webnovel

Sekretaris Willona

Willona Adara Paramadhita—perempuan cantik bertalenta dengan otak cerdas. Ia harus mendapati perusahaan keluarganya bangkrut dan memaksa dirinya untuk menjadi seorang sekretaris dari Kenan Argadinatha—Argants Contructions Corporation. Sudah dua tahun lamanya Willona menjadi sekretaris Kenan menghadapi sikap dingin, angkuh, dan tak berperikemanusiaan memberinya lembur setiap malam. Lalu apa yang membuat Willona bertahan? Gaji besar! Jelas. Orang buta pun tahu jika seorang Kenan tak akan memberi gaji kecil kepada siapa pun yang berada di lingkup kerjanya. Dan hal inilah yang membuat Willona bertahan hingga detik ini. Namun, suatu malam mengubah segalanya. Willona harus menghadapi pernikahan mendadak dari keluarganya hanya karena sebuah janji. Terpaksa, hanya itulah kata keluar dari mulutnya untuk mengiyakan. Willona tidak menyangka seseorang yang telah menjadi suaminya adalah bossnya sendiri. Dan hal itu yang membuat Willona membrontak dalam hati karena mendapati Kenan bukanlah lelaki single. Dia mempunyai kekasih. Lalu, apa yang akan dilakukan Willona? Memilih bercerai atau tetap mempertahan pernikahan dengan menahan sesak di hati?

SenyaSSM · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Ini Bukan Pernikahan

Willona bersiul pelan tak sabar dengan nada melenceng dari aturan not, namun ia abaikan, karena memang niatnya bukan untuk bernyanyi. Tapi, untuk memudarkan rasa gugup yang mendera Willona saat ini. 

Hari ini tepat di sebuah restoran pinggir kota, Willona harus mengorbankan dirinya untuk kembali mengulang pertemuan dengan seorang lelaki penuh kuasa yang telah berbaik hati melunasi hutang keluarganya.

Berbaik hati? Sepertinya kalimat itu sedikit menggelikan, dan kurang tepat untuk menggambarkan suasana hati Willona yang setengah terpaksa menerima perjodohan ini.

Karena di balik kata 'baik hati' ada maksud lain dari semua itu. Dan Willona tahu akan hal tersebut.

"Kenapa mama tega sekali mengorbankan aku demi hutang perusahaan? Bukankah aku sudah katakan akan membantu mereka?"

"Hanya bersabar sedikit lagi saja, kenapa tidak bisa?" sambung Willona bergumam kesal pada kedua orang tuanya yang masih saja mengorbankan kebahagian Willona di atas segala-galanya. Termasuk untuk uang.

Kini jari Willona bertaut gugup untuk mencoba menormalkan kesedihan yang mengukung tubuh ramping berbalut gaun hitam pendek selutut yang menampilkan pundak putih mulus, memancarkan kacantikan Willona.

Namun di balik riuhnya suasana restoran malam ini, Willona merasa miris dengan kehidupannya yang harus terbanting terbalik dengan beberapa tahun lalu.

Tautan jari Willona menompang dagu, menghembuskan napas resah yang kembali bergelayutan. Ingin sekali Willona menolak, meronta, dan memekik lantang jika semua ini bukan keinginannya.

 Akan tetapi, Willona tak memiliki daya seperti itu. Kebahagian keluarganya adalah prioritas utama. Apalagi saat adiknya meninggal dan mamanya selalu menyalahkan kematian itu pada WIllona.

Pilihan menolak seakan hanya mimpi belaka.

"Agh! Kenapa harus aku … takdir seperti apa yang sedang aku jalani sebenarnya?"

"Takdir apa? Kau bahkan tak memiliki takdir untuk memilih."

Tubuh Willona tersentak, pangkuan dagunya juga begitu saja terlepas saat kepala itu terangkat dengan mata membulat lebar hampir terlepas dari tempatnya saat mendengar suara bariton tersebut.

"Ke-kenapa mengagetkan begitu, Pak?" tanya Willona tergagap gugup.

WIllona jelas memundurkan tubuh reflek, hingga punggungnya tersentak sandaran kursi meja makan saat aroma tubuh maskulin begitu menyeruak di indera penciumannya.

Apalagi saat tatapan memabukkan bossnya begitu membuat dada Willona sesak. Ya, lelaki itu adalah bossnya. Boss yang akan menjadi lelaki terakhir untuk Willona, mungkin saja.

"Mulai!"

Hah? Apa yang dimulai? Kening Willona seketika mengkernyit mendengar perintah itu.

Perintah dingin tersebut seketika mengubah satu ruang megah restoran menjadi gelap gulita, tak lama berubah menjadi tatanan lampu yang apik nan begitu romantis. Fokus utama mendadak menyorot pada meja Willona dan Kenan.

"Apa maksudnya, Pak? Jangan melakukan hal yang konyol, kita bukan lagi abege kasmaran!" sungut Willona dengan nada berbisik, berharap tak ada seorang pun pengunjung yang mendengar.

Tidak pernah terpikirkan oleh Willona akan menjadi pusat perhatian seluruh orang, namun dengan sang boss. Bukan dengan kekasihnya.

"Bukan urusanmu, aku hanya melakukan apa yang diminta pria tua itu."

"Diam, dan nikmati saja." Lanjut Kenan dingin yang seketik langsung menutup bibir Willona yang akan terbuka.

'Apa-apaan pria ini, seenaknya saja,' dengkus Willona dalam hati.

Suara para tamu yang berbisik membuat Willona menoleh ke kanan, lantas ke kiri. Wanita itu sangat tak nyaman.

"Pak, bisakah nyalakan saja lampunya? Jangan seperti ini," protes Willona lagi, berharap sang boss paham kode darinya.

