Seminggu berlalu.
Kedua mata Willona dan Kenan saling beradu pandang seakan mereka melupakan status mereka di perusahaan itu. Kaki Willona tak bisa bergerak, kecuali berjalan ke arah belakang dengan gelagap.
"Bapak, mau apa? Saya sudah katakan, saya tidak bisa datang. Kakek pun tidak mempermasalahkan. Apa perkataan saya kurang jelas?"
Willona menoleh ke belakang dengan kedua mata melebar sedikit reflek membuka mulut saat punggungnya menyentuh keras dinding, juga mendapati tubuh Kenan sudah mengukung tubuh Willona di sana.
Mata elang itu masih saja menatap tanpa berkedip ke arah Willona. Benar-benar menjengkelkan.
"Bapak, jangan macam-macam. Saya bisa melaporkan, Bapak!" tungkas Willona mengancam sembari menyilangkan tangan di depan dada. Perisiapan dini.
Kenan menyeringai senyum.
"Bagaimana kalau aku menunjukkan kepada semua orang, jika aku punya buku nikah?" Laki-laki itu semakin menaikkan sudut bibir mendapati wajah berani sang sekretaris saat memandang dirinya.
"Buku nikah? Silahkan saj—" Wilona menutup mulut, saat mendapati goresan ingatan sebuah gaun putih menjalar di karpet merah serta pengucapan janji yang seseorang lakukan. "Jangan!" Lanjutnya berseru tajam.
Kenan terkekeh geli mendengar jawaban wanita cantik di depannya. "Jadi?" Lelaki itu mengangkat satu alis, masih menuntut jawaban.
Kenan tidak akan pernah mau menjadi sasaran kakeknya jika ia datang sendiri. Sudah kesekian lelaki tua itu membuat telinga Kenan pengang dengan ancaman yang akan membuat dirinya kehilangan harta warisan.
Hans harus bisa memaksa Willona untuk pergi dengannya, dan mendapatkan semua. Kepercayaan, tanda tangan, dan tentunya seluruh harta.
"Saya tetap tidak mau. Bapak lupa? Dua buku itu telah berada di tangan saya?" jawab Willona lantang. Beruntung ingatan itu kembali tak kalah cepat. Malam pengantin yang diharapkan oleh setiap pasangan tidak terjadi padanya dan Kenan.
Willona patut beruntung, mahkota sucinya tak harus ditumbalkan untuk lelaki brengsek di depannya.
Mengulas kejadian lalu, lelaki dingin penuh dengan ambisi itu sama sekali tak bernafsu menyentuh Willona. Mungkin dada Willona kurang montok, atau bokong Willona kurang bohay? Yang pasti Willona sangat bersyukur telah diberi porsi tubuhnya.
Kenan pergi dari hotel yang sudah disiapkan kakeknya dan malam itu juga dia justru menuju ke apartemen kekasihnya. Dan lebih beruntung lagi adalah dua buku sakral tersebut dengan mudahnya Kenan membuang tepat di depan wajah Willona.
Tuhan memang tidak benar-benar meninggalkan pilihan buruk bagi Willona. Ia harus menahan pernikahan ini selama dua tahun sesuai dengan perjanjian dirinya dan Kenan.
Jika tidak mengingat hukum yang berlaku di negara ini. Willona pasti sudah lama ingin membunuh Kenan. Sudah tak terhitung dirinya harus menahan sakit saat mengerjakan lembur serta kebutuhan berbagai teman kencan lelaki itu.
Tak berperasaan, Willona rasanya ingin memites-mites Kenan hingga kecil.
"Saya harus kembali bekerja, Pak!" Willona mendorong keras tubuh Kenan hingga lelaki itu mundur terhuyung ke belakang tanpa persiapan.
"Pak Kenan, saya sibuk. Permisi."
Kenan hanya menatap keberadaan tubuh wanita cantik itu yang sudah berlari ke arah ruangannya, tepat berada di samping ruangan Kenan. Lelaki itu tak bisa berkutik saat mengingat alat pengendali Willona tidak berada di tangan Kenan.
"Shit, sial!"
Willona bersorak senang. Ia tidak lagi terjebak dalam ancaman dari Boss gilanya itu. Ia sudah menyiapkan gaun indah untuk acara makan malam dengan teman kencan butanya—Jerry nanti. Malam ini ia hanya ingin menghabiskan waktu untuk melupakan masalah pelik yang membuat Willona stress akhir-akhir ini.
BRAK!
Kenan membuka kasar pintu ruangan sekretaris pribadinya saat Willona sedang menerima panggilan dari klien yang akan disambungkan kepada Kenan.
Akan tetapi, dengan kedatang Kenan yang tiba-tiba membuat Willona memutar pandangan bingung, yang sekarang berjalan ke arah kursi keja yang diduduki Willona.
Sudah dua jam lamanya Willona menganggap kejadian tadi tak pernah terjadi. Maka dari itu ia tidak menganggap kedatangan Kenan kali ini tentang urusan yang belum menemukan titik temu untuk laki-laki itu.
