami.

Dupa bercerita kisah lengkapnya, Nami pun demikian. Tak ada yang ditutup-tutupi, tak ada yang disembunyikan. Kisah Nami tentu lebih banyak memiliki warna dari yang dialami Dupa. Gadis itu mencoba berbicara jujur dan mengakui kesalahan yang dilakukan.

Vanantara menghela napas panjang.

Garanggati tampak murka.

"Sudah kukatakan padamu untuk tak mudah bersikap lunak!" bentak Garanggati.

Nami memberi hormat yang dalam.

"Aku akan menghukummu dengan keras kali ini!" Garanggati memutuskan.

Dupa tampak terkejut, membungkuk lebih dalam.

"Pandhita Garanggati! Nami terluka cukup parah! Ia belum sembuh seutuhnya!" mohon Dupa.

"Sssh, Dupa! Diamlah!" bisik Nami.

Vanantara meminta Garanggati untuk tenang.

Milind dan Yami tampak tegang menyimak perbincangan di hadapan mereka.

"Kau mengenali siapa yang bertarung malam tadi?" tanya Vanantara.

"Paduka," Garanggati mengingatkan, "kita tak perlu membahasnya."

Vanantara mengangkat tangan, meminta Garanggati menahan diri.

"Bicaralah, Nami."

Nami menarik napas pelan, suaranya nyaris tak terdengar ketika berkata, "Vasuki, Paduka."

Bagai petir menyambar balairung. Dupa pun memandang Nami terpana.

"Jadi kau melukai Vasuki dan menyelamatkan Vasuki," gumam Vanantara.

"Kau memang berhati mulia!" desis Garanggati, terdengar marah dan menyindir.

"Katamu, satu Vasuki terluka. Lalu?" selidik Vanantara.

"Hamba…hamba membantu mengobati lukanya."

"Dengan apa?"

"Serbuk Raja Vanantara," ujar Nami lirih.

Garanggati menghentakkan kaki.

"Kau mengenali siapa mereka? Dapat meraba, apakah mereka prajurit ataukah…," Vanantara menggantung ucapannya.

"Hamba melihat sabuk dan senjata Vasuki," Nami mengingat, merenung dan terkejut sendiri ketika menyadari, "kemungkinan mereka dari kalangan bangsawan."

Garanggati terlihat mengepalkan tangan.

"Apakah kau tahu, bila luka Vasuki mendapatkan pengobatan Wanawa?" tanya Vanantara tajam.

Nami menggeleng pelan.

"Kau membuat Wanawa semakin dalam kedudukan sulit!" bentak Garanggati, tak dapat menahan diri.

Milind menatap Nami dan Dupa dengan perasaan berkecamuk. Apakah harus iba? Ataukah justru berpihak pada kemarahan Garanggati?

"Apakah ia tahu, kau Akasha ataukah Nistalit?" tanya Vanantara.

Nami menggeleng, "hamba rasa, ia tak tahu, Paduka."

Garanggati tertawa pelan, "Mustahil ia tak tahu, Prajurit! Saat cakarnya melukai tubuhmu, ia sudah tahu kau Akasha ataukah Nistalit!"

"Kau akan menghadapi masalah yang semakin pelik," Vanantara memandang Nami prihatin. "Bila bangsawan Vasuki itu tak terselamatkan, kau telah membunuh dua sosok penting Tala."

Dupa membungkuk memberi hormat dalam, "Tapi bagaimana bila Nami menyelamatkannya? Apakah Raja Tala akan mengampuni Nami?"

Garanggati menatap tajam ke arah Dupa.

"Kuperingatkan kau, Dupa! Tak perlu membela kebodohan teman Nistalitmu!" bentaknya.

Dupa dan Nami memberi hormat yang dalam.

"Kita bukan hanya gagal," gumam Garanggati. "Kita justru membuat masalah baru yang lebih besar! Bukan saja gagal mendapatkan apa yang kita butuhkan, pertikaian semakain tajam dan musuh semakin banyak!"

Vanantara menggeleng.

"Aku berpikir sebaliknya, Garanggati," gumam Vanantara. "Dua pasukan Nistalit kita selamat. Mereka saksi penting bagaimana keadaan lapangan perebutan 'poorva auriga' . Aku yakin, beberapa kerajaan tak seberuntung kita."

Garanggati memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.

"Bagaimana kita bergerak nanti, tergantung laporan dan pendapat dua Nistalit kita," Vanantara memandang lembut ke arah dua sosok yang bersimpuh di hadapan mereka. "Yang terpenting sekarang adalah merawat lukamu, Nami. Akan kita pikirkan, bagaimana caramu menghadapi Vasuki."

Dupa membelalakkan mata. Nami membungkuk.

"Jika hamba diperintahkan untuk ke Vasuki, akan hamba lakukan," ujar Nami.

"Jangan bersikap bodoh lagi!" bentak Garanggati lebih lunak. "Kuakui, kadang kau tampak lemah tapi tak mudah dipatahkan."

Nami tersenyum pelan, seolah mendapatkan pujian yang menyirami hatinya.

Hening.

Helaan napas.

Pertarungan pikiran.

Pertempuran suara hati.

"Adakah yang ingin kau sampaikan, Prajurit?" Garanggati bertanya.

Nami tergetar mendengarnya.

Betapapun Garanggati selalu menghardiknya, mendidik dengan keras, melatihnya di luar batas nalar; bahkan kemarahannya seolah tak bertepi baru saja. Kata-kata, kalimat yang menyudutkan, tuduhan yang sangat menyakitkan; selalu berimbang dengan kemauannya untuk mendengar suara seorang Nistalit. Sang pandhita, tak pernah lupa untuk menanyakan apa yang menjadi pikiran-pikiran dan perasaan Nami.

Tangan Nami meraih sesuatu di balik tali pinggang.

Terlindung kain hitam, terbungkus rapat dan berlapis-lapis. Sembari berlutut, Nami meletakkan benda itu di kedua jemarinya, mempersembahkan ke arah Vanantara dan Garanggati.

Vanantara berjalan ke arah Nami, menatap penuh selidik ke arah tangannya yang terkembang penuh kesungguhan dan pengabdian. Jemarinya bergerak ke arah benda persembahan.

"Apa ini?"

"Sedikit potongan Berlian Surga," ucap Nami.

Dupa terhenyak. Garanggati terlompat berdiri. Vanantara bahkan menarik tangannya, demikian terkejut.

"Hamba berhasil membawa bongkahannya, kemungkinan sebesar separuh singgasana Paduka Vanantara," Nami berkata pelan.

Garanggati tak mampu bernapas.

Milind dan Yami yang masih didera ketidakmengertian, saling berpandangan.

"Di mana kau meletakkkannya?" napas Garanggati memburu.

"Di Girimba, Pandhita," Nami membungkuk dalam, memberikan hormat.

Vanantara dan Garanggati berpandangan.

Mata keduanya membelalak tak percaya.

"Kau betul-betul Nistalit pembangkang!" gumam Garanggati, kali ini tersenyum samar dan terpana dalam kebanggaan.

"Milind," Vanantara menoleh ke arah panglimanya, "bantu Nami mengawal benda itu."

❄️💫❄️