"Tidak bisa. Ini romantis, kau memang sangat norak. Tutup mulutmu, dan aku bilang nikmati."

Willona menggeleng, jelas ia tak bisa menutup mulut jika sudah seperti ini. Ia sangat malu, juga kesal luar biasa.

Dan satu lagi fakta yang semakin membuat Willona melotot.

"Kita akan menikah sekarang. Tidak perlu besok," ungkap Kenan angkuh langsung mengungkapkan tanggal yang membuat Willona ternganga tak percaya.

"Jangan berkata sembarangan, Pak Kenan! Ini pernikahan, bukan mengambil tiket antrean. Kenapa bisa secepat ini," tolak Willona begitu kekeh. 

Willona bahkan tak pernah bermimpi bisa menjalin hubungan dengan CEO dari The Argaths Corp karena Willona tahu bagaimana tabiat buruk dari Kenan yang selalu bergonta ganti pasangan hanya untuk menunjang popularitasnya sebagai CEO termuda dengan keangkuhan yang dimiliki.

"Ha-ha-ha."

"Kau ini sedang bermain tarik ulur tentang perjodohan ini, bukan? Apa kau pikir wajahmu sangat cantik, sehingga aku harus meminta persetujuanmu?" tanggap Kenan dingin dengan nada suara yang lantang.

Willona menutup wajah, malu. Ia benar-benar ingin mengutuk lelaki di depannya.

"Buka tanganmu. Kau pikir kau duduk dengan pria berwajah buruk rupa?"

Aghh siaal! Lagi-lagi Willona harus menurut, wanita itu membuka tangkupan tangan, lantas menatap Kenan tajam.

Lelaki bertubuh kekar itu tersenyum mengejek saat melihat pangkal hidung mancung Willona mengkerut dengan tambahan kepalan tangan yang tak sebanding dengan kepalan tangan Kenan.

"Kau marah, atau memang itu trikmu dan keluargamu memainkan permainan ini?" 

Wajah Willona semakin memerah marah, kedua alisnya menegang dengan bibir tipis bersaput lipstik merah mengetat. Tangannya hendak terangkat untuk memberi tamparan keras pada rahang yang ditumbuhi cambang tipis itu.

Akan tetapi, tiba-tiba suara lelaki separuh baya mendadak menyela, membuat amarah Willona seketika menguar begitu saja, entah ke mana perginya.

"Willona Sayang …."

Tubuh Willona berdiri tanpa mempertimbangkan tatapan elang Kenan juga sedikit melirik ke arahnya.

"Papa … kenapa datang ke sini? Kenapa tidak beristirahat saja?"

Willona mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu tua yang bergetar sang papa.

Namun lelaki separuh baya itu justru menoleh pada Kenan yang tak beranjak dari duduknya.

"Tuan Muda Kenan, terima kasih sudah mau menerima perjodohan ini," ucap Wili Adara begitu hati-hati.

Willona bisa merasakan nada terima kasih yang begitu dalam dari kalimat papanya, mendadak membuat dadanya berdenyut.

"Hem, jelaskan kepada putrimu, Paman. Sepertinya dia sangat tidak menyukai pernikahan ini," balas Kenan masih dengan tubuh yang terduduk tak tahu malu.

Papa Wili mengangguk, lantas mengarahkan pandang pada sang putri, mengusap lembut pipi basah Willona yang seketika menangis saat melihat kehadiran dirinya.

"Kamu harus menikah malam ini, Willona. Tolong mengertilah, ini bukan keputusan yang mudah untuk Papa. Tapi, mamamu selalu menuntut untuk mempertahankan rumah dengan kenangan adikmu di sana …."

Willona sesenggukan.

"Tapi, bukankah rencannya akan menikah dalam dua hari lagi, Pa. Bukan malam ini," tanggap WIillona tak terima.

Telinga Willona masih berfungsi dengan baik, seluruh kalimat yang tertata keluar dari mulut sang papa begitu ia pahami. Tak pernah meleset dari perkiraan. Akan tetapi, kenapa sekarang jadi seperti ini?

Bukankah di dalam sebuah pernikahan sakral harus menyiapkan segala hal? Dan hal tersebut tidaklah mudah jika hanya dikerjakan dalam beberapa jam saja?

Willona semakin bertanya-tanya, memaham hakekat menikah. Sebenarnya ini pernikahan atau sekedar permainan bisnis di antara sang papa dan Kenan?

"Ini permintaan dari Kakek Bimo. Beliau tidak ingin menunda pernikahan kalian lagi," jelas Papa Willi membuat Willona mengeram pelan. Kepalanya bergerak ke arah wajah menawan Kenan yang sedang mengulas senyum sinis samarnya, seakan mengejek Willona.

"Apa kamu sudah mengenal Tuan Muda Kenan sebelumnya, Sayang?" 

Pertanyaan Papa Willi benar-benar seperti sebuah bom atom yang siap meledak kapan saja.

"Pak Kenan adalah boss Willona selama ini, Pa. Tapi, kenapa Papa tidak mau menunggu Willona mendapatkan uang untuk melunasi hutang bank?"

Willona masih menuntut penjelasan dari lelaki separuh baya itu yang menunduk tak berdaya atas pertanyaan sang putri. Di sisi lain dirinya juga harus memenuhi permintaan sang istri yang tak ingin kehilangan peninggalan mendiang putra bungsu mereka.

"Karena hari ini hutang keluargamu jatuh tempo. Kau itu hanya penembus hutang keluargamu yang telah menumpuk, Willona. Kau bahkan tidak tau berapa jumlah hutang keluargamu sendiri bukan?"

"Sungguh menggelikan." Lanjut Kenan dengan nada remeh.