"Pak Kenan sedang ap—" Pertanyaan Willona terputus karena bibirnya terbungkam oleh bibir tebal Kenan yang membuat kedua mata wanita itu melotot horor.
"Eumhhm ... le-pas!" Willona mencoba mendorong tubuh lelaki kekar itu. Tapi, ia tidak bisa. Kekuatan Kenan benar-benar lebih kuat darinya. Kenan mencekal kedua tangan Willona. Bahkan gagang telpon yang tadi dipegang Willona telah terjatuh begitu saja.
Kenan akan membuat Willona menarik penolakan yang telah diucapkan wanita itu tadi dan akan melihat Willona mengemis datang bersama dirinya.
Seluruh wanita akan sama saja jika merasakan bagaimana kekuatan lelaki itu di ranjang. Termasuk sekretarisnya, Willona Adara Paramitha.
Dasar wanita jual mahal!
Tok ...!
Tok ...!
Tok ...!
Kenan berdecak kesal saat mendengar suara ketukan pintu, membuat keduanya mendadak terhenyak. Tapi, Kenan tidak bisa menghentikan. Ia sudah terlena dengan bibir lembut sekretarisnya.
Suara gedoran itu semakin lama semakin menderu. Dan tanpa aba-aba pintu itu pun terbuka dan seketika Willona mendorong keras tubuh Kenan hingga terpental untuk kedua kalinya.
BUGH!
"Iya, ada apa ya?"
Willona tersenyum sumringah sembari sedikit menyisir rambut panjang 'curly' dengan ruas jemari, menatap kedatangan seorang lelaki yang melongok ke dalam pintu ruangan Willona.
Lelaki itu—Rendi, ia menggeleng sembari menyebar pandangan ke segala arah.
"Aku tadi seperti mendengar suara rintihan. Apa kau juga mendengarnya, Will? Seperti seorang wanita ... apa—" Kedua iris mata hitam lelaki bertubuh tambun itu terkejut saat mengarah pada kursi kebesaran Bossnya yang kosong.
Kejadian ini begitu langka. Dan tak pernah terjadi seorang Kenan meninggalkan kursi hitam besar itu tanpa sang tuan.
"Ke mana Boss kita? Apa dia sedang menghabiskan peluh lagi? Kena penyakit baru tahu rasa tuh orang," katanya menyumpah. Sedangkan Willona hanya bisa membalas dengan setengah senyum canggung seraya sesekali melirik ke arah belakang pintu.
Willona mengendikkan bahu. "Cepat katakan kamu mau apa, Pak? Aku lagi mengurus meeting penting nanti," ucap wanita itu berkilah, mendadak tangannya menyentuh beberapa berkas yang teracak karena tangan Kenan.
Lelaki itu mulai berjalan dua langkah ke arah meja Willona. Namun dengan langkah cepat wanita itu sedikit berlari, mencegah laki-laki bertubuh tambun itu untuk menghentikan langkah di ambang pintu.
"Ada apa?" tanyanya menaikkan satu alis.
"Aku cuma mau menaruh berkas ini aja. "Kenapa harus dijemput segala? Biasanya juga kamu malas. Aku juga mau minjem berkaa tapi, lupa namanya." Lanjutnya mencoba menerobos pertahanan Willona.
Namun, wanita itu masih sigap menghalangi. Sehingga membuat kening lelaki itu berkerut.
"Minggir, Wil. Mumpung nggak ada Pak Kenan, aku mau minjem. Minggir dong," desaknya sekali lagi. "Aku ditolak mentah-mentah Pak Kenan karena salah bikin laporan," imbuh laki-laki itu.
Willona terdorong ke samping kanan. Ia memang kalah 'body' dengan ketua Devisi Perencana itu. Dan sekarang dia sudah mulai untuk mengacau di meja kerjanya.
"Katakan saja apa yang kamu perlukan. Aku akan mengambilnya." Ulang Willona meletakkan tubuh menghalangi tubuh Rendi, di mana Kenan juga sedang menatap Willona berkilat.
Rendi tak memperdulikan ocehan Willona. Tangan dan iris hitam itu masih terfokus untuk mencari bentuk laporan yang dimaksud Kenan tiga hari lalu. Beruntung Rendi berhasil menggeser tubuh Willona.
"Pak Rendi, tolong katakan saja. Jangan mengacak mejaku," Willona menekan ucapannya saat melihat Rendi justru memindah alihkan tumpukkan berkas yang telah ia tata sesuai tanggal.
"Nah ini, aku udah nemu. Nggak usah sok formal kalau nggak ad—" Rendi memutar tubuh saat ia ingin memindah pandangan ke arah Willona yang reflek pergi dari tempatnya, lantas berpijak untuk menata kembali mejanya Willona. Ia terperangah dengan sosok yang berdiri di belakang pintu.
"P-Pakk Ke-Kenan sedang apa bersembunyi di sana